JAKARTA, MENARA62.COM — Negara Kesatuan Republik Indonesia yg berdasarkan Pancasila adalah Negara Kesepakatan dan Negara Kesaksian (Darul ‘Ahdi was Syahadah). Karenanya umat Islam perlu mengawal dan mengisinya dengan nilai-nilai etika dan moral agama. Demikian ditegaskan Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, pada Mudzakarah Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (AHWA) ke 8 di Palembang, 24 Juni 2025. Mudzakarah yg diselenggarakan Jum’iyyah Ahlul Halli Wal ‘Aqdi al-‘Alamiyyah berlangsung di Aula AKUIS Banyuasin, diikuti seratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Ikut hadir Imam Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (AHWA) KH. Tb. Fathul Adzhim Khatib, Prof. Dr. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh), Prof. Dr. Cartono, SPd, MPd (Wakil Rektor Universitas Pasundan, Bandung), dan Ust. Rizal Yandi, SH, yg kesemuanya menjadi pembicara.
Menurut Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta ini, pada masa modern pasca era kolonialisme negeri-negeri Muslim di Asia dan Afrika memilih bentuk negara dan pemerintahan yg bermacam-macam. Ada yg memilih republik (jumhuriyah) seperti Mesir, Pakistan, Iran, dan Indonesia, kerajaan (mamlakah atau imarah) seperti Saudi Arabia, Morokko, atau Uni Emirat Arab, atau kerajaan konstitusional (constitutional monarchy) seperti Malaysia. Yang memilih republik ada yg secara formal menggunakan nama Islam (Republik Islam) seperti Pakistan dan Iran, dan ada yg mengaitkan diri dengan Islam secara substantif (tidak disebut sebagai Negara Islam tapi dasar negara dan konstitusinya mengandung nilai-nilai Islam). Indonesia dengan Pancasila termasuk dalam kategori terakhir ini.
Dalam pandangan Din Syamsuddin, Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia beririsan atau berhimpitan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini pernah disampaikan Din Syamsuddin ketika menjadi pembicara pada Konperensi Umum Al-Azhar di Kairo 2020 di hadapan para ulama Al-Azhar bahwa Rancang Bangun Negara Pancasila dengan UUD 1945 merupakan ijtihad politik ulama/zuama Indonesia yg terlibat dalam BPUPK atau PPKI, seperti Prof. Kahar Mudzakir dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, KH Wahid Hasyim dari Nahdhatul Ulama, dan sejumlah ulama lain. Dalam kaitan inilah Negara Pancasila merupakan Negara Kesepakatan (Darul ‘Ahdi). Oleh karena itu umat Islam Indonesia perlu menampilkan kesaksian dengan mengisi dan membangun Negara Pancasila sesuai dengan cita-cita nasional yakni Indonesia yg merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (atau Negara Pancasila dipandang sebagai Darus Syahadah).
Perjuangan umat Islam Indonesia dewasa ini perlu diarahkan pada meluruskan kiblat bangsa dan negara yg mengalami penyimpangan bahkan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, tandas Presidium Gerakan Kembali ke UUD 1945 itu.
AHWA yg terdiri dari sejumlah ulama/zuama dari berbagai daerah di Indonesia, seperti dikatakan Imamnya KH Tb Fathul Adzim Khatib, bercita-cita utk menghimpun ulama/zuama se dunia hingga menjadi 313 orang (angka dari jumlah tentara Muslim pada Perang Badar) yg diharapkan berfungsi sebagai Majelis Permusyawaratan Umat Islam Sedunia. Majelis ini akan berfungsi sebagai pucuk pimpinan umat Islam sedunia seperti Gereja Katholik dengan Vatikan.
Terhadap cita-cita demikian, Din Syamsuddin, yg diundang ke Mudzakarah utk berbicara dengan topik pandangan al-Qur’an ttg sistem politik, mengatakan baik dan sah saja, walaupun perwujudannya tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena negara-negara Muslim sudah terbentuk sebagai negara bangsa (nation state) dengan sistem kekuasaan dan format politik yg bermacam-macam, ditambah kemajemukan penduduknya atas dasar agama, suku, dan ras. Maka yg terbaik menurutnya adalah menerapkan strategi _the art of the possible_ (seni menjalankan kemungkinan). Yang penting negara apapun bentuknya dapat difungsikan sebagai sarana dan wahana mewujudkan masyarakat yg adil, makmur, sejahtera lahir dan batin, serta membawa kebahagiaan rakyatnya di dunia dan di akhirat.