JAKARTA, MENARA62.COM – Saeful Huda, seorang pengusaha eksportir, sudah lama menggunakan jasa pelabuhan untuk mengekspor produknya ke pasar Eropa seperti Inggris, Belanda, Prancis, dan Kanada. Dari 120 jenis produk buah, sayur, rempah-rempah dan produk turunan kelapa yang diekspornya, terkadang ia menggunakan layanan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Tetapi acapkali juga menggunakan layanan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara.
“Tergantung daerah pemasoknya. Misal untuk daun pisang saya ambil dari petani di Jawa Timur, maka saya lewat Pelabuhan Tanjung Perak. Kalau untuk produk sayuran saya ambil pasokan dari Jawa barat, kan lebih dekat ke Jakarta, saya menggunakan layanan Pelabuhan Tanjung Priok,” kata Saeful Huda, kepada Menara62.com, Kamis (16/9/2021).
Selama ini diakui memang tidak menemukan perbedaan tariff yang berarti antar dua pelabuhan tersebut. Kalaupun ada, nilainya tidak terlalu signifikan. “Kadang untuk produk tertentu lebih murah lewat Tanjung Perak, tetapi untuk produk lainnya lebih murah dari Tanjung Priok,” lanjutnya.
Tetapi hal yang merepotkan adalah kepengurusan administrasi. Saeful terpaksa harus mondar mandir antar pelabuhan untuk mengurus administrasi ekspornya, atau terkadang harus mengurus ulang dokumen ekspornya ketika menggunakan dua entitas pelabuhan yang berbeda.
Dengan merger Pelindo, Saeful berharap nantinya urusan administrasi bisa dilakukan melalui kantor Pelindo manapun meski barangnya berpindah antar pelabuhan. “Satu pintu kepengurusan dokumentasi, sehingga saya lebih efisien waktunya, tidak harus datang ke pelabuhan tempat dimana produk saya diberangkatkan,” lanjut Saeful Huda.
Hal senada juga dikemukakan Meiliana, importir sepatu keamanan kerja yang membuka toko di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Ia sebenarnya ingin menggunakan jasa pelabuhan di wilayah Indonesia timur terutama ketika memasok produk sepatu keamanan kerja untuk pasar di wilayah Papua, dan sekitarnya.
“Saya memasok sepatu keamanan kerja untuk para pekerja proyek di beberapa kota di wilayah Indonesia timur rata-rata dua container tiap bulan. Sepatu ini saya impor dari Tiongkok. Ongkos kargonya ke Papua misalnya, memang jauh lebih mahal dibanding saya kirim barang ke Singapura, Malaysia atau bahkan China,” tuturnya.
Situasi tersebut cukup menyulitkannya saat harus menentukan harga produk dagangannya. Sebab untuk tariff kargo yang mahal tentu harus dibebankan ke konsumen melalui harga produk.
Karena itu, ia mendukung merger 4 BUMN pelabuhan. Meski tidak banyak mengikuti perkembangan merger tersebut tetapi bagi Meiliana, jika antar pelabuhan dikelola dalam satu manajemen, tentu akan jauh lebih memudahkan pelanggan. “Saya berharap kalau sudah dalam satu induk, biaya transportasi melalui laut dapat lebih murah sehingga di kota mana pun saya jualan, harganya akan sama,” jelasnya.
Belum seragamnya layanan (service) antar pelabuhan diakui Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga. Dalam berbagai kesempatan, Arya menyebutkan bahwa standar service antar 4 BUMN pelabuhan yakni PT Pelindo (Persero) 1, PT Pelindo (Persero) II, PT Pelindo (Persero III) dan PT Pelindo (Persero) IV hingga kini masih berbeda-beda. Imbasnya terjadi disparitas layanan maupun kinerja dari 4 Pelindo tersebut.
“Layanan masing-masing Pelindo masih belum sama. Urusan peti kemas misalnya masih menggunakan sistem standar yang berbeda antar masing-masing Pelindo, ” kata Arya.
