26.2 C
Jakarta

Haji dan Pelayanan: Antara Keikhlasan Jamaah dan Kewajiban Perbaikan Manajerial

Baca Juga:

Oleh: Wahyudi Nasution, Karom Jamaah Haji 2025, KBIHU Arafah PD Muhammadiyah Klaten

 

MEKKAH, MENARA62.COM – Puncak ibadah haji 2025 telah usai. Sebagian besar jamaah telah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah, termasuk thawaf ifadhah, kecuali beberapa yang masih tertunda karena kondisi kesehatan atau masih dalam masa haid. Seperti tahun-tahun sebelumnya, haji menyisakan begitu banyak kisah spiritual dan pelajaran kemanusiaan. Setiap jamaah membawa pulang kesan dan pengalaman yang unik, mulai dari yang penuh kenikmatan ruhani hingga yang getir dan penuh tantangan fisik. Semuanya diterima dengan lapang dada dan keikhlasan sebagai bagian dari takdir ilahi.

 

Namun, keikhlasan jamaah seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menafikan realitas buruk yang masih terjadi dalam aspek penyelenggaraan haji. Ada wilayah yang harus dilihat secara jernih dan kritis, terutama dalam aspek hablumminannas – hubungan antarmanusia – serta tanggung jawab manajerial yang melekat dalam penyelenggaraan pelayanan terhadap tamu-tamu Allah.

 

Sebagai karom (ketua rombongan), saya mencatat beberapa hal krusial yang patut dievaluasi secara serius agar perbaikan tidak hanya menjadi jargon tahunan.

 

Transportasi Armuzna yang Kacau-Balau

 

Salah satu masalah paling menonjol adalah kekacauan sistem transportasi saat prosesi Arafah – Muzdalifah – Mina (Armuzna). Bus yang semestinya mengantar jamaah sering datang terlambat, tak sesuai jadwal, bahkan tidak sesuai kloter. Banyak jamaah, termasuk lansia dan yang sakit, terpaksa berjalan jauh dengan kondisi fisik yang sudah sangat lelah setelah wukuf di Arafah. Beberapa di antaranya jatuh sakit, syok, bahkan nyaris terpisah dari rombongan.

 

Prosesi Jamarat: Berat dan Minim Fasilitas

 

Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah kembali diuji dengan prosesi melontar jumrah di Jamarat. Ini adalah fase paling berat secara fisik. Jamaah harus berjalan berdesakan berkilo-kilometer dari tenda-tenda Mina menuju lokasi jamarat. Ironisnya, tidak ada satu pun rest area atau tempat istirahat yang layak di sepanjang jalur tersebut. Lebih miris lagi, tidak tersedia pos kesehatan atau ambulans yang siaga untuk menangani potensi darurat.

 

Kendala Bahasa: Jamaah Terlantar Dalam Kebingungan

 

Satu catatan penting yang tidak boleh diabaikan adalah kendala bahasa. Mayoritas petugas lapangan dari Syarikah hanya menggunakan bahasa Arab. Ini menyulitkan komunikasi dengan jamaah dari luar negeri, termasuk dari Indonesia. Banyak jamaah bingung, tersesat, dan tak tahu harus bertanya kepada siapa. Dalam kondisi seperti itu, jamaah benar-benar merasa sendirian di tengah lautan manusia. Sementara petugas dari Indonesia pun kewalahan dan kehilangan daya intervensi.

 

Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia semestinya dapat menawarkan solusi konkret. Salah satunya adalah dengan memberdayakan ribuan mahasiswa Indonesia yang saat ini menempuh studi di Arab Saudi, Mesir, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Mereka memiliki modal bahasa Arab dan pemahaman konteks sosial lokal yang memadai. Pemerintah bisa menjalin kerja sama dengan Syarikah agar para mahasiswa ini direkrut sebagai pemandu haji atau interpreter temporer, terutama di titik-titik rawan seperti Armuzna dan Jamarat. Ini solusi yang murah, realistis, dan cepat diimplementasikan.

 

Evaluasi dan Harapan

 

Semua masalah di atas tentu tidak boleh dianggap sebagai “resiko ibadah”. Ini adalah kelalaian manajerial yang bisa dan harus diperbaiki. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Saudi harus duduk bersama dan menyusun langkah konkret:

 

1. Perbaikan sistem transportasi yang terjadwal rapi dan sesuai kloter.

2. Penyediaan rest area dan pos kesehatan di rute Mina–Jamarat.

3. Perekrutan petugas multibahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

4. Pelibatan mahasiswa Indonesia di luar negeri sebagai interpreter dan pendamping lapangan.

5. Pemanfaatan teknologi navigasi dan pelaporan insiden berbasis digital.

 

Akhirnya, haji memang adalah panggilan spiritual, tetapi penyelenggaraannya adalah tanggung jawab duniawi yang tak boleh sembrono. Keikhlasan jamaah jangan menjadi tameng untuk menutupi kegagalan pelayanan. Justru atas nama keikhlasan itulah, kita wajib melakukan perbaikan agar mereka benar-benar menjadi tamu Allah yang dimuliakan, bukan yang dibiarkan berjuang sendiri di tanah suci.

 

Safwat Al-Sharouq Hotel 502 Ruadhah, Mekah, 12 Juni 2025

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!