PALU, MENARA62.COM — Tanah yang dipijak masih gembur, terkadang goyang dan hampir membuat terpeleset atau terperosok siapa pun yang menginjaknya. Di sekitar hanya ada gunungan lumpur, aspal yang terlipat dan mengangkat, sampai mobil yang terlempar dan rumah yang remuk tak berbentuk. Bencana gempa besar 7,4 SR di Kota Palu dua pekan lalu benar-benar meninggalkan kehancuran luar biasa di lokasi ini, Perumnas Balaroa.
Bukan guncangan gempa yang secara langsung menghancurkan Perumnas Balaroa, tapi fenomena likuefaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat beban getaran gempa. Gempa membuat tanah terangkat, aspal terbelah, dan rumah di atasnya dilipat-lipat menjadi remukan.
Fenomena Likuefaksi ini pula yang kini meninggalkan duka bagi Aco (22). Hari berganti, sudah dua pekan pascabencana gempa dan tsunami. Harapan Aco masih tinggi, meski harapan itu berseteru dalam dirinya, berseteru dengan rasa kehilangan yang tak mungkin mudah dilupakan.
“Saya yakin, istri saya masih bisa ditemukan. Apapun kondisinya, saya ingin memakamkan istri dengan cara terbaik,” ungkapnya, Kamis (11/10/2018).
Hari nahas itu, Jumat (28/9/2018), Aco masih mengingat betul, istrinya Elisa (22) sedang mengendarai sepeda motor matic miliknya, menyusuri jalan-jalan kecil di Perumnas Balaroa. Sementara Aco ada di dalam rumah, menunggu azan Magrib.
“Istri saya sedang di luar bawa motor. Lalu gempa datang. Tanah terbuka. Aspal berlipat. Suara gemuruh sangat besar dari dalam tanah. Rumah saya bergerak mengikuti gemuruh tanah,” ujar Aco mengenang momen ketika likuefaksi meremukkan Balaroa.
Aco bisa selamat karena naik di atas genting rumah. “Tapi jalan aspal sudah hilang. Istri saya tenggelam ditelan tanah,” ujar Aco dengan mata memerah, tanda sudah berhari-hari ia bergelut dengan tangis kehilangan.
Sudah hampir dua pekan berselang, Aco masih menjaga harapannya, harapan untuk bertemu dengan jasad istrinya walau memang hampir mustahil. Pasalnya, tanah dan apapun benda di atasnya sudah remuk tak berbentuk. Perumnas Balaroa sebagai salah satu perumahan paling awal di Kota Palu, kini hanya berupa serpihan berbukit-bukit. Tanah terangkat beberapa meter, lumpur dan air hitam menggenang di tiap petak-petaknya.
“Semua berubah posisinya di sini. Rumah saya terseret puluhan meter. Masjid Daarul Muttaqien yang tersisa tinggal menaranya ini juga pindah jauh dari posisi aslinya,” cerita Asfan, penyintas gempa dan tsunami lainnya yang bertetangga dengan Aco.
Sore itu, Aco dengan matanya yang memerah masih melangkah hati-hati, merunduk ke bawah tumpukan kehancuran Balaroa. Ia mencari tanda, potongan atau bahkan serpihan sepeda motor yang bisa ia kenali, sepeda motor yang terakhir kali dikendarai istrinya sewaktu gempa besar datang.
“Hanya sepeda motor itu satu-satunya tanda. Kalau bekas-bekas motor matic itu ketemu, besar kemungkinan ada jasad istri saya di dekatnya,” ujar Aco penuh harap.
Sementara itu, pada pekan kedua pascabencana gempa dan tsunami di Palu-Donggala-Sigi-Parigi, Tim Emergency Response ACT masih berjibaku melanjutkan aksi evakuasi jenazah. Fokus pencarian masih dipusatkan di Perumnas Balaroa.
“Kalau pemerintah daerah meminta kita untuk membantu melanjutkan pencarian korban di sana, kita akan lakukan. Kalau tidak, maka kami akan hentikan,” kata General Manager Komunikasi ACT Lukman Aziz saat memantau proses pencarian korban di kawasan perumahan Balaroa, Jumat (12/10/2018).
“Sesuai prosedur standar unsur SAR yang bertugas di lokasi bencana Kota Palu, pencarian korban bencana berlangsung selama tujuh hari dengan perpanjangan tiga hari,” kata Komandan Regu Tim Emergency Response ACT di Perumnas Balaroa, Tejo Kuntoro, di sela upaya pencarian jenazah korban, Kamis (11/10/2018).