JAKARTA, MENARA62.COM– Aviation biofuel atau bioavtur menjadi solusi untuk menurunkan tingkat emisi penerbangan internasional. Dengan bahan bakar ini dunia internasional melalui ICAO (International Civil Aviation Organization) telah menetapkan target penurunan emisi penerbangan international yaitu “Carbon Neutral Growth” hingga 50 persen pada 2050.
Indonesia, dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) yang telah disampaikan kepada UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) 2016 menargetkan penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030.
“Sebagai langkah awal kita berupaya mengembangkan produk biofuel, karena ini jenis bahan bakar pesawat yang ramah lingkungan,” jelas Kemal Prihatman, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kemenristek Dikti, Senin (10/04/2017).
Indonesia pada dasarnya memiliki bahan baku yang potensial untuk produksi biofuel. Namun disayangkan hingga saat ini belum ada upaya yang sungguh-sungguh dan terkoordinasi untuk mewujudkan industri biofuel penerbangan.
Hal ini mendorong Kemenristek Dikti menggulirkan kebijakan dan program untuk mendukung upaya pemenuhan kebutuhan biofuel (termasuk biofuel untuk penerbangan) dari produksi dalam negeri dan potensi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan Internasional.
Sebagai permulaan, Kemenristekdikti melalui Direktorat Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti bekerja sama dengan Dirjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan, serta didukung ICAO Enviroment Project menyelenggarakan Technical Workshop on Aviation Biofuel.Workshop ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran/pengetahuan, dan koordinasi antara pemerintah dengan para pemangku kepentingan sektor penerbangan lainnya.
“Terwujudnya industri biofuel penerbangan hanya bisa dimungkinkan apabila ada sinergi positif antara pihak pemerintah sebagai regulator – dalam hal ini Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Ristekdikti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga lembaga-lembaga penelitian, produser biofuel- antara lain Pertamina, dan para pengguna aviation biofuel yaitu pihak operator penerbangan,” lanjut Kemal.
Tujuan workshop ini adalah dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan aviation biofuel termasuk menjalin kerjasama riset di bawah koordinasi tiga kementerian (Kemristekdikti, Kementerian Perhubungan dan Kementerian ESDM). Pengembangan dimaksud antara lain identifikasi, teknologi produksi, feed-stock serta potensi dan kapasitas lembaga penelitian.
Lebih jauh Kemal mengatakan, terkait dengan Aviation Biofuel, meskipun secara teori biofuel untuk penerbangan dapat diproduksi melalui beberapa metoda/pathways dan dari berbagai bahan baku, namun pada kelaikannya banyak tergantung dan ditentukan oleh berbagai aspek. Antara lain isu keberlanjutan/sustainability, ketersedian feed-stock, tingkat kesiapan teknologi yang dipakai, dan kelayakan ekonomi.
Target dari kementerian tahun depan akan mensupport kegiatan riset bersama dengan fokus energi baru terbarukan, dan memulai riset bersama centre of excelent. Prinsipnya Kemenristek Dikti mendukung secara keseluruhan untuk bisa mengimplementasikan pemanfaatan bio fuel untuk aviate. Salah satu regulasi bagi maskapai yang ingin terbang ke Amerika Serikat adalah menggunakan avtur biofuel.
“Karena itu, kita harus mendorong agar dunia penerbangan Indonesia menggunakan bahan bakar pesawat berjenis biofuel dalam rangka mengurangi emisi, agar setelah tahun 2020 tidak ada lagi kenaikan emisi karbon. Beberapa negara yang menjual avtur biofuel adalah Eropa, Brazil dan AS dan lain sebagainya,” ujar Wendy Aritenang, Senior National Expert on Aviation Environtment, ICAO (International Civil Aviation Organization).
Wendy mendorong serta mendukung agar Indonesia bisa terus mengembangkan teknologi alternatif yang ramah lingkungan khususnya biofuel penerbangan.