“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S. Luqman: 13)
Pesan al-Qur’an pada surat Luqman ayat ke-13 tersebut adalah tentang totalitas pengabdian, penghambaan serta cinta seorang hamba kepada Sang Khalik. Melalui ayat tersebut digambarkan bahwa Luqman, salah seorang hamba Allah yang saleh, mengajarkan kepada putranya yang bernama Tsaaraan—menurut riwayat Al-Suhaili yang dikutip oleh Ibn Katsir— dalam riwayat lain: An’am. Ada juga yang menyatakan: Masykam, untuk tidak menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Tidak menyekutukan Allah artinya tidak menduakan cinta-Nya, tidak membagi hati kepada selain-Nya, dan tidak bersandar selain kepada-Nya.
Ya, misi tauhid yang sesungguhnya adalah membebaskan hamba (‘abd) dari mengabdi—menaati, mencintai— kepada sesama hamba (manusia, materi, jabatan), menuju pengabdian yang total kepada Tuhan (tahrir al-‘ibad min ‘ibadati al-‘ibad ila ‘ibadati Rabbi al-‘ibad).
Allah akan sangat cemburu ketika hamba-Nya membagi cinta dan perhatiannya kepada selain-Nya. Dia akan murka kepada hamba-Nya yang menduakan-Nya.
Jika demikian kenyataanya, lantas bagaimana dengan hubungan cinta kita kepada Allah. Apakah selama ini cinta kita kepada-Nya tulus, suci dan murni hanya untuk-Nya? Ataukah cinta kita kepada-Nya masih dibagi dengan cinta kita kepada selain-Nya?
Manakah yang selama ini lebih kita utamakan. Cinta kita kepada anak, istri, pekerjaan, ataukah cinta kita kepada Allah? Manakah panggilan yang selama ini lebih kita segerakan. Apakah panggilan pimpinan tempat kita bekerja, ataukah panggilan Allah untuk melaksanakan shalat berupa suara adzan? Manakah yang selama ini lebih kita harapkan. Apakah pujian dan sanjungan manusia atas kebaikan-kebaikan yang kita lakukan, ataukah rida Allah?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah ukuran serta parameter cinta dan perhatian kita kepada Allah. Seberapa besar cinta dan perhatian kita kepada Allah bisa diukur dengan seberapa dekat kita dengan-Nya, seberapa penting posisi Allah di hati kita.
Para ulama sufi mengatakan bahwa jika kita ingin tahu posisi (maqam) kita di hadapan Allah, maka lihatlah bagaimana kita memosisikan Allah dalam kehidupan kita. Jika Allah kita tempatkan pada posisi tertinggi dalam kehidupan kita, maka begitu juga halnya dengan posisi kita di hadapan Allah. Sebaliknya, jika kita tempatkan Allah pada posisi yang kedua, ketiga atau ke sekian dalam kehidupan kita, maka begitu juga halnya posisi kita di hadapan Allah.
Jangan pernah merasa diri ini dekat dengan Allah, kalau kita tidak menempatkan Allah dekat dengan kita. Rasa dekat dengan Allah adalah ketika kita selalu merasa diawasi oleh Allah (muraqabah) dalam setiap gerak langkah kehidupan kita. Bahkan dalam setiap hembusan nafas kita, yakinkan diri bahwa Allah selalu bersama kita.
Rasa dekat yang sedekat-dekatnya inilah rasa cinta yang sesungguhnya. Seseorang yang mencintai kekasihnya ingin selalu dekat dengannya sedekat-dekatnya. Enggan rasanya untuk berjauhan dengannya, apalagi terpisah darinya. Begitu pun halnya dengan seorang hamba yang mencintai Tuhannya. Dia ingin selalu dekat dengan-Nya, tak ingin berjauhan dengan-Nya, apalagi berpisah dari-Nya. Baginya, dekat dengan Tuhan adalah segala-galanya. Ada nikmat yang tak terungkap. Ada rasa yang tak terucap. Ada bahagia yang tak tepermanai.
Cinta yang tulus, suci dan murni yang kita berikan kepada Allah, akan menghadirkan limpahan karunia serta kasih sayang-Nya yang tak bertepi. Cinta yang terbagi tidak akan pernah memberi arti, hanya akan melahirkan murka Ilahi.
Hati-hati dengan cintamu. Cintailah Sang Mahacinta dengan sepenuh cinta. Maka Ia akan hadirkan cinta-Nya sepenuh cinta. Inilah hakekat cinta yang sesungguhnya.
Ruang Inspirasi, Jumat, 13 November 2020.