Guna meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan jasa pelabuhan sekaligus meningkatkan kinerja perusahaan, Pemerintah lanjut Arya, memiliki keinginan agar layanan yang diberikan oleh Pelindo memiliki standar yang sama dari Aceh hingga Papua. Karena itu merger 4 Pelindo menjadi solusi yang ditempuh oleh pemerintah.
Melalui merger 4 Pelindo, lanjut Arya selain dapat memperbaikin ekosistem logistik nasional, juga memungkinkan dilakukannya standardisasi pelayanan di semua pelabuhan. Dengan demikian nantinya akan terjadi peningkatan kinerja perusahaan sehingga berdampak pada meningkatnya pemasukan negara dari Pelindo.
“Inilah salah satu yang mendorong pemerintah untuk merealisasikan merger Pelindo 1, Pelindo II, Pelindo III dan Pelindo IV,” lanjut Arya.
Baca juga:
- Potensi Pasar Besar, Krakatau International Port Pacu Bisnis Marine Service di Selat Malaka
- Pengembangan Pelabuhan Anggrek di Gorontalo Utara Dimulai Tahun Ini dengan Skema KPBU
Senada juga disampaikan Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), Carmelia Hartoto. Menurutnya selama bisnis pelabuhan dikelola dengan banyak manajemen, maka standarisasi kualitas produk dan jasa kepelabuhanan tidak akan bisa tercapai. “Standarisasi produk dan jasa hanya bisa dicapai jika pelabuhan dikelola oleh managemen yang sama,” katanya.
Saat ini bisnis pelabuhan lanjut Carmelia, lebih banyak bekerja dengan pendekatan regional. Akibatnya muncul pembatasan wilayah pengelolaan dan ini menjadikan Pelindo sulit merespon perubahan maupun kebutuhan pasar.
Simpul Penting Logistik
Tidak adanya standar yang sama dalam pengelolaan produk kepelabuhan tersebut memicu disparitas layanan antar pelabuhan. Karena itu Presiden Joko Widodo pada 18 Maret 2021 lalu meminta agar ada standarisasi layanan dan standarisasi teknis lainnya pada layanan jasa pelabuhan.
Presiden mencontohkan proses kedatangan kapal hingga masuk ke gudang untuk kebutuhan ekspor dan impor masih dipersulit. Maka itu, Jokowi menegaskan birokrasi perlu dipangkas.
“Ini bolak balik saya sampaikan pangkas birokrasi berbelit. Hapus repetisi atau duplikasi, sederhanakan proses dan lakukan standarisasi layanan serta standar teknis lainnya,” tegas Presiden melalui channel Youtube Istana Kepresiden.
Selain masalah tersebut, Jokowi juga menyebut tata ruang logistik masih hingga kini belum efisien. Jokowi mencontohkan, penempatan beberapa terminal dan depo kontainer di Indonesia yang belum tepat.
Dengan kondisi ini, tak heran peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia berada di posisi 46 pada 2018. Hal ini mengartikan bahwa sistem logistik Indonesia masih di bawah sejumlah negara tetangga.
“Indonesia masih di bawah Singapura di peringkat 7, China di peringkat 26, Thailand di peringkat 32, Vietnam di peringkat 39, Malaysia di peringkat 41, dan India di peringkat 44,” kata Jokowi.
Presiden juga menyebut biaya logistik Indonesia mencapai 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dibanding Malaysia sebesar 13 persen, Vietnam 20 persen, Thailand 15 persen, dan Singapura 8 persen
Dengan biaya logistik yang mahal seperti itu, Khairul Mahalli, Koordinator Wilayah Sumatera Utara Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia mengatakan salah satu imbasnya adalah rendahnya daya saing produk Indonesia di pasar global. “Selama biaya logistik masih mahal, produk Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk serjenis dari negara lain,” Kata Khairul Mahalli.
