27.3 C
Jakarta

Merdeka Belajar, Inspirasi dari Kandang Kambing SD Tumbuh 4 Panggungharjo

Baca Juga:

Rayyan Lutfie Ahmad asyik bermain dengan anak kambing. Bersama tiga kawannya, si kecil yang genap berusia 7 tahun pada April lalu tersebut baru saja mengeluarkan anak kambing dari kandang yang terletak di sisi belakang komplek SD Tumbuh 4, Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta. Hari masih pukul 07.30 WIB ketika empat siswa tersebut berlari-lari mengejar anak kambing, menggendong dan berebut memberi makan. Suara gelak tawa empat bocah tersebut berbaur dengan suara embik anak kambing. Mereka gembira.

Seorang ibu guru, datang menghampiri. Membawa segenggam rumput, untuk makanan si anak kambing. Bergabung dengan murid-muridnya, ikut terlibat dalam kegiatan dan permainan. Sesekali ibu guru mengajarkan beberapa hal tentang rasa sayang, termasuk kepada hewan. Rayyan dan belasan siswa lainnya yang baru bergabung pun menimpali setiap kalimat yang disampaikan Bu Guru dengan beragam komentar dan pertanyaan. Lalu proses belajar pun sudah dimulai.

Sebentar kemudian, ibu guru mengajak belasan siswanya tersebut ke kandang ayam yang terletak tak jauh dari kandang kambing. Di kandang ayam, siswa tidak hanya mengenal seperti apa bentuk ayam, apa makanan ayam, bagaimana memperlakukan ayam. Mereka juga diajarkan menghitung telur yang hari itu mulai menetas, menghitung telur yang belum menetas dan induk-induk ayam yang masih mengeram. Pelajaran matematika pun dimulai dengan cara yang sangat sederhana.

Bisa jadi, belasan siswa kelas 1 SD Tumbuh Panggungharjo tersebut tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka sedang belajar.  Bukan sekedar bermain dengan kambing, ayam, atau berbagai jenis tanaman yang tumbuh di area sekolah. Bukan pula sekedar bermain dengan teman sebanyanya. Sebab sejatinya, proses belajar bersosialisasi baik dengan lingkungan, sesama mahluk Tuhan dan juga teman, sebenernya tengah berlangsung.

SD Tumbuh 4 Panggungharjo memang berbeda dari SD kebanyakan. Sekolah ini menjadi sekolah dasar yang menawarkan konsep pendidikan yang ‘merdeka’. Merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Karena siswa datang ke sekolah dengan semangat dan rasa gembira untuk belajar banyak hal. Tidak melulu terpaku pada angka-angka akademik, apalagi target peringkat yang ternyata banyak menyiksa anak maupun orang tua.

Mengutip laman sekolahtumbuh.sch.id, SD Tumbuh 4 Panggungharjo menerapkan semangat pendidikan untuk semua (education for all), menghargai dan menghormati perbedaan, tumbuh dalam keberagaman agama, ekonomi, budaya dan kebutuhan individual. Anak tumbuh dan berkembang sebagai pembelajar yang berkarakter, menghargai keberagaman, mencintai tanah air dan kearifan lokal, serta menunjukkan kesadaran sebagai warga dunia.

Sebagai sekolah yang berada di wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta, SD Tumbuh 4 menggunakan kurikulum utama berupa Kurikulum Nasional dengan muatan kearifan lokal (Jogja educational spirit), inklusi–multikultur dan program keistimewaan kampus (agrikultur). Selain itu, juga ada Kurikulum Pengayaan : IPC Like (International Primary Curriculum)

The IPC learning process mengolah The Unit of Work melalui 6 tahapan, yaitu Entry Point, Knowledge Harvest, The Big Picture Explaining the Theme, Subject Research Activities, Subject Recording Activities, Exit Point.

Tumbuh Fair, ajang kreasi murid SD Tumbuh 4 Panggungharjo (ist)

SD Tumbuh 4 Panggungharjo memberikan pengayaan muatan kearifan lokal berbasis agrikultur dan lingkungan agar anak memiliki pengalaman yang nyata hidup dalam hubungan yang harmoni dengan alam.  Anak belajar dalam setting sekolah berkonsep budaya Yogyakarta yang terintegrasi dengan laboratorium alam dan kegiatan praktek interdisipliner.

Itu makanya, sekolah dilengkapi kandang kambing, kandang ayam, lahan pertanian dan lainnya. Siswa SD Tumbuh 4 Panggungharjo tidak harus selalu belajar di ruang kelas untuk belajar tentang matematika, IPA, IPS atau pelajaran lainnya. Seringkali mereka belajar di tengah lapangan, belajar di kandang ayam, atau lokasi lainnya.

