JAKARTA, MENARA62.COM – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim menggelar silaturahmi bersama komunitas dan perwakilan siswa serta mahasiswa penerima program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kamis (2/5/2024) di Jakarta. Selama acara tersebut, Mendikbudristek terlibat dalam dialog dengan menjawab pertanyaan dari peserta mengenai berbagai persoalan pendidikan.
“Saya senang bisa hadir di sini untuk bertemu dengan Bapak/Ibu,” kata Mendikbudristek mengawali dialog.
Silaturahmi yang diselenggarakan dalam acara bertajuk “Rembuk Komunitas Merdeka Belajar dan Temu Nasional KIP Kuliah 2024” ini merupakan salah satu rangkaian dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024. Acara ini dihadiri oleh 500 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Peserta terdiri atas perwakilan dari Komunitas Ibu Penggerak “Sidina Community”, Komunitas Pemuda Pelajar Merdeka, Komunitas Guru Konten Kreator, dan Komunitas Kami Pengajar. Selain itu, hadir pula mahasiswa penerima mahasiswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, siswa penerima program Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem), dan mahasiswa penerima program Afirmasi Pendidikan Tinggi (Adik).
Kebijakan di Daerah 3T
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta beragam, misalnya saja tentang sejauh mana upaya pemerintah untuk peningkatan kualitas pendidikan di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Mendikbudristek mengakui bahwa tidak cukup jika intervensi untuk sekolah-sekolah di daerah tersebut dilakukan dengan cara-cara biasa. Ia mengatakan, salah satu yang diubah kebijakannya untuk mengafirmasi sekolah-sekolah ini adalah dengan memisahkan besaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi siswa yang ada di daerah 3T.
“Dulu, dana BOS dibagikan merata. Tapi, keseragaman itu bukan (berarti) adil. Jadi, kami mengubah kebijakan untuk sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah tersebut, di mana setiap anak ditambah besaran dananya. Penambahan dana BOS bahkan bisa mencapai 30 sampai 40 persen,” jelas Mendikbudristek.
Di sisi lain, kebutuhan operasional setiap sekolah bervariasi, bahkan di daerah 3T sekalipun. Ada sekolah yang memerlukan sarana seperti meja dan kursi, buku, dan fasilitas lainnya, sementara ada yang membutuhkan kapal untuk mengangkut guru-guru ke pulau terpencil agar dapat mengajar. “Ini menjelaskan betapa kebutuhan sekolah berbeda-beda dan karena itulah kita membuat dana BOS itu jauh lebih fleksibel,” tutur Mendikbudristek.
Di daerah 3T ini pula, Mendikbudristek menambahkan, pihaknya membuat kebijakan dengan mengirimkan buku-buku bacaan menyenangkan, terutama di wilayah yang tingkat literasinya rendah. Selain itu, kebijakan lain yang juga berpihak bagi sekolah-sekolah di daerah Timur Indonesia adalah implementasi Kurikulum Merdeka. Menurutnya, banyak orang memiliki persepsi yang salah tentang Kurikulum Merdeka, menganggapnya hanya relevan bagi guru-guru di kota besar dengan teknologi dan akses internet.
“Justru yang lebih membutuhkan Kurikulum Merdeka adalah sekolah yang tertinggal. Karena guru diberikan kebebasan untuk maju-mundur menyesuaikan pembelajaran dengan tingkat kemampuan siswa,” jelasnya.
Mendikbudristek juga menjelaskan bahwa Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan kepada siswa yang tidak menonjol dalam kemampuan akademik. Melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), berbagai cara dipersiapkan untuk menunjukkan keunggulan peserta didik. “Mungkin mereka tidak begitu mahir dalam berhitung, tetapi mereka memiliki kemampuan untuk memimpin rekan-rekannya dalam mengerjakan proyek di lapangan. Mereka menjadi percaya diri,” katanya.
Sistem Zonasi Berkeadilan
Sementara itu, menanggapi pertanyaan seputar sistem zonasi yang terkadang menimbulkan persoalan di lapangan, Mendikbudristek menjawab bahwa kebijakan itu justru mengedepankan azas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia menilai, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk dapat masuk ke sekolah negeri.
Menurutnya, selama dua dekade terakhir, kebijakan Ujian Nasional (UN) yang menjadi syarat masuk ke jenjang yang lebih tinggi, menciptakan ketidakadilan bagi keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Mendikbudristek menyatakan, yang terjadi adalah keluarga dengan ekonomi tinggi bisa masuk sekolah negeri gratis, sementara keluarga dengan tingkat ekonomi rendah harus membayar mahal dengan masuk ke sekolah swasta.
Dia menegaskan bahwa hal ini tidak adil, karena keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi cenderung memiliki akses lebih besar untuk bimbingan belajar dan memberikan dukungan tambahan kepada anak-anak mereka, sehingga dapat mempengaruhi hasil ujian nasional yang tinggi.
Mendikbudristek menekankan bahwa meskipun program zonasi tidak sempurna, namun harus dipertahankan sebagai bentuk azas moralitas dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dia juga mengakui bahwa program ini memiliki tantangan, seperti masalah integritas data dan penyelewengan, namun pemerintah akan terus berupaya untuk memastikan program ini berjalan dengan baik dan mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat.
Merdeka Belajar Jadi Kepemilikan Bersama
Saat salah seorang peserta rembuk bertanya tentang pesan yang ingin disampaikan untuk komunitas terhadap program Merdeka Belajar, Mendikbudristek menuturkan bahwa dirinya berharap, gerakan ini dapat digaungkan lebih besar lagi oleh komunitas. “Saya berharap, Merdeka Belajar menjadi kepemilikan bersama, tidak hanya pendidik, tetapi juga orang tua, siswa, mahasiswa, dan masyarakat,” katanya.
Mendikbudristek mengakui, pada tahun pertama dan kedua menyosialisasikan kebijakan Merdeka Belajar ini kepada masyarakat, masih banyak salah kaprah terkait program ini. Namun, setelah lima tahun pelaksanaan Merdeka Belajar, suasana di ruang kelas dan cerita murid tentang pengalaman di sekolah telah mengalami perubahan signifikan. Dia mengungkapkan kegembiraannya atas peningkatan jumlah murid yang senang menceritakan aktivitas menyenangkan di sekolah kepada orang tua mereka, yang menurutnya merupakan indikator keberhasilan program.
Mendikbudristek juga menekankan pentingnya meningkatkan komunikasi dengan para orang tua, mengingat peran kunci mereka sebagai pemangku kepentingan penting dalam mendukung Merdeka Belajar. Dia juga meminta dukungan komunitas untuk memberikan ruang bagi guru-guru penggerak yang memiliki peran penting sebagai agen perubahan di tingkat sekolah. Mendikbudristek berharap agar para guru penggerak diberi kesempatan untuk berbagi informasi dan mendapatkan dukungan lebih lanjut dalam memperkuat Merdeka Belajar.
Selain berdialog dengan Mendikbudristek, kegiatan ini juga diisi dengan diskusi panel bersama tiga pembicara, yaitu Kepala Pusat Penguatan Karakter, Rusprita Putri Utami; Kepala Pusat Prestasi Nasional, Maria Veronica Irene Herdjiono; dan Plt. Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan, Abdul Kahar. Diskusi membahas topik terkait kekerasan di lingkungan pendidikan, dan penyaluran KIP Kuliah