Menurutnya logistik menjadi komponen penting dalam pertumbuhan perekonomian di suatu negara. Tidak ada satu pun bidang usaha, baik barang maupun jasa yang bisa dijalankan tanpa logistik. “Semua pakai logistik, baik melalui darat, laut, maupun udara,” tegasnya.
Untuk menurunkan biaya logistik, maka memperbaiki sektor transportasi termasuk layanan pelabuhan menjadi kunci penting dan strategis. Dari variable-variabel penentu logistik seperti transportasi, pergudangan, ekspor impor, packaging dan lainnya, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) memperkirakan sektor transportasi memberikan kontribusi hingga 40 persen dari total biaya logistik.
“Diantara seluruh aktivitas logistik, yang terbesar pengaruhnya adalah transportasi, hampir mencapai 40 persen dari performance dan kinerja dari biaya logistik,” ketua Dewan Pakar ALI, Nofrisel.
Untuk memperbaiki mata rantau distribusi logistic, menurut Founder Rumah Perubahan Prof. Rhenald Kasali Ph.D, Pelindo sebagai badan usaha yang bergerak dalam jasa kepelabuhan memiliki peran yang sangat penting dan strategis. “Memperbaiki rantai distribusi melalui jasa pelabuhan ini dapat berimplikasi pada kemajuan ekonomi nasional, dan menggeliatnya ekonomi daerah,” kata Prof. Rhenald pada Webinar Change Management Pelindo Bersatu yang digelar Jumat (25/6/2021).
Bahkan Prof. Rhenald menyebut integrasi Pelindo tidak hanya akan meningkatkan pelayanan di seluruh wilayah kerja namun juga berpeluang menjadikan sebuah kekuatan besar di dunia logistik, mengingat aset penggabungan yang mencapai Rp112 triliun.
“Kita sama-sama mengetahui bahwa era disrupsi saat ini tidak terjadi di satu sisi saja, namun juga ada double disrupsi, yakni teknologi dan pandemi ini. Dan Pelindo harus berjuang untuk bersatu agar tidak ketinggalan relevansi dan integrasi untuk menghadapi kompetisi di masa depan,” tegas Prof. Rhenald.
Untuk diketahui, dari 4 Pelindo, masing-masing memiliki wilayah kerja yang berbeda dengan keunggulan bisnis yang berbeda pula. Namun jika 4 Pelindo dikelola dalam satu entitas bisnis, maka keunggulan dari masing-masing area dapat lebih dioptimalkan. Pun sebaliknya area pelabuhan yang perlu pengembangan, dapat didukung oleh pelabuhan lain yang memiliki kinerja bisnis positif.
Adapun wilayah kerja Pelindo 1 meliputi Terminal Peti Kemas Belawan, Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Sibolga, Pelabuhan Gunungsitoli, Pelabuhan Kuala Tanjung, Pelabuhan Tanjung Balai Asahan, Pelabuhan Malahayati, Pelabuhan Lhokseumawe, Pelabuhan Dumai, Pelabuhan Perawang, Pelabuhan Tembilahan, Pelabuhan Sei Pakning, Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Pelabuhan Tanjungpinang Cabang Batam
Untuk Pelindo II meliputi Pelabuhan Teluk Bayur (Sumbar), Pelabuhan Jambi (Jambi), Pelabuhan Palembang (Sumsel), Pelabuhan Bengkulu, Pelabuhan Panjang (Lampung) Pelabuhan Tanjung Pandan dan Pelabuhan Pangkal Balam (Babel), Pelabuhan Banten, Pelabuhan Tanjung Priok dan Sunda Kelapa (DKI Jakarta), Pelabuhan Cirebon (Jabar), Pelabuhan Pontianak (Kalbar) dan Pelabuhan Pramuka (rencana) di Jabar.
