Oleh: Budiawan, KAM Institute
JAKARTA, MENARA62.COM – Angka yang sempat membuat dahi berkerut itu kembali muncul di ruang publik: konon, hanya enam perusahaan rokok besar menyumbang lebih dari Rp216 triliun kepada negara melalui cukai, sementara gabungan dari lebih dari 100 BUMN dan ratusan BUMD “hanya” mampu menyetor sekitar Rp90 triliun dalam bentuk dividen. Apakah ini cermin kegagalan tata kelola BUMN dan BUMD, atau justru mencerminkan struktur penerimaan negara yang timpang?
Angka-angka ini bukan hoaks. Menurut data Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 tercatat sebesar Rp216,9 triliun dan ditargetkan naik menjadi Rp226,4 triliun pada 2024. Sementara itu, Kementerian BUMN menyebutkan total dividen yang disetorkan ke APBN 2023 oleh BUMN adalah Rp81,2 triliun, naik dari tahun sebelumnya, tapi masih kalah dari industri rokok yang hanya digerakkan segelintir perusahaan.
Dua Jalur Uang Masuk Negara: Dividen vs Cukai
Untuk memahami ketimpangan ini, kita perlu membedakan cara dua sektor ini berkontribusi ke kas negara. BUMN dan BUMD menyetor melalui mekanisme dividen, yang berasal dari keuntungan bersih setelah dikurangi beban operasional, investasi, dan lainnya. Sementara itu, industri rokok menyetor lewat cukai—dihitung dari volume produksi, terlepas dari apakah perusahaan untung atau rugi.
“Dividen BUMN sebenarnya tidak hilang, hanya dialihkan ke Danantara… tapi belum jelas bagaimana kembalinya ke APBN,” ujar Teuku Riefky dari LPEM FEB UI, mengacu pada kebijakan baru pemerintah menyatukan dividen BUMN ke dalam dana kelolaan investasi negara.
Sementara itu, industri rokok yang sebagian besar dikuasai oleh empat konglomerat besar seperti HM Sampoerna, Gudang Garam, Djarum, dan Bentoel memiliki jalur pendapatan langsung yang jelas. Produk mereka dikenai cukai tinggi dan dikonsumsi secara massal. Di sisi lain, mereka memiliki rantai pasok dan struktur biaya yang efisien.
Masalah Tata Kelola di Tubuh BUMN
Tingginya penerimaan negara dari cukai rokok bukan hanya soal konsumsi tinggi, tetapi juga soal kinerja relatif buruk BUMN dan BUMD secara umum. Dalam laporan Rmol (2021), disebutkan bahwa pada tahun 2020, keuntungan bersih seluruh BUMN hanya Rp28 triliun, tapi pemerintah tetap menarik dividen Rp45 triliun dengan skema “scrip dividend” pada dasarnya, BUMN berutang kepada negara untuk menyetor dividen.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa banyak BUMN dikelola tanpa efisiensi dan profesionalisme. Jabatan direksi dan komisaris sering kali diisi oleh “titipan politik” daripada figur profesional. Struktur organisasinya juga gemuk, lamban, dan tidak responsif terhadap pasar.
“BUMN seperti kapal tanker yang sulit berbelok cepat. Digerakkan oleh terlalu banyak pertimbangan non-komersial,” ungkap ekonom Faisal Basri dalam salah satu diskusi publik.
Belum lagi, banyak BUMN dibebani tugas sosial alias public service obligation (PSO), misalnya Perum BULOG, PT KAI, atau PLN. Mereka harus tetap beroperasi bahkan saat merugi, demi menjaga stabilitas harga dan layanan dasar.
Industri Rokok: Efisien, Terintegrasi, dan Kontroversial
Di sisi lain, industri rokok Indonesia adalah salah satu yang paling menguntungkan di dunia. Indonesia merupakan pasar rokok terbesar ketiga global setelah China dan India, dengan konsumsi mencapai lebih dari 250 miliar batang per tahun. Cukai yang dipungut negara dari industri ini mencapai lebih dari 95% dari total penerimaan cukai nasional.
“Cukai hasil tembakau masih menjadi primadona dalam penerimaan negara,” demikian pernyataan resmi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Namun, ini bukan berarti tanpa kontroversi. Rokok dikenal sebagai produk yang berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Setiap tahun, lebih dari 200 ribu orang Indonesia meninggal akibat penyakit terkait tembakau. Ironisnya, cukai yang dipungut dari produk ini menjadi andalan negara—semacam “pajak dosa” yang mengisi kas fiskal sambil menguras kesehatan publik.
Publik Harus Menuntut Dua Hal Sekaligus
Fakta bahwa enam pabrik rokok menyumbang lebih besar dari 150+ BUMN dan BUMD harus dijadikan momentum diskusi nasional. Bukan untuk memuji industri rokok, melainkan untuk mengkritisi kelembagaan dan tata kelola perusahaan negara yang belum menunjukkan hasil optimal meskipun menyerap sumber daya yang sangat besar.
Reformasi struktural BUMN dan BUMD tidak bisa ditunda. Rekrutmen profesional, efisiensi operasional, dan pengurangan intervensi politik harus menjadi prioritas. Di sisi lain, pemerintah juga harus berpikir keras mencari sumber penerimaan negara yang berkelanjutan—bukan bergantung pada cukai rokok semata.
Penutup: Mana Jalan yang Sehat untuk Negara?
Penerimaan negara dari rokok bersifat jangka pendek, dan mengorbankan kesehatan generasi mendatang. Sebaliknya, dividen dari BUMN seharusnya bisa menjadi pilar fiskal jangka panjang jika pengelolaannya dibenahi. Kita sedang dihadapkan pada pilihan sulit: tetap bertumpu pada “uang dosa”, atau berani berbenah dari dalam dan menghidupkan BUMN sebagai aset negara yang sehat dan berdaya saing.
“Mau sampai kapan negara bergantung pada uang rokok? Apakah kita bisa membenahi BUMN dan menciptakan sumber fiskal yang lebih sehat?”
—
Referensi
1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2024). *Target penerimaan cukai hasil tembakau capai Rp226,4 triliun*. Kemenkeu.go.id.
2. Rmol.id. (2021). *BUMN dan permainan scrip dividend: akrobat fiskal yang membingungkan*.
3. Media Keuangan Kementerian Keuangan. (2023). *Optimalisasi kontribusi BUMN untuk APBN*.
4. Kompasiana (Marbun, F. K.). (2024). *Menghitung ulang dampak fiskal dan sosial dari cukai rokok*.
5. Khairuman, I. (2025). *Dividen BUMN masuk Danantara, bagaimana kejelasan ke APBN?*. Kontan.co.id.