Melihat dari dekat praktik pembelajaran di SD Tumbuh 4 Panggungharjo, sepertinya kita tengah melihat bagaimana konsep Merdeka Belajar yang diluncurkan Mendikbud Nadiem Makariem akhir 2019 sedang dijalankan.

Merdeka belajar, apa itu?

Kebijakan Merdeka Belajar resmi diluncurkan Mendikbud Nadiem Makarim pada Desember 2019. Kebijakan ini sejatinya memiliki makna yang luas terkait pelaksanaan di lapangan. Tetapi publik lebih terfokus pada 4 kebijakan utama yakni Ujian Nasional (UN) akan digantikan oleh Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diserahkan ke sekolah, Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan perluasan sistem zonasi.

Padahal kebijakan Merdeka Belajar seperti dituturkan Menteri Nadiem dalam berbagai keterangan pers memiliki esensi yang luas. Konsep Merdeka Belajar bahkan harus diberangkatkan dari kemerdekaan berpikir yang didahului oleh para guru sendiri sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi.

“Guru yang merdeka belajar, sadar dan memprioritaskan esensi tujuan pendidikan, fleksibel dalam menentukan strategi belajar dan menjadikan respon murid sebagai bahan untuk berefleksi. Guru yang merdeka belajar akan menjadi penggerak kelas Merdeka Belajar,” jelas Nadiem.

Merdeka Belajar dari lingkup diri seorang guru tersebut, kemudian disebarkan menjadi lingkup kelas. Praktiknya, murid dilibatkan dalam mengelola kelas, seperti penggunaan kesepakatan kelas, komunikasi positif dan menghindari sogokan dan hukuman untuk memotivasi murid. Pada proses pengajaran, guru merdeka belajar juga melibatkan murid dalam menentukan tujuan belajar. Guru menjadi penghubung antara tujuan belajar pada kurikulum dengan kebutuhan murid.

Menurut Mendikbud, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi. Itu artinya bahwa Merdeka Belajar harus dimulai dari kelas, dari gurunya itu sendiri, dan dari sekolah.

Itu sebabnya, sistem pembelajaran yang selama ini lebih dominan kegiatan belajar di ruang kelas, mulai tahun 2020, berubah dengan menghadirkan nuansa pembelajaran di luar kelas sesuai dengan konsep Merdeka Belajar.

Mendikbud Nadiem Makarim

“Dengan cara seperti ini, maka diharapkan siswa akan belajar dalam suasana yang lebih nyaman dan gembira. Karena melalui merdeka belajar memungkinkan guru dapat mendatangkan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu,” tambah Mendikbud.

Diakui Nadiem, Merdeka Belajar tidak hanya menumbuhkan suasana belajar yang gembira. Pada praktinya, Merdeka Belajar juga melatih murid untuk terbiasa berdiskusi dengan guru, responsif, tak sekedar mendengarkan penjelasan guru. Sistem pembelajaran yang seperti ini akan memberikan dampak positif kepada siswa berupa pembentukan karakter siswa yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi.

“Setiap anak sebenarnya memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya, akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat,” lanjut Nadiem.

Merdeka Belajar memang menjadi hal baru bagi kebanyakan sekolah di negeri ini. Karena itu tidak mudah melatih guru untuk memasuki gerbang ‘kemerdekaan’ dalam proses pengajaran.

Ketua Kampus Guru Cikal, Bukik Setiawan dalam keterangan persnya menjelaskan pada proses pengajaran, guru Merdeka Belajar harus melibatkan murid dalam menentukan tujuan belajar. Guru menjadi penghubung antara tujuan belajar pada kurikulum dengan kebutuhan murid. Dan ini tentu tidak mudah dan tidak semua guru bisa melakukannya.

Bukik mengakui ketika pertama kali mensosialisasikan merdeka belajar, baik melalui media sosial, diskusi grup daring, maupun seri pelatihan merdeka belajar, setidaknya ada dua kategori respon yang ditunjukkan oleh guru yakni otonomi dan orientasi pada anak. Kategori otonomi menggambarkan kekhawatiran dan keraguan guru mempunyai otonomi dalam mengajar. Isinya kekhawatiran guru terhadap tuntutan kepala sekolah dan pengawas, meski mereka jarang berkunjung ke kelas.

“Guru masih ragu-ragu apakah benar mereka memiliki kewenangan dalam merancang proses belajar di kelas,” kata Bukik.

