27.3 C
Jakarta

Peserta Aksi Kamisan, Akhirnya Diterima Presiden di Istana

Pelanggaran HAM Masa Lalu Belum Dituntaskan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Peserta aksi Kamisan yakni para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia yang biasa menggelar aksi di Istana Kepresidenan akhirnya diterima Presiden Joko Widodo di dalam Istana Merdeka Jakarta.

Sebanyak 20 peserta aksi Kamisan diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Kamis (31/5/2018), sekitar pukul 15.00 WIB, seperti dilansir Antara.

“Bapak Ibu sekalian yang saya hormati. Hari ini saya senang bisa bertemu dengan bapak ibu sekalian, yang saya lihat setiap minggu melakukan acara Kamisan di depan Istana,” kata Presiden Jokowi saat menerima mereka.

Presiden didampingi sejumlah jajarannya yakni Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Koordinator Staf Khusus Teten Masduki, Staf Khusus Presiden Johan Budi, Staf Khusus Presiden Adita Irawati, dan Staf Khusus Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin.

Sebelum diterima Presiden, Maria Katarina Sumarsih (64) seorang ibu yang anaknya tertembak di halaman kampusnya Atma Jaya Jakarta oleh aparat keamanan yang sedang mengamankan demontrasi mahasiswa mengatakan, ia bersama keluarga korban 1998 yang senasib dengannya sudah berulang kali masuk ke Istana Presiden.

“Saya berharap Pak Jokowi memenuhi komitmennya untuk mewujudkan visi, misi, dan program aksi yaitu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan juga menugasi jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas yang diberikan Komnas HAM,” katanya.

Sejak 18 Januari 2007, Sumarsih dan keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menginisiasi sebuah aksi diam yang disebut aksi Kamisan.

Setiap Kamis sore, mereka berdiri diam sambil memegang payung berwarna hitam di seberang Istana Negara, serta berharap Presiden melihat apa yang menjadi tuntutan mereka yakni penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

“Kita sudah 540 kali aksi Kamisan masa kita cuma mau ngobrol sama Presiden. Yang dituntut, Pak Jokowi menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menugasi Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM,” kata Sumarsih.

Diminta hadir

Presiden Joko Widodo diminta untuk hadir dalam aksi Kamisan bersama dengan para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Kami meminta Bapak Presiden untuk hadir di tengah aksi Kamisan untuk memberikan semangat bahwa apa yang kami mohon, yang kami minta, ada dalam visi-misi program aksi Jokowi-JK benar-benar terwujud,” kata Sumarsih, salah seorang anggota keluarga Aksi Kamisan, seusai bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis.

Sumarih adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi 1998 dan sejak awal memulai Aksi Kamisan.

Aksi Kamisan adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 yang dilakukan oleh para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia seperti korban peristiwa 1965, Tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, korban tragedi Wasior-Wamena dan lainnya.

Kegiatan tersebut dilakukan di dekat Taman Aspirasi yang menghadap ke Istana Merdeka. Aksi dilakukan dengan membawa atribut payung hitam setiap Kamis pukul 16.00 hingga 17.00 WIB tanpa melakukan orasi dan lebih banyak diam, dan pada hari ini tepat sudah 540 kali Aksi Kamisan digelar.

“Aksi Kamisan akan terus berlanjut. Presiden sangat ingin hadir, tapi memohon waktu untuk mempertimbangkan, mungkin bisa minggu depan atau saya tidak tahu,” kata Romo Sandyawan, yang ikut bertemu dengan presiden.

Romo Ignatius Sandyawan Sumardi adalah Sekretaris Tim Relawan Penanganan Korban Kerusuhan Peristiwa 27 Juli 1996. Ia merupakan salah seorang pemprakarsa pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (TGPF).

“Bapak Presiden masih akan mempelajari berkas yang kami sampaikan ke Bapak Presiden, agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang diselesaikan Komnas HAM, khususnya pelanggaran HAM masa lalu yang tertulis di dalam visi, misi program aksi Jokowi-JK bisa segera diwujudkan,” ujar Sumarsih.

Ia mengatakan, Presiden menugasi Kepala Staf Kantor Presiden Moeldoko untuk meneruskan penyelesaikan kasus-kasus tersebut ke Jaksa Agung.

“Bapak Presiden minta kami mengejar-ngejar Bapak Moeldoko seandainya permohonan kami agar Bapak Presiden memberikan pengakuan terjadinya pelanggaran, kasus-kasus yang sudah dijelaskan Komnas HAM, yaitu Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, penghilangan paksa, 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965 menjadi kewajiban Jaksa Agung untuk menindaklanjuti ke tingkat penyidikan,” jelas Sumarish.

Presiden juga membuka kesempatan untuk bertemu dengan keluarga korban dan terus berkoordinasi dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM.

“Jadi, tuntutan korban agar Bapak Presiden itu mengakui, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti yang disampaikan Ibu Sumarsih dan juga memerintahkan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berbagai macam hasil TPF, TGPF, atau penyelidikan Komnas HAM dari penyelidikan ke arah penyidikan,” jelas Sandyawan.

