31.5 C
Jakarta

Mencintai Allah, Puncak segala Cinta

Baca Juga:

Adalah Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang sangat populer dengan konsep ‘mahabbah’-nya. Rasa cinta (mahabbah) Rabi’ah kepada Allah mengalahkan segala cintanya kepada dunia dan seisinya. Bahkan ibadah yang dilakukannya semata-mata hanya mengharap cinta-Nya, bukan yang lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam salah satu bait puisi cintanya yang sangat populer:

Tuhanku…
aku mengabdi kepada-Mu bukan karena takut akan nerakamu
bukan pula karena mengharap surga-Mu
tetapi aku mengabdi kepada-Mu karena cintaku pada-Mu
Ya Allah…
jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu
masukkan aku dan bakar aku didalamnya
jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu
campakkan aku dan jauhkan aku darinya
tetapi jika aku menyembah-Mu karena cintaku pada-Mu
maka, jangan palingkan wajah-Mu dariku

Sungguh, betapa menggugah kesadaran kita semua bait-bait puisi cinta Rabi’ah al-Adawiyah tersebut.

Selama ini, kita terbuai dan terlena dalam cinta semu pada dunia seisinya. Kita hanya mendekati Allah ketika kita membutuhkan-Nya. Kalaupun kita rajin menjalankan perintah-Nya, seringkali hanya sekedar menggugurkan kewajiban kita semata, bukan karena didasari ketulusan hati dan keikhlasan jiwa, apalagi karena rasa cinta.

Padahal rasa cinta Allah terhadap hamba-Nya, melebihi rasa cinta seorang ibu kepada anaknya.

Suatu ketika, Rasulullah Saw tengah duduk bersama para sahabatnya. Sesaat kemudian, tampak seorang ibu sedang menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba saja Rasulullah bertanya kepada para sahabat, apakah kalian melihat ibu yang sedang menggendong anaknya itu penuh kasih sayang? Ya, kami semua melihatnya ya Rasulullah, jawab para sahabat. Apakah mungkin ibu itu akan melemparkan anaknya ke jalanan? Tanya Rasul kemudian. Tidak mungkin ya Rasulullah, hanya seorang ibu gila yang tega melempar anaknya di tengah jalan. Semua ibu sayang kepada anaknya, tegas para sahabat. Ya, memang demikianlah kasih seorang ibu kepada anaknya. Dan, cinta serta kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, melebihi cinta seorang ibu kepada anaknya.

Cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang mengejawantah pada diri seseorang yang beriman sehingga menghasilkan ketaatan, penghormatan, serta pengagungan kepada-Nya. Apabila rasa cinta kepada Allah telah merasuk ke dalam jiwa seseorang, maka ia tidak bisa tenang bersama yang lain kecuali jika bersama-Nya, ia tidak akan menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya, dan puncak kenikmatan yang dikecapnya adalah ketika menyebut (berdzikir) sambil memandang keindahan (jamal), dan keagungan (jalal), serta kebesaran-Nya.

Para ahli al-Qur’an memahami makna cinta Allah sebagai limpahan kebajikan dan anugerah-Nya. Anugerah Allah tidak terbatas, karena itu limpahan karunia dan kasih sayang-Nya pun tidak terbatas pula. Limpahan anugerah-Nya ini disesuaikan kadar cinta manusia kepada-Nya. Namun, minimal adalah pengampunan dosa-dosa serta curahan rahmat.

Adalah sufi kondang, al-Junaid, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, ketika ditanya siapa yang pantas disebut pencinta Allah, ia menjawab, “ Ia adalah orang yang tidak menoleh kepada dirinya lagi, selalu dalam hubungan intim dengan Tuhan melalui zikir, senantiasa menunaikan hak-hak-Nya, memandang kepada-Nya dengan mata hati, terbakar hatinya oleh sinar hakikat Ilahi, meneguk minuman dari gelas cinta kasih-Nya, tabir pun terbuka baginya, sehingga sang Maha Kuasa muncul dari tirai-tirai gaib-Nya, maka tatkala berucap, dengan Allah ia, tatkala bergerak, atas perintah Allah ia, tatkala diam, bersama Allah ia. Sungguh, dengan, demi, atas, dan bersama Allah selalu ia.”

Dengan demikian, mencintai Allah adalah puncak segala cinta.

Ruang Inspirasi, Rabu (18/3/2020).

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!