Lalu kategori orientasi pada anak, menggambarkan ketidakpercayaan guru dalam melibatkan murid. Isinya pandangan meragukan atau merendahkan kemampuan dan kemauan murid untuk terlibat dalam proses belajar. Mereka khawatir murid jadi besar kepala dan menjadi berlagak di kelas. Namun sejumlah guru tetap meyakini Merdeka Belajar dan mulai mempraktikkannya di ruang kelas. Dari mereka lahir praktik baik pengajaran Merdeka Belajar yang disebarkan dalam Komunitas Guru Belajar.

Nadiem Makarim melalui rekaman video maupun pernyataan di media menunjukkan penyebutan berulang konsep Merdeka Belajar. Artinya, ada kesadaran khusus untuk mendukung kemerdekaan belajar sebagai pondasi pengembangan guru dan secara luas pengembangan ekosistem pendidikan.

Meski konsep ini disambut gegap gempita oleh masyarakat utamanya orangtua, tetapi praktiknyatidak semudah membalik telapak tangan. Membutuhkan proses yang cukup memakan waktu, tenaga dan juga biaya. Sebab selain menghadapi kendala kurang siapnya guru, implementasi Merdeka Belajar sesungguhnya juga membutuhkan dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Merdeka Belajar untuk tingkat sekolah dasar dan menengah misalnya, hanya akan berjalan optimal jika kelas dapat ‘dikuasai’ oleh guru. Dengan jumlah rombongan belajar (kelas) yang rata-rata di atas 35 murid, bagaimana seorang guru dapat menguasai kelas? Bagaimana guru dan murid bisa saling memberikan umpan balik sebagaimana Merdeka Belajar inginkan?

Merdeka Belajar dan PJJ

Di tengah kebingungan dan kegalauan guru untuk memulai konsep Merdeka Belajar, tiba-tiba pandemi Covid-19 datang melanda. Pandemi ini membawa perubahan besar pada dunia pendidikan terutama dalam hal proses pembelajaran yang kini banyak dilakukan melalui daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).

PJJ bukan hal mudah bagi sebagian besar guru di Indonesia. Sebagian besar guru belum familiar dengan model pembelajaran yang memanfaatkan teknologi. Sementara waktu untuk belajar dan beradaptasi dengan pembelajaran berbasis teknologi tidak mencukupi. Kondisi pandemi memaksa guru harus menerapkan PJJ dalam batas kemampuannya sesegera mungkin.

Di sisi lain guru juga masih cenderung fokus pada penuntasan kurikulum. Penuntasan kurikulum tersebut dilakukan melalui cara-cara yang sudah ada selama ini. Kebebasan yang diberikan Kemendikbud melalui konsep Merdeka Belajar belum dimanfaatkan maksimal oleh guru.

“Proses PJJ memiliki keterbatasan waktu belajar sehingga guru tidak mungkin memenuhi beban jam mengajar,” ungkap Mendikbud.

Belum lagi guru harus melakukan komunikasi dan kerjasama dengan orang tua sebagai mitra di rumah. Dalam konteks seperti ini tidak semua orang tua mampu mendampingi anak belajar di rumah karena ada tanggung jawab lainnya seperti bekerja, dan urusan rumah. Selain itu, orang tua juga seringkali kesulitan dalam memahami dan memotivasi anak saat mendampingi belajar di rumah.

Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, Nadiem mengungkapkan bahwa Kemendikbud telah melakukan sejumlah langkah inisiatif seperti program guru berbagi, seri Bimtek daring, seri webinar, penyediaan kuota gratis, relaksasi BOS dan BOP, Ruang Guru Paud dan Sahabat Keluarga. Program lainnya adalah belajar dari rumah di TVRI, belajar di Radio RRI, Rumah Belajar, dan menjalin kerja sama dengan penyedia platform pembelajaran daring.

Tetapi harus diingat, konsep merdeka belajar sesungguhnya membangun partisipasi murid dalam kegiatan belajar. Membangun partisipasi aktif murid ini tentu lebih mudah jika guru dan murid bertemu secara fisik. Sebab PJJ selain terkendala dengan infrastruktur komunikasi, penguasaan teknologi, juga membatasi ‘sentuhan’ yang bisa dikirimkan oleh guru kepada murid.

Karena itu, pemerintah dan para pakar pendidikan perlu duduk bersama menyusun strategi untuk mengoptimalkan implementasi Merdeka Belajar melalui model pembelajaran jarak jauh. Karena pandemi Covid-19 ini sungguh-sungguh masih belum ada tanda-tanda berakhir. Itu artinya, PJJ masih menjadi model pembelajaran yang akan diberlakukan di Indonesia untuk semua jenjang pendidikan. (inung m kurniawati)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!