31.7 C
Jakarta

Anak Merokok: Negara Harus Melindungi, Bukan Menghukum!

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Lentera Anak meminta masyarakat dan negara melindungi anak agar tidak merokok, bukan begitu saja menyalahkan anak merokok. Karena akar masalah perokok anak sesungguhnya bukan pada anak, tetapi pada ketidakhadiran negara untuk melindungi anak dari rokok.

Hal ini disampaikan Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, melalui rilis resmi di Jakarta, Minggu (07/05/2023), menanggapi pemberitaan yang marak terkait usulan PJ Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, untuk mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) pelajar yang ketahuan merokok. Dan usulan ini ternyata juga didukung sejumlah fraksi DPRD DKI Jakarta karena dianggap sebagai upaya mendidik karakter siswa dan memberikan efek jera.

“Kita terkadang begitu mudah menyalahkan dan menghukum anak yang merokok, padahal kita sadar perilaku merokok ini disebabkan anak secara psikologis memang sedang berkembang, dan mudah dipengaruhi. Sehingga alih-alih menyalahkan anak, justru kita seharusnya membentengi anak dari pengaruh yang buruk dengan membuat perlindungan yang kuat melalui regulasi,” tegas Lisda.

Ia menegaskan Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990, sehingga Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki kewajiban untuk melindungi hak anak, salah satunya hak anak untuk sehat.

Menurut Lisda, Negara harus hadir melindungi kesehatan masyarakat Indonesia tanpa kecuali, termasuk anak, melalui penerbitan regulasi yang berpihak pada kesehatan masyarakat. Salah satunya melalui regulasi yang melindungi anak dari zat adiktif. Karena anak-anak terus menjadi korban bahaya rokok melalui paparan asap rokok dan gempuran iklan, promosi dan sponsor rokok yang masif.

Sudah banyak studi menjelaskan relasi dari paparan iklan rokok yang terus menerus terhadap keinginan untuk merokok. Anak-anak yang secara psikologis masih sedang berkembang akan mudah dipengaruhi oleh kepungan iklan dan promosi rokok dengan visual dan tagline dengan gaya hidup anak muda yang kreatif, keren dan macho.

Di alam bawah sadarnya akan tertanam bahwa rokok adalah produk normal karena iklannya tidak dilarang, padahal sejatinya rokok adalah produk berbahaya dan tidak normal. Rokok mengandung 7000 zat berbahaya dan 69 di antaranya memicu kanker.

Lisda menegaskan, Negara tidak bisa hanya menyerahkan upaya perlindungan anak hanya kepada orang tua dan masyarakat. Karena kondisi anak dan remaja yang sedang berkembang sangat rentan dipengaruhi berbagai faktor, tidak saja dari paparan pemasaran rokok melalui iklan, promosi, dan sponsor yang masif, tapi juga kemudahan akses terhadap rokok dari sisi harga maupun ketersediaannya.

“Karena itu Negara tetap harus hadir melalui pemihakan kebijakan,” tegasnya. Apalagi menurut Lisda, jumlah perokok anak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Prevalensi perokok anak juga semakin tinggi pada anak dari keluarga dengan penghasilan menengah ke bawah, sehingga kondisi kerentanan sebagai anak dari kelompok rentan, semakin ditambah dengan kecanduan rokok sejak dini.

Sebenarnya, jelas Lisda, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah telah menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Namun hingga saat ini belum jelas bagaimana nasib revisi PP 109 tahun 2012 tersebut, meskipun sudah diamanahkan dalam Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah tahun 2023.

Padahal, dari hasil polling di rubrik Indikator Tempo.co pada periode 11-18 Juli 2022 menunjukkan, mayoritas responden (78 persen) menginginkan pemerintah membuat regulasi yang kuat untuk melindungi anak menjadi perokok. Ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap upaya perlindungan anak dari rokok masih cukup tinggi.

Karenanya sekarang ini tinggal tergantung pada niat baik Pemerintah, apakah akan bersungguh-sungguh melindungi kepentingan anak sesuai amanat Konvensi Hak Anak, ataukah akan terus menerus mencari kambing hitam dari kesalahan yang dilakukan anak karena ketidaktahuan dan kerentanan mereka sebagai anak.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!