28.4 C
Jakarta

Catatan yang Tersisa dari Iduladha : Kurban dan Semangat Memberi

Baca Juga:

Ole:h Ashari, S.IP.*

Sebulan menjelang kurban, biasanya kita (panitia) sudah disibukkan dengan berbagai hal yang terkait dengan masalah pembelian hewan kurban (sapi, kambing, kerbau, unta). Idul Kurban  tahun ini  jatuh pada hari Jumat, 31 Juli 2020. Kesibukan lain yang mewarnai adalah rekrutmen anggota baru yang akan bergabung. Rangkaian ibadah ini memang memerlukan prepare yang cukup memadai, karena terkait dengan personil dan anggaran yang tidak sedikit. Puluhan juta bahkan sampai ratusan juta rupiah. Di samping adalah masalah distribusi daging korban yang diharapkan lebih merata.

Lima belas abad yang lalu, melalui hadisnya, Rasulullah SAW pernah bersabada bahwa: ‘Tangan diatas lebih mulia daripada tangan yang dibawah’. Kata-kata Nabi ini terkesan sederhana, tetapi sesungguhnya mempunyai  makna yang dalam. Substansinya luar biasanya. Di antaranya adalah sebuah ajakan kepada kita untuk suka memberi pertolongan kepada orang lain. Mengajarkan kepada kita untuk suka bekerja keras, sehingga ketika kita mendapatkan hasil, maka sebagian kita infakkan kepada orang lain yang membutuhkan. Makna lain, umat Islam sebaiknya menjadi umat yang mampu. Baik secara ekonomi maupun akidah. Karena memang beberapa prosesi peribadatan dalam Islam memerlukan biaya atau dana yang tidak sedikit. Ibadah zakat, kurban dan haji, misalnya.

Memberikan pertolongan kepada orang lain, tidak selalu berupa materi yang banyak, tetapi beragam cara sesungguhnya dapat kita lakukan untuk membantu. Bahkan sampai-sampai senyum, wajah yang ceria, dapat kita gunakan untuk sedekah kepada orang lain. Murah bukan?

Lalu kepada siapa kita memberikan pertolongan? Dalam Al-Qur’an dituntunkan urutan memberikan pertolongan ini, di antaranya kepada orang tua, kerabat, sanak keluarga, hamba sahaya, orang-orang miskin hingga kepada tetangga terdekat.

Dihiasi manusia cinta setengah mati dengan yang namanya harta benda dan kemewahan. Sehingga kalau bisa harta yang telah dimilikinya, akan terus bertambah dan bertambah. Cinta harta, anak, istri dan keluarga dalam batas yang wajar, sah-sah saja. Justru kita harus cinta kepada mereka. Yang kemudian membuat kita khawatir, kalau sudah sampai pada batasan ‘terlalu’.  Janganlah sampai  kita terjebak secara absolut seperti yang pernah disindir oleh Allah SWT dalam surat At-Taktsur pada ayat-ayat awal. ”Bermegah-megahlah kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur. Jangan begitu”

Orang yang suka memberi kepada orang lain, tidak saja dicintai oleh sesama manusia, namun Allah SWT sangat cinta dengan orang ini. Sifat dan sikap suka memberikan pertolongan kepada orang lain membuat hubungan pertemanan menjadi lebih dekat dan cair. Kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari, bisa jadi bukan sanak bukan saudara, kalau di antara mereka saling memberi, maka seolah menjadi saudara dekat. Begitu pula sebaliknya.

Kapan bisa dimulai? Sudah terlambat sekarang? Belum. Untuk memberikan atau berbuat baik kepada orang lain, tidak ada kata terlambat. Kita dapat mulai dari hal-hal yang sepele. Kalau kita bertetangga, dapat saling memberi makanan, sayuran, buah-buahan atau hal-hal sepele lainnya. Yakinlah, kalau semua itu kita lakukan dengan tulus, maka akan terbangun sikap saling peduli dan kasih-sayang.

