33.4 C
Jakarta

Food, Fun and Fashion

Baca Juga:

Oleh : Ashari, SIP*

Pulang kantor, coba kita buka penutup meja makan. Berapa banyak jenis makanan yang harus kita makan, bentuk menu hari ini? Rata-rata lebih dari cukup. Bahkan kadang tidak puas makan di rumah, kita masih sering makan d luar. Yang kita nilai menunya lebih variatif. Lagi, ayo coba hitung berapa pakaian yang ada di almari baju kita? Belum yang masih kotor di laundry? Ups, kita akan kaget, betapa jumlah pakaian yang kita miliki lebih dari cukup. Bahkan terkesan mubazir. Artinya banyak pakaian yang sudah tidak kita pakai, tapi tinggal lama di almari kita. Untuk apa? Bisa jadi kita bingung mau dikemakan pakaian berlebih di almari kita. Akhirnya menumpuk. Hingga bukan lagi pakaian kita bernilai tambah, namun sudah sampai pada batas biaya tambah. Belum lagi kebutuhan akan kesenangan yang harus kita penuhi. Nonton film di bioskop, renang atau jalan-jalan.

Kebutuhan  makan  (food) tidak bisa dipungkiri menjadi kebutuhan primer yang tidak bisa ditahan. Benar. Namun harus diakui kadang-kadang pemenuhan untuk kebutuhan perut ini berlebih. Bukan juga berarti harus ngirit dan menjadi vegetarian seumur hidup. Tetapi sesungguhnya kebutuhan makan terpenuhi adalah semata agar tubuh kita kuat dan sehat hingga dapat beraktifitas keseharian, hingga hasil yang kita peroleh tidak semata-mata untuk perut sendiri, namun sebagian ada hak orang lain yang perlu kita bantu. Minimal 2,5% dari penghasilan yang kita dapat harus dipotong untuk zakat. Jika kita tidak mau maka Allah SWT akan “memotong”nya dengan cara-Nya sendiri.

Warung-warung makan bermunculan. Kedai makan hadir disamping rumah kita. Restoran menjadi pemandangan yang lumrah di sudut-sudut kota. Tidak mengapa. Sah-sah saja. Mereka mempunyai hak untuk mencari rizqi melalui jalur tersebut. Namun sejatinya makan adalah sebuah pilihan. Dan kita mempunyai hak prerogatif untuk menentukan makan apa dan makan dimana.

Pengalaman membuktikan, jika hidup kita sebagian besar hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, hingga cost-nya menjadi dominan, maka pada masa tua kita akan kaget, karena ternyata kita tidak mempunyai tabungan untuk membuat rumah, tabungan untuk pendidikan anak-anak, tabungan untuk beribadah, tabungan kesehatan untuk masa tua. Karena pada saat muda, ketika kita kuat dan jaya, penghasilan hanya habis untuk makan. Alasannya mumpung ada. Makan enak boleh saja. Namun ternyata kalau itu menjadi sebuah “gaya” kita akan menyesal pada masa tuanya.

Ada sebuah hadits atau perkataan dari sahabat nabi, Ali bin Abi Thalib  jika seseorang terlalu memikirkan apa yang dia makan, maka sesungguhnya derajatnya tidak lebih dari apa yang dikeluarkan setelah makan itu. Maka sejarah mencatat tidak ada orang yang sukses dan jaya, dikenang masyarakatnya, karena makannya, yang terjadi adalah sebaliknya, sejauh mana mereka memberi makan kepada orang lain yang membutuhkan. Lihatlah Muhammad Saw, Mahatma Gandhi, atau Abdullah bin Umar.

Kedua, kesenangan (fun). Kebutuhan akan kesenangan yang berlebihan sebaiknya juga harus kita rem. Bukan tidak boleh rekreasi, refreshing, namun kadang-kadang apa yang kita lakukan sudah masuk dalam ranah gengsi, mengejar prestise dan prestisius. Liburan kalau tidak keluar negeri, belum dibilang liburan. Padahal di dekat-dekat kita masih banyak tempat-tempat wisata yang dapat digunakan untuk “melepas” penat setelah seharian, semingguan atau sebulanan bekerja tanpa henti. Cost tidak terlalu terbuang, manfaat tetap didapat.

Bahkan jika kesenangan batin yang kita kejar, maka sesungguhnya kita bisa sesekali pergi ke rumah sakit. Meskipun tidak dalam rangka bezuk. Mengapa? Dari situ kita akan lebih banyak bersyukur, ternyata kita masih diberi kesehatan. Sementara saudara-saudara kita diberi anugrah sakit hingga harus berbaring, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka juga belum tahu harus membayar dengan apa. Ini adalah bagian dari kesenangan hati yang kadang terlewatkan.

Jadi kesenangan (fun) tidak harus identik dengan nonton konser musik, jalan-jalan di mall atau ke luar negeri.

Ketiga, soal fashion. Soal mode pakaian. Apakah kita harus selalu mengikuti trend baju yang ada saat ini?Tahan. Benar bahwa “ajining diri gumantung saka busana”. Namun tentu tidak semata pakaian bagus yang kita kenakan. Lebih kepada sikap (attitude) yang kita perlihatkan, kita tampilkan kepada orang lain. Maka pemenuhan kebutuhan pakaian, menurut hemat saya juga disesuaikan dengan keperluan. Terlalu banyak pakaian yang kita punya, justru akan membuat kita bingung sendiri. Memang pilihan makin beragam. Namun ingat, mereka juga memerlukan biaya perawatan yang tidak sedikit.

Disaat saudara-saudara kita sedang dilanda musibah banjir, tanah longsor bahkan sulit makan, sudah saatnya energi empati kita kedepankan untuk membantu mereka, dengan menge-rem kebutuhan-kebutuhan yang sejatinya tidak harus kita penuhi. Yakinlah ketika kita dapat membantu orang lain, dengan tulus, apapun itu, maka hati akan menjadi lebih tenang dan “kaya”. Hingga kita tidak menjadi salah satu korban makanan, korban kesenangan dan korban mode. Karena kita sudah mempunyai visi dan misi yang jelas. Lurus. Selamat mencoba. Sekian

Penulis : Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY. e-mail : hari_ashary@yahoo.com

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!