Ia pun menegaskan, keluarga para korban pelanggaran HAM tidak pernah mendukung calon presiden atau calon wakil presiden tertentu.

“Siapa pun yang jadi presiden, kami berhak untuk melakukan penuntutan dan presiden wajib selesaikan kasus pelanggaran HAM berat baik masa lalu atau masa kini,” demikian Sandyawan.

Tidak setuju

Rencana kedatangan Presiden RI Joko Widodo ke Aksi Kamisan ke-540 atau mengadakan pertemuan dengan perwakilan Aksi Kamisan ini, dianggap bukanlah hal yang istimewa. Sejak awal, tujuan utama Aksi Kamisan bukan semata-mata untuk dikunjungi atau bertemu presiden, melainkan untuk mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan peserta aksi Kamisan ini, justru menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, aksi yang sudah berlangsung 11 tahun di depan Istana Negara itu, dan bahkan sudah mengirimkan ratusan surat kepaa presiden, termasuk di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, belum pernah satupun yang mendapat respons berarti.

Sejumlah aktivis HAM bahkan mengkhawatirkan, pertemuan tersebut hanyalah sesuatu yang bersifat simbolis atau merupakan sebuah ‘gimmick’ di tengah tahun politik yang sedang berlangsung. Jika pertemuan ini tidak dilandasi oleh tekad dan komitmen yang kuat dari kepala negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, maka hal tersebut justru akan menghina rasa keadilan dan kemanusiaan itu sendiri, serta semakin memupus harapan korban dan keluarga korban.

Penting untuk diingat kembali bahwa selama menjabat sebagai Presiden RI, Presiden Joko Widodo dianggap memiliki performa yang lamban dalam menyelesaikan atau setidak-tidaknya memberi respons terhadap masalah-masalah terkait pelanggaran HAM. Padahal,  agenda penyelesaian pelanggaran HAM sudah tertuang dalam dokumen Nawa Cita Joko Widodo-JK. Kebijakan Presiden Joko Widodo selama ini juga telah membawa mundur upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat, misalnya dengan mengangkat Wiranto sebagai Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), dan menyerahkan koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di bawah Menkopolhukam. Presiden juga membiarkan Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM; Presiden menolak mengumumkan dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir, dan bahkan dokumen itu sempat disebutkan tidak diketahui keberadaannya; hingga perihal Rekomendasi DPR RI kepada Presiden dan pemerintah untuk mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, membentuk tim pencarian korban yang masih hilang, memulihkan korban dan keluarga korban termasuk meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa — semuanya juga tidak dilakukan.

Pengakuan

Dalam momentum pertemuan yang tersebut, secara khusus, sejumlah aktivis HAM juga ingin mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih menggantung. Diantaranya, upaya untuk: mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia dan pemerintah belum mampu menyelesaiakannya, dan akan menyelesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku; menindaklanjuti empat rekomendasi DPR untuk kasus Penghilangan Paksa (Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc; membentuk Tim Pencarian korban; Memulihkan korban dan keluarga, meratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa); dan memastikan Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM.

Para aktivis HAM juga mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mengumumkan dokumen laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF-KMM), yang tela menjadi mandat yang tertuang dalam Keppres 111/2004.

Selain hal-hal tersebut di atas, langkah Presiden Joko Widodo untuk membentuk sebuah Komite Kepresidenan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, juga merupakan sebuah parameter yang sahih bahwa Presiden Joko Widodo mempunyai perspektif HAM dan keadilan. Alih-alih hanya mengundang perwakilan massa Aksi Kamisan yang cenderung kuat nuansa pencitraannya, seharusnya Presiden Joko Widodo lebih memprioritaskan agenda pembentukan Komite Kepresidenan tersebut dan melakukan tindakan yang lebih konkret daripada hanya sekadar tindakan populis.

Paling tidak, langkah konkret yang diharapkan inilah, yang harus menjadi parameter untuk melihat kesungguhan Presiden Joko Widodo untuk memastikan bahwa pertemuan yang dilakukan tersebut, sebagai bagian dari komitmennya sebagai Kepala Negara. Sehingga, tidak menimbulkan kesan sekadar untuk ‘tampil’ membawa kepentingan politik pragmatis di tengah tahun politik ini.

Ada baiknya pula, jika komitmen Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan masalah HAM masa lalu tersebut, juga diikuti dengan langkah Presiden Joko Widodo untuk membersihkan kabinetnya dari para figur yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM.

Sejumlah peserta Aksi Kamisan mengungkapkan, kedepan mereka akan tetap melakukan aksi. Sambil berharap, Presiden Joko Widodo dapat memenuhi janji politiknya. Jika hingga akhir masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, tak kunjung ada langkah konkret penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, maka upaya hukum dapat ditempuh oleh korban, keluarga korban dan segenap masyarakat sipil.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!