Momentum ibadah kurban setiap tahun kita peringati dan rayakan memberikan pelajaran – agar dalam hidup ini, kita tidak menghamba kepada harta. Harta benda yang kita cari siang malam, tak kenal lelah, ada sebagian hak-nya orang orang miskin papa. Bahkan dalam Surat Al-Kautsar : 2 – dijelaskan, bagaimana indahnya ibadah kurban ini digandengkan dengan perintah sholat.  Ibnu Taimiyah, lebih jelas memberikan tafsir dalam Majmu’ Fatawa – bahwa Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung, yakni sholat dan kurban ini untuk taqarrub, tawadhu’ , merasa butuh kepada Allah, khusnudhan akan ketetapannya.

Yang mengetahui bahwa kita mampu atau tidak untuk kurban, sesungguhnya kita sendiri. Memang bertambah tahun, bertambah pula nominal uang yang harus disetorkan kepada  panitia kurban, untuk tahun ini berkisar antara Rp1.300.000 hingga Rp1.500.000. Bagi kita yang berpenghasilan pas-pasan, uang sejumlah itu adalah nilai yang besar. Apalagi kalau harus sekali bayar, namun dapat kita siasati dengan menabung, per bulan atau per minggu. Tidak terasa, lama-lama akan terkumpul jumlahnya.

Kurban, sekali lagi memberikan pelajaran kepada kita untuk semangat memberi, bukan meminta. Kita ingat kisah teladan Nabi Ibrahim As. Betapa indahnya mekanisme kehidupan dalam Islam ini. Kita juga dapat baca dengan seksama firman Allah dalam Surat Al-Kautsar. Bagaimana Allah sudah memberikan nikmat yang banyak dan kita diminta untuk Sholat dan berkurban, sebagai bentuk rasa syukur itu.

Di Mekkah (baca : Arab) – Ibadah kurban lebih semarak, jika dibandingkan dengan idulfitri. Ribuan bahkan jutaan ekor hewan kurban disembelih. Penulis sempat diajak melihat tempat pemeliharaan hewan kurban (unta) yang nantinya akan dipotong pada hari-H kurban, di samping domba. Tetapi dominasi unta lebih kelihatan. Dan informasinya hewan kurban yang sudah dipotong tersebut, tidak hanya dikonsumsi untuk umat Islam di Mekkah dan sekitarnya. Tetapi ‘dieksport’ ke daerah lain yang memerlukan. Harus diakui bahwa secara representatif ekonomi sosial masyarakat Mekkah lebih mapan.

Bagaimana di tempat kita?

Model kurban yang dibagi di tempat lain juga sudah tidak asing lagi. Karena kita sadar bahwa fakta realistis masih banyak saudara-saudara kita yang belum beruntung  secara ekonomi. Maka meski hanya setahun sekali ritual kurban ini, upaya untuk pemerataan daging kurban dilakukan. Karena secara substansi ibadah ini adalah bentuk dari rasa syukur yang dibagi. Masih sering terjadi paradoks sosial ditengah masyarakat kita. Upaya pemerintah untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) rupanya masih jauh. Masih terus diperlukan reformasi kemanusiaan untuk menuju kearah sana. Salah satunya adalah momentum  kurban kita jadikan semangat untuk memberi.

Juga sudah lama digagas bentuk kurban yang diawetkan. Misalnya sarden, ikan asin, dan sebagainya. Tidak masalah. Saya justru lebih melihat kepada semangatnya. Sehingga meskipun nantinya peringatan Iduladha sudah selesai, semangat berkuban (ruh untuk memberi, menolong orang lain yang membutuhkan) masih melekat dan kita bawa, untuk dapat kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.Komitmennya tetap yaitu agar harta benda yang kita miliki bermanfaat dan diridhai oleh Allah SWT. Barokah. Berkah. Memiliki nilai tambah.