Pelindo III meliputi Pelabuhan Tanjung Perak (Jatim), Terminal Pelabuhan Teluk Lamong (Jatim), Pelabuhan Trisakti (Kalsel), Pelabuhan Tanjung Emas (Jateng), Terminal Petikemas Semarang (Jateng), Pelabuhan Benoa (Bali), Pelabuhan Celukan Bawang (Bali), Pelabuhan Tanjung Intan (Jateng), Pelabuhan Tegal (Jateng), Pelabuhan Gresik (Jatim), Pelabuhan Tanjung tembaga (Jatim), Pelabuhan Tanjung Wangi (Jatim), Pelabuhan Kota Baru (Kalsel), Pelabuhan Sampit (Kalteng), Pelabuhan Kumai (Kalteng), Pelabuhan Lembar (NTB), Pelabuhan Bima (NTB), Pelabuhan Tenau Kupang (NTT) dan Pelabuhan Maumere (NTT).
Sedang wilayah kerja Pelindo IV meliputi beberapa pelabuhan khususnya diwilayah Indonesia Timur yaitu Makassar, Pare-Pare, Kendari, Pantoloan, Tolitoli, Gorontalo, Bitung, Balikpapan, Samarinda, Bontang, Sengata, Tj Redeb, Tarakan, Nunukan, Ternate, Ambon, Sorong,Manokwari, Fak Fak, Biak, Jayapura, Merauke.
Menaikkan Performa Perusahaan
Ketua Tim Sinergi dan Integrasi BUMN dalam Layanan Pelabuhan sekaligus Direktur Utama Pelabuhan Indonesia II (Persero) Arif Suhartono menyebut penggabungan 4 Pelindo menjadi satu entitas badan usaha akan berimplikasi langsung pada biaya logistik nasional.
“Yang pasti biaya logistik akan lebih murah,” kata Arif dalam Bincang Masa Depan Pelabuhan Indonesia, di Kanal Youtube Kementerian BUMN, Jumat (15/1/2021).
Selain itu, lanjut Arif dampak dari penggabungan Pelindo juga dapat menaikkan performance pelabuhan di Indonesia. Karena penggabungan akan membawa perubahan dalam hal pengelolaan klaster peti kemas, non-peti kemas, marine, logistik, dan cluster equipment.
“Dengan merger, subholding akan menjadi satu standar yang sama, baik dalam servis, sistem dan juga termasuk SLA (Service Level Agreement). Itu akan jadi sebuah standarisasi yang harus dibangun dan ini akan mendorong Pelindo menjadi world class company,” lanjutnya.
Selain itu, penyatuan perusahaan ini juga diharapkan akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga bisa berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
Seperti diberitakan saat ini pemerintah terus memproses penggabungan empat perusahaan pelabuhan pelat merah, yakni PT Pelindo I-IV (Persero). Penggabungan yang rencananya akan diresmikan 1 Oktober 2021 tersebut akan menyisakan PT Pelindo II (Persero) sebagai induk usaha/holding pelabuhan milik pemerintah.
Dengan menjadikan Pelindo II sebagai holding usaha, secara otomatis Pelindo lainnya akan dilebur menjadi anak usaha berdasarkan masing-masing bisnis. Setelah menjadi holding, Pelindo II atau disebut juga IPC (Indonesia Port Corporation) akan berganti nama menjadi PT Pelabuhan Indonesia (Persero).
Entitas baru ini akan menjalankan empat bisnis utama melalui entitas yang berbeda, yang merupakan penggabungan dari bisnis Pelindo sebelumnya.Empat bisnis tersebut yakni bisnis petikemas dengan nama PT Pelindo Multi Terminal yang berkantor di Medan, bisnis non-petikemas di bawah PT Terminal Petikemas Indonesia, berkantor di Surabaya.
Lalu bisnis logistic & hinterland development yang akan berkantor di Jakarta dengan nama PT Pelindo Solusi Logistik. Terakhir adalah bisnis marine, equipment & port services yang akan berkantor pusat di Makassar.
Adapun holding ini ditargetkan akan rampung pada 1 Oktober 2021. Saat ini perusahaan masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah terkait dengan penggabungan tersebut. (m kurniawati)