28 C
Jakarta

Memasuki Ramadhan Dengan Novel “Sang Pangeran dan Janissary Terakhir”

Baca Juga:

Sebagai pemeluk agama, setinggi apa tanda pangkat di pundak kita sehingga kita merasa wajar bila meninggalkan perintah Tuhan? Seberapa besar ketergantungan orang banyak kepada kita, yang bisa membuat kita merasa bahwa Penguasa Semesta pasti memaklumi kesibukan kita? Dalam konteks bulan Ramadhan misalnya, sehebat apakah peran dan tanggung jawab yang ada di tangan kita, lalu kita mengklaim diri layak untuk dikecualikan dari ibadah puasa?

Bagi saya yang Muslim, pertanyaan semacam ini bagai sindiran keras sekaligus dorongan untuk introspeksi. Terutama, ketika lembar-lembar kisah Pangeran Diponegoro tulisan Salim A. Fillah yang saya baca berbarengan dengan jelang ramadhan sampai bagian penghabisan, rekaman masa-masa menjelang berakhirnya Perang Jawa.

Saat itu, di Remo Kamal, Bagelen Barat, 20 Februari 1830, juga mendekati bulan puasa. Sang Pangeran, kedatangan utusan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Belanda Jenderal Hendrik Markus de Kock. Kendati di dadanya berkobar semangat membebaskan rakyat dari penindasan dan penjajahan, mengemban cita-cita mulia “amangun luhuripun agami Islam ing Tanah Jawi“, Pangeran Diponegoro sejenak menyingkirkan tugas-tugas maha penting sebagai pemimpin. Sang Pangeran me-manage semua urusan dengan paripurna. Dunia terpenuhi, akhirat tunai secara maksimal. Itu sebabnya, rencana perundingan untuk mengakhiri perang dengan Belanda harus digeser karena Sang Pangeran beserta pasukan dan pendukungnya ingin khusyuk beribadah di bulan Ramadhan. Bagaimana dengan kita?

Kisah Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa yang berkobar sepanjang 1825-1830 memang selalu menarik, perlawanan yang membuat kongsi dagang Belanda (VOC) nyaris bangkrut, mengerahkan 8.000 serdadu Eropa, 7.000 prajurit pribumi dan menguras dana kerajaan Belanda hingga 25 juta Gulden.

Begitu banyak pelajaran yang dapat kita petik. Tidak saja perihal ketaatan pemimpinnya dalam beragama, ulasan budaya, ekonomi, tapi juga tema sosial politik yang menyelimutinya. Buku terakhir dengan topik ini yang saya baca “Jejaring Ulama Diponegoro” (2019) tulisan Zainul Milal Bizawie mengungkap jaringan yang dibangun dan kolaborasi antara kaum santri-ksatria. Dan yang terbaru ini, novel yang diberi judul “Sang Pangeran dan Jannissary Terakhir” terasa makin menggenapi khazanah pengetahuan tentang peran Pangeran Diponegoro dan sumbangsihnya bagi sejarah tanah air kita, efeknya bagi perjuangan, proklamasi kemerdekaan maupun Indonesia dan perlakuan bangsa-bangsa Eropa hari ini. Dengan begitu, kita tidak heran, lebih clear memahami campur tangan dunia terhadap sumber daya alam dan kekayaan tanah air kita.

Kendati pada kasus Perang Jawa “semua sudah tahu akhirnya” –seperti buru-buru ditegaskan penerbit melalui instagram ketika mempromosikan novel ini– sebagai sebuah penuturan, penulis yang memang produktif menyebar gagasan lewat buku, begitu cermat menggaet ketertarikan pembaca. Terutama, karena novel ini justru banyak mengorek asal muasal, faktor-faktor penyebab dan menganalisa bagaimana situasi kondisi serta peta politik dunia hingga sejarah harus berjalan seperti yang sudah banyak dieksplorasi sejarawan. Alhasil, ulasannya padat unsur kebaruan yang menimbulkan efek “wow”.

Pembaca disuguhkan jawaban tentang apa yang menjadi pemantik awal perang itu hingga berkobar, mengapa putra sulung Hamengkubuwono III yang notabene pewaris tahta begitu geram dan justru memilih kehidupan di luar istana sekaligus berseberangan kepentingan dengan mereka. Perselisihan internal pun ada dan disorot.

Apa pula kaitan penggunaan simbol-simbol, nama kesatuan pasukan, susunan hirarki kepangkatan, seragam para prajurit, sebutan para panglima maupun taktik strategi serta persenjataan pasukan Pangeran Diponegoro dengan jejak-jejak kekaisaran Turki Utsmani. Bahkan, pembaca dibuat mengerti sebab apa yang lebih esensial di balik ekspansi orang-orang Eropa ke nusantara memburu rempah-rempah yang melahirkan penderitaan ratusan tahun leluhur kita.

Penggalian dan pengungkapan sebab musabab dari semua peristiwa bersejarah itu menjadi kian terang benderang dan terasa klop karena penulisnya memotret dan meletakkan tiap periode kejadian dalam bingkai yang besar. Bahwa perselisihan yang tengah berkecamuk di tanah Jawa itu sangat berkaitan erat dengan pergolakan di tingkat global. Semua saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri.

Maka, dengan plot yang maju mundur, kita selaku pembaca dipandu untuk berkelana sambil melompat-lompat ke rentang peristiwa yang berlangsung mulai dari Tegal Rejo di Barat Laut Yogyakarta, Semarang, Batavia, Buitenzorg, Netherlands, bahkan Mekah dan ke Sublime Porte di Istanbul. Demikianlah sejarah.

Sejarah tidak melulu perang. Banyak juga cinta. Seringkali perang itu pun dipicu oleh masalah yang satu ini. Tidak sekadar pernak-pernik, di sini tema cinta juga menjadi konflik yang menggoda pembaca untuk terus menyimak jalan cerita hingga tak terasa novel setebal 631 halaman ini tuntas terbaca.

Tentu saja, sebagai penulis belasan buku best seller sekaligus pendakwah, Ustadz Salim menyelipkan begitu banyak nasihat, hikmah serta petuah-petuah yang tanpa sadar meresap ke benak pembaca. Tidak hanya mengenai kekhusyuan menjalankan ibadah Ramadhan, tapi juga tentang bagaimana seyogyanya uslub, cara, sarana yang kita pilih dalam menyampaikan kebaikan pada orang lain. Falsafah hidup Jawa, sarat pula dengan nilai-nilai kebaikan.

“Apa yang telah mereka lakukan di Nusantara, nyaris tanpa menghunus pedang dan tanpa meneteskan darah, adalah sebuah pencapaian yang luar biasa dalam dakwah,” begitu pesan penulis yang diselipkan melalui pernyataan Basah Katib, panglima pasukan yang merupakan salah seorang Janissary (pasukan khusus Daulah Turki Utsmani) ketika membahas ulama-ulama terdahulu menyebarkan ajaran Islam.

Pelajaran-pelajaran berharga seperti itu juga yang agaknya bisa kita serap dalam novel-novel berikutnya yang akan digarap penulis. Ini memang buku pertama dari rencana penulisan “Tetralogi Sang Pangeran” –tiga lainnya adalah Sunan Kalijogo, Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Sultan Hamengkubuwono I– yang mengupas kisah dakwah dan perjuangan dalam sejarah nusantara.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!