31.2 C
Jakarta

Novelet Rembulan di Atas Khayangan – 92

Baca Juga:

92.#Kekhawatiran Masa Depan

TIDAK ada saya kira orang tua yang tidak khawatir akan masa depan anaknya. Atau tepatnya, hampir semua orang tua akan peduli kepada anaknya. Kenapa memakai kata hampir? Ya, karena dalam realitasnya ada juga orang tua yang abai dengan masa depan anak-anaknya. Bukan karena, tidak tahu, bahwa itu adalah tanggung jawabnya, namun sikap cuek, tidak peduli itu lebih disebabkan karena kondisi dan situasional.

Satu saat, ketika Rohman liburan semester agak lama, hampir sebulan, maka aku ajak jalan-jalan ke keluarga dekat. Karena masih pandemi covid-19, sehingga memang tidak bisa leluasa. Terbatas. Salah satunya adalah ke orangtua. Rohman bertemu dengan kakek neneknya. Juga saudara yang lain.

“Berapa minggu liburan, mas?” kata bapak menanyakan liburan kali ini kepada Rohman.     Sementara yang ditanya masih sibuk dengan HP ku yang langsung dipinjamnya, sejak turun dari motor.

“Sebulan, kek,” jawabnya santai.

“Sudah hafal berapa jus, mas?”

“Mau 6 juz,”

“Yang semangat ya mas,”

“Ggih kek,”

Tanya jawab ringan Rohman dengan kakeknya. Yang nota bene adalah bapakku. Yang berhasil aku rekam dalam ingatan. Karena setelah itu, bapak cerita tentang aku waktu kecil. Aku antusias menyimaknya. Karena, rasanya baru kali ini, bapak mau cerita tentang masa kecilku.

Diawali dengan permintaan maaf bapak, karena mengakui tidak begitu mengarahkan masa depanku. Sekolah iya. Tetapi katanya jarang mengarahkan mau sekolah ke mana. Yang penting sekolah bersama teman-teman sekampung. Alasanya lebih pada bisa berangkat sekolah bersama. Tidak peduli suka tidak sekolah disitu. Apalagi, memprediksi setelah sekolah tersebut. Pendeknya sekolah di zaman dulu, obsesi pertama  mendapat ijin dari orangtua (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!