33.4 C
Jakarta

Agar ‘Ranting’ Tidak Patah

Baca Juga:

Oleh : Ashari, SIP*

Tulisan ini sebagai refleksi dan kecintaan akan ormas yang dikenal dengan diktum: tajdid yang mencerahkan dan menggembirakan melalui gerakan purifikasinya.

Ketika mengikuti pembekalan saksi di tingkat daerah untuk calon Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) beberapa waktu silam memang, agak lama. Nota bene diusung oleh Organisasi Muhammadiyah, batin saya menjerit. Mengapa? Karena sebagian besar yang hadir adalah golongan tua (Jawa: sepuh). Rata-rata umur mereka di atas 50 tahun. Yang di bawah itu dapat dihitung dengan satu jari kaki. Pertanyaannya adalah kemana Pemuda Muhammadiyah kita? Kemana Nasyiatul Aisyiah (NA) kita? Mereka adalah penerus sejarah Muhammadiyah dimasa datang. Sedangkan tugas dan tanggung jawab saksi, pada pemilu nanti boleh dibilang tidak ringan, dibutuhkan selain integritas adalah jam terbang untuk dapat bergerak dengan cepat.

Tidak bermaksud merendahkan dan mengesampingkan peran kaum tua di Muhammadiyah, justru sebuah penghormatan, untuk pekerjaan saksi yang banyak dilapangan, hemat saya mustinya cocok untuk anak muda yang berpeluh-peluh. Orang tua cukup kita mintai nasehat, saran dan petuahnya. Bukan mereka yang harus terjun sendiri dilapangan.

Saya khawatir kalau situasi di atas menjadi sebuah representasi buruk akan regenerasi yang juga terjadi di daerah lain. Padahal selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai Organisasi massa yang modern, moderat dan pencitraan kepada kaum muda intelektualnya yang mayoritas. Tidak puas dengan melihat kondisi didaerah sendiri, saya mencoba mencari tahu ditempat lain, beberapa daerah ternyata mengalami hal yang sama. Stagnasi dalam regenerasi.

Tulisan ini sebagai bentuk kecintaan kepada Muhammadiyah, agar para pemimpin yang ada di pusat (PP) di Jakarta yang kolegial dapat melihat secara langsung bagaimana tumbuh kembang organisasi ini ditingkat akar rumput, paling bawah adalah ranting. Ditingkat inilah sejatinya denyut nafas organisasi dapat terlihat geraknya. Melalui pengajian-pengajian internal, kegiatan sosial pendidikan mereka mengapresiasi kegiatan keseharian. Namun bagaimana dengan kegiatan dikalangan generasi mudanya melalui wadah PM, NA, PRM, PRA. Hemat saya mereka perlu ditengok dimotivasi. Agar regenerasi dapat berjalan manis.

******

Muhammadiyah yang lahir pada 18 November  1912 di Yogyakarta, kini berada pada posisi titik balik. Perjalanan panjang sebuah organisasi massa tentu mengalami pasang surut. Tak ubahnya dengan Muhammadiyah ini. KH.Ahmad Dahlan sang pendiri awalnya bermaksud agar dalam beribadah warga Muhammadiyah mengikuti tuntunan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat ( PP) Muhammadiyah KH.AR.Fachruddin mengatakan bahwa Muhammadiyah bukan agama, madzhab apalagi aliran. Muhammadiyah adalah perkumpulan. Dalam pelaksanaan amaliyahnya mengikuti Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafie dan Imam Hambali.

Muhammadiyah kini sudah besar. Sebagai perkumpulan yang modern, konon asset Muhammadiyah trilyunan. Terbesar sedunia. Muhammadiyah identik dengan perkumpulan yang mengurusi sekolah, rumah sakit dan panti asuhan. Belakangan merambah ke dunia TV. Dengan TVMU yang di lounching belum lama. Jumlah ketiganya tidak terhitung. Termasuk jumlah warga muhammadiyah sendiri. Secara datatif warga Muhammadiyah diaktualisasi dengan diterbitkannya NBM (Nomor Baku Muhammadiyah). Belum lagi mereka yang masuk dalam komunitas simpatisan. Mereka adalah orang-orang “diluar” Muhammadiyah namun menaruh perhatian terhadap perkumpulan ini.

