32.5 C
Jakarta

BKKBN: Kehamilan yang Berencana Akan Menekan Prevalensi Stunting di Indonesia

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr. Hasto Wardoyo, mengatakan berencana itu keren. Karena itu, kehamilan harus direncanakan dengan baik. Kehamilan yang berencana akan menekan prevalensi stunting di Indonesia.

“Anak-anak yang lahir stunting merupakan kesalahan anak muda,” ujar Hasto Wardoyo saat berbicara pada seminar “Peran Perguruan Tinggi dalam Percepatan Penurunan Stunting”, di Universitas Batam, Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (02/11/2021).

Sebelumnya, di tempat yang sama, Kepala BKKBN juga melakukan peluncuran program “Mahasiswa Peduli Stunting” (Penting). Disaksikan Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad, juga dilakukan penandatanganan komitmen bersama perguruan tinggi pada percepatan penurunan stunting.

Penandatangan naskah kerja sama antara perwakilan BKKBN Kepri dan perguruan tinggi se-Kepri, serta penandatangan naskah kerja sama antar Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB dengan RS Graha Hermine dan RS Jasmin.

“Siapa penentu kesejahteraan bangsa ini? Penentunya adalah mahasiswa, remaja, anak muda. Namun, karena mereka tidak menjaga jarak kelahiran dan banyak memiliki anak. Maka, mereka akan melahirkan anak stunting,” tutur Hasto.

Dia mengingatkan jangan sampai terjadi “jendela peluang” dalam bonus demografi, justru menjadi beban pembangunan. Namun demikian, dia mengakui membangun SDM Indonesia yang maju dan berkualitas masih dihadapkan pada banyak kendala. Salah satunya prevalensi stunting yang saat ini mencapai sekitar 27 persen dan adanya gangguan mental emosional pada anak muda.

“Dari 100 mahasiswa akan ada mahasiswa yang sulit dikoordinir, atau juga dihadapkan pada persoalan napza (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang),” terangnya.

Hasto juga menegaskan, masyarakat harus paham dengan pengertian stunting. “Stunting pasti pendek. Tapi orang pendek bukan berarti stunting,” ucapnya. Stunting, imbuhnya, menyebabkan anak akan memiliki tinggi badan tidak sesuai dengan seharusnya.

“Secara genetik harusnya orang tersebut akan bisa memiliki tinggi 179 cm. Tapi gara-gara sakit dan gizinya kurang, mengakibatkan stunting, maka tingginya tidak sampai 179 dan IQnya tidak bagus,” jelas Hasto.

Penanganan atau pola asuh yang kurang tepat pada 1000 hari pertama kehidupan dinilai dapat menimbulkan stunting pada anak yang dilahirkan. “Ada 2 juta balita terancam kurus. Kalau kurus selama dua bulan tidak naik, bisa jadi balita itu akan stunting,” ungkapnya.

Hasto mengatakan, untuk mencapai target 14 persen stunting di Indonesia pada 2024, dibutuhkan penurunan stunting 5 persen setiap tahun. Untuk itu dibutuhkan percepatan, upaya percepatan ini harus dilakukan secara masif.

Hal ini, karena beberapa capaian yang terkait dengan stunting terindikasi menghambat percepatan penurunan stunting. Sebagai contoh kasus anemia pada perempuan yang mencapai 36,1 persen, 33,5 persen wanita usia subur hamil dengan risiko kurang energi kronik.

Masih berdasarkan data Riset dan Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebesar 22,6 persen bayi lahir dengan panjang kurang dari 37 cm, hingga lahir sebelum waktunya sebesar 29,3 persen. Sementara bayi dengan berat badan saat lahir kurang mencapai 11,7 persen, dan lahir prematur 29,5 persen.

Untuk itu, Hasto meminta agar prakonsepsi mendapat perhatian serius pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. “Pre wedding bisa mencapai 50 sampai 100 juta rupiah dan itu bisa dilakukan. Tapi untuk prakonsepsi yang hanya lima puluh ribu rupiah saja banyak terbaikan mereka,” ujarnya.

Prakonsepsi adalah perawatan sebelum terjadi kehamilan dengan rentang waktu tiga bulan hingga satu tahun sebelum konsepsi. Hasto mengingatkan prakonsepsi penting agar anak yang dilahirkan terhindar dari stunting.

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!