Kalau harta yang kita miliki ini kita tahan-tahan dan enggan untuk dikelurkan, pengalaman Allah akan ‘mengambil’ harta kita dengan cara-Nya sendiri. Apakah itu jatuh, hilang atau kita diberi anugrah sakit yang harus memakan biaya banyak. Meski bukan berarti setiap sakit yang kita derita adalah bentuk dari ‘teguran’ Allah karena kita pelit. Sakit sejatinya kita jadikan refleksi positif. Ekspresi orang yang sedang didera sakit memang macam-macam. Ada yang mengeluh, menghujat tetapi ada juga yang bersyukur. Sebab dengan sakit yang diderita bisa jadi sebagai jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Sejarah kurban di jaman Nabi Ibrahim As yang diminta untuk mengorbankan anaknya Ismail yang sedang dalam masa tumbuh. Usia-usia SMP. Saat orang tua sedang senang-senangnya memandang. Anak yang diperoleh dari akumulasi doa demi doa. Berpuluh-puluh tahun. Justru pada saat ia sedang beranjak remaja, seolah Allah ingin ‘menarik’ kenikmatan Ibrahim. Ibrahim diminta untuk memilih 2 opsi yang berat. Mengorbankan anaknya dengan cara menyembelih yang itu artinya taat kepada-Nya. Atau pilihan kedua ingkar. Namun Ibrahim dikenal Nabi yang hanif, lurus. Apa yang diperintahkan Allah selalu dikerjakannya dengan sebaik-baiknya.

Beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari ibadah kurban ini disamping semangat memberi adalah:

 Pertama Nilai keikhlasan dalam beribadah semata-mata kepada Allah. Hal ini dibuktikan dengan ketaatan absolut Ibrahim untuk menyembelih Ismail.Meski setan menggoda berbagai cara, namun tidak mempan. Melalui istrinya, melalui Ismail sendiri. Semuanya mental.

Kedua – Pentingnya komunikasi orang tua dengan anak. Kita lihat, ketika Ismail akan disembelih.Ibrahim tidak serta merta dan memaksa anaknya untuk nurut disembelih atau dipaksanya dengan dicincangkan diatas papan kayu kemudian ditebas batang lehernya.Atau didorong masuk jurang atau sumur. Tidak. Namun yang dilakukan Ibrahim adalah mengajak dialog atau komunikasi. Kata Ibrahim kurang lebih begini, “Nak, bapak sudah 3 hari tiga malam ini bermimpi untuk menyembelih kamu, sebagai bentuk ketaatan bapak kepada Allah Swt. Bagaimana menurut pendapatmu?” Jawaban Ismal, “Wahai ayahanda, kalau memang menyembelih aku adalah bagian dari perintah Allah, maka laksanakan ayah, semoga nanti engkau menjumpai aku termasuk kedalam golongan orang-orang yang sabar,”. Jawaban Ismail hampir 15 abad yang lalu, yang diabadikan dalam Al-quran ini, tak urung membuat banyak orang menangis, meneteskan air mata. Bagaimana mungkin anak usia SMP dapat memberikan jawaban setegar itu? Kita perlu Ismail-ismail era sekarang.

Ketiga Membangun generasi dengan contoh. Ismail bisa setegar itu, karena melihat figur Ibrahim. Kini banyak anak yang kehilangan tauladan dalam bersikap. Anak gamang mencari panutan. Akibat salah mencari figur, maka yang terjadi adalah ‘salah cetak’ anak dengan orang tuanya. Padahal sebuah negara akan maju dan berkembang, sangat ditunjang oleh konstruksi bangunan yang paling dasar, yakni keluarga. Mengapa negara kita, lamban melesat sejajar dengan negara-negara tetangga, kita musti koreksi dari keluarga kita masing-masing.

Keempat- Cinta akherat lebih. Kecintaan kita kepada dunia yang berlebihan, akan menyebabkan kita lupa daratan.Lupa aturan. Sebab dunia semakin dicari semakin kurang. Semakin dikejar, semakin lari. Tidak pernah terpuaskan. Karena semuanya tergantung dari pembanding kita masing-masing. Sementara kehidupan akhirat yang lebih kekal abadi selama-lamanya, memberikan pelajaran bahwa harta yang kita miliki adalah sarana, alat untuk menuju surga-Nya. Konsekuensi dari pemahaman ini kita tidak merasa ragu dan rugi untuk berkurban. Jangankan harta benda, nyawapun kalau itu untuk kejayaan agama kita pertaruhkan.

Semoga momentum kurban tahun ini memberikan semangat kita untuk koreksi diri. Sudahkah kita gemar berkurban untuk orang lain yang benar-benar membutuhkan. Yakinlah bahwa apa yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita sendiri.Tidak pernah akan tertukar sedikitpun. Sekian.

*Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman. Opini pribadi

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!