Sepak terjang Muhammadiyah ternyata tidak hanya di dalam negeri saja. Beberapa cabang di manca pun ada. Maka tidak berlebihan Ketua PP Muhammadiyah sekarang, Prof Din Syamsuddin sering menyambangi cabang-cabang Muhammadiyah yang ada diluar negeri.

Di Titik Balik, Lemah di Bawah.

Namun dalam perjalanannya, seperti pernah dikatakan oleh Ketua PP Muhammadiyah yang lain Prof Yunahar Ilyas Lc,MA (alm)  perkumpulan ini sekarang berada di titik balik. Apa artinya ini? Sebuah otokritik untuk organisasi sebasar Muhammadiyah sangat penting. Sebab kalau tidak, bisa jadi warga muhammadiyah akan terlalu bangga dengan jumlah yang besar kemudian lengah dan bukan tidak mungkin akan mengalami pengeroposan akidah.

Pertama – Pengkaderan  Muhammadiyah di tingkat ranting, masih lemah. Bahkan juga cabang. Sebagai indikator yang kasat mata adalah susahnya mencari pengganti figur-figur pemimpin di dua tingkat ini. Akibatnya kepemimpinan di dua tempat ini masih didominasi muka-muka lama. Memang semangatnya baru, namun usia yang makin senja menyebabkan gerakan mereka tidak bisa lincah lagi. Termasuk dalam konteks ini adalah kepemimpinan di level PRPM dan PCPM. Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah dan Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah, bahkan sampai pada Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyahnya. Jumlahnya banyak, namun banyak juga yang mandul. Tidak ada gerakan sama sekali. Bak Hidup segan mati tak mau. Kadang muncul pertanyaan sengit, kemana anak-anak muda Muhammadiyah di tingkat ranting dan cabang ini?

Kedua – Intensitas pembinaan dalam keluarga kurang. Hal ini dapat ditengarai ketika orang tuanya sibuk ber-Muhammadiyah, sementara anak-anaknya yang diharapkan sebagai generasi penerus justru sibuk di organisasi lain, atau kalau tidak mereka menyibukkan diri sendiri dengan alasan kuliah, sudah bekerja atau berumah tangga, sehingga tidak ada waktu lagi untuk ber-Muhammadiyah.  Alibi  ini menjadi pemandangan umum. Namun sebaiknya perlu dirangkul kembali. Karena tantangan Muhammadiyah kedepan sangat kompleks, terlebih dilevel generasi mudanya. Menjadi pertanyaan bersama, sudahkah anak-anak kita, kita sekolahkan di Amal Usaha Muhammadiyah, atau sudahkah meraka aktif di gerakan Muhammadiyah dan Aisyiah. Jika anak-anak kita, saudara-saudara kita belum bisa diarahkan untuk membesarkan perkumpulan ini, maka sebaiknya tidaklah usah bermimpi besar untuk orang lain agar masuk di Muhammadiyah.

Kadang kita iri atau sakit hati melihat beberapa/banyak warga Muhammadiyah mengikuti kajian organisasi lain? Namun, sebaiknya sakit hati itu hendaklah menjadi pemicu lebih keras lagi, bahwa sesungguhnya Muhammadiyah itu bisa dan sudah melakukannya sejak dari dulu.

Ketiga, Penanaman Akidah jangan sampai lemah. Banyaknya pilihan dalam berorganisasi, perkumpulan kadang menyebabkan warga Muhammadiyah goyah. Rasa perhatian (care) antar sesama warga sebaiknya lebih ditumbuh kembangkan.Contoh sederhana, ketika kajian rutin tidak datang, warga Muhammadiyah sebaiknya tidak tabu untuk mengingatkan. Mencari tahu. Jangan dibiarkan mereka berjalan sendiri. Hingga ranting tidak akan patah dengan sendirinya. Semoga muktamar di Makasar kembali menjadi refleksi berjamaah, akan pentingnya memelihara ranting. (Sekian)

*  PCM Sleman DIY, Mengajar di  SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY. opini pribadi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!