26.8 C
Jakarta

Klasemen Liga Korupsi Berubah, Dosen Fakultas Hukum UMS: RUU Perampasan Aset Mutlak Harus Disahkan

Baca Juga:

SOLO,MENARA62.COM – Kejaksaan Agung mengungkapkan kerugian negara akibat dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga, sub holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKSM) sebesar Rp 193,7 triliun dalam kurun waktu satu tahun.

Korupsi PT Pertamina sebesar Rp 193,7 triliun adalah kerugian dalam kurun waktu 2023, sedangkan dugaan tindak pidana korupsi terjadi selama kurun waktu 2018-2023. Dilansir dari Kompas.com (1/3/2025), angka Rp 968,5 triliun atau hampir mencapai Rp 1 kuadriliun didapat apabila modus yang digunakan adalah sama, seperti yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung.

Besarnya kerugian negara dari korupsi ini mengubah posisi Klasemen Liga Korupsi. Liga korupsi merupakan kritik kepada pemerintahan atas skandal megakorupsi yang terjadi di Indonesia yang diurutkan berdasarkan besaran kerugian negara yang diterima. Saat ini, posisi pertama adalah PT Pertamina Patra Niaga dengan kerugian sebesar Rp 968,5 triliun disusul dengan kasus korupsi PT Timah dengan kerugian negara mencapai 300 triliun yang diungkap pada tahun 2024.

Klasemen Liga Korupsi yang berubah, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H., menerangkan pentingnya pengesahan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

“Dua kasus terakhir yang sangat besar ini (Pertamina dan Timah) harusnya membuka mata DPR, membuka mata pemerintah untuk lebih serius melakukan upaya-upaya yang memungkinkan bahwa orang yang melakukan korupsi itu bisa disita asetnya untuk bisa menutup kerugian negara akibat korupsi. Nah mekanisme itu dengan UU Perampasan Aset,” ungkapnya, Sabtu (1/3/2025).

Banyak dalam kasus korupsi, ganti rugi dan denda itu tidak bisa dibayarkan oleh para terpidana. Iksan menyebut, terpidana tidak bisa membayar ganti rugi karena yang disita oleh penyidik dan penuntut umum itu tidak mencukupi terhadap besarnya ganti rugi yang harus dibayar.

Terkait dengan hal tersebut, maka kemudian muncul gagasan pemiskinan koruptor. Akan tetapi konsep pemiskinan koruptor sampai saat ini belum dimasukkan ke dalam undang-undang.

“Kalau dia sudah dipidana dan pidananya berupa pembayaran ganti kerugian maupun denda, ini sebenarnya bisa juga dipaksa untuk membayar dari aset-aset yang bisa diketahui,” tutur Dosen FH UMS itu.

Penyidik baik itu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun penyidik kejaksaan itu mestinya harus mengetahui, harus ngulik semaksimal mungkin harta yang dimiliki oleh pelaku itu apa.

Fakta di lapangan saat ini, pada tahapan penyidikan aset tidak bisa disita apabila tidak ada kaitannya dengan hasil korupsi. Hanya saja Iksan berharap, penyidik setidaknya mengetahui aset milik tersangka korupsi sehingga ketika terdakwa dijatuhi pidana, pidananya kecuali hukuman badan (penjara), terpidana harus membayar ganti rugi kepada negara. Pada momen ini, jaksa seharusnya sudah memiliki informasi terkait dengan aset-aset atau kekayaan koruptor karena untuk membayar kerugian tidak harus dari hasil korupsi.

“Jadi aset-aset yang mereka miliki, dari warisan, dari kerja halal sebelumnya, dari mana saja itu termasuk yang bisa disita untuk memaksa membayar ganti kerugian,” jelasnya.

Iksan menambahkan, karena praktiknya tidak mudah, ini yang kemudian memunculkan usulan-usulan RUU Perampasan Aset.

“Sebenarnya ini untuk menjamin bahwa nanti kalau dieksekusi, kalau dia dijatuhi pidana pembayaran ganti rugi kepada negara, itu jaksa memiliki daya paksa untuk menyita aset-aset terpidana walaupun tidak ada kaitannya dengan korupsi,” tambah Iksan.

Konsepnya adalah agar kerugian negara itu bisa diminimalisir dengan penyitaan aset. UU Perampasan Aset ini menjadi sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia karena aturan hukum acara yang selama ini ada sangat membatasi kewenangan baik penyidik jaksa ataupun KPK untuk melakukan penyitaan aset-aset milik pelaku korupsi yang bisa kemudian dikembalikan kepada negara.

“Ini saya kira undang-undang yang menurut saya ini sangat mendesak,” kata Iksan.

Iksan bercermin kepada pengalaman masa lalu, bahwa tidak banyak kerugian negara atas tindak pidana korupsi yang bisa dikembalikan ke negara meskipun di sisi lain baik kejaksaan ataupun KPK telah menyita milyaran atau triliunan. Namun tetap saja, jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan kerugian yang diterima oleh negara. Menurutnya, banyak aset yang tidak bisa dipaksa untuk mengembalikan kerugian negara.

“Kalau memang pemerintah dan DPR serius ingin memberantas korupsi, kemudian ingin mengembalikan aset-aset dan ingin mengembalikan kerugian negara dari korupsi, ya RUU Perampasan Aset itu boleh dikatakan mutlak segera disahkan,” tegasnya. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!