27.3 C
Jakarta

Pernikahan Dini dan Efek Dominonya

Baca Juga:

Oleh: Ashari, SIP*

Jika ada kepala daerah yang mengeluhkan rakyatnya (masyarakat) banyak yang terjangkiti syndrom pernikahan dini (PD) sebagai solusi, sesungguhnya tidak perlu mengagetkan. Trend PD grafiknya mulai menanjak akhir-akhir ini. Salah satu sebab yang tidak bisa disangkal adalah ekses buruk dari pergaulan bebas yang tanpa kendali dan kendala.

Mengapa tidak perlu kaget? Ya, sebab PD sejatinya hanya dampak dari efek domino permasalahan krusial sosial ekonomi dan agama yang tidak diurus secara sungguh-sungguh dan simultan oleh pemerintah. Akibatnya memang tidak seketika nampak. Prediksi dampak itu berkisar 5-8 tahun baru akan ketahuan. Ketika Pemerintah Daerah lebih sibuk dengan pembangunan yang sifatnya fisik, abai dengan pembangunan mental generasi mudanya, bahkan calon generasi muda yakni anak-anak usia TK- SD- SMP, maka tidak heran daerah tersebut akan disibukkan dengan ulah anak mudanya sendiri.

Tidak mudah memang dari mana memulai untuk menguai benang kusut dari kasus PD ini. Namun menurut hemat saya, harus ada keseriusan dari berbagai pihak pemangku kepentingan. Terutama dari pimpinan eksekutif, legeslatif, hingga di tingkat institusi sekolah dan masyarakat. Sebab selama ini ada kesan, ketika banyak kejadian PD di masyarakat, para pejabat baru mencari akar permasalahan dan solusinya.

Ekses PD jika kita lihat sudah menjadi sebuah metodologi yang dapat dipelajari. Maksudnya, ketika pemerintah dan jajarannya kurang peduli dengan melek mental kaum mudanya, maka akibatnya sudah bisa ditebak. Di samping angka kenakalan remaja menanjak, kemudian dibarengi dengan angka PD. Disebut sebuah metodologi karena kejadian ini terjadi berulang-ulang. Baik di daerah satu maupun yang lainnya. Mengapa tidak menjadi sebuah pelajaran kemudian disimpulkan.

Mari kita lihat sekarang ini saat-saat waktu sholat yang lima (bagi yang Islam) di tempat-tempat ibadah, banyak dipenuhi oleh jamaah tua (sepuh). Pertanyaannya kemana anak-anak muda kita? Yang dalam jargon mereka adalah generasi penerus sejarah bangsa ini, menggantikan estafet pembangunan di masa depan? Mereka seolah-olah lenyap. Entah kemana.

Jika fenomena buruk ini dibiarkan dalam waktu lama, maka akan menjadikan preseden buruk bagi keberlangsungan daerah tersebut. Mereka bukan lagi menjadi generasi penerus sejarah, namun justru akan menjadi beban dari pembangunan itu sendiri. Namun jangan pula buru-buru menyalahkan mereka, sebab bisa jadi mereka bersikap abai dan acuh demikian, bisa jadi karena benar-benar tidak tahu, kita sebagai orang tuanya tidak ada usaha untuk menggandengnya, masyarakat juga membiarkannya dalam ketidak jelasan masa depannya.

PD dalam perspektif UU.

Disinyalir,  pernikahan dini di Indonesia makin marak. Dibuktikan dengan grafik yang makin menanjak dari masing-masing kabupaten/ kota. Pemerintah menganggap Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia pernikahan sebagai kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan (open legal policy) pembentuk undang-undang. Sebab, dalam hukum Islam maupun hukum adat tidak menyebut batas usia minimum seseorang diperbolehkanuntukmenikah.

Hal itu disampaikan oleh Plt Dirjen Peraturan Perundangan-undangan Mualimin Abdi dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan di Gedung MK. Dia memaparkan dalam hukum Islam persyaratan umum yang lazim disebut sudah aqil baligh. Namun, Sedangkan secara adat ada perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.

Misalnya, di Jawa Barat, perempuan yang sudah berusia 14 tahun, telah aqil baligh, dan dianggap cakap dibolehkan untuk menikah. Sementara di Jawa Tengah, perempuan yang sudah berusia 20 tahun belum menikah dapat dianggap “perawan tua”. Karena itu, menurut pemerintah anggapan pemohon bahwa frasa “16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum berpotensi menimbulkan ketidakadilan adalah keliru.

Justru, sambung Mualimin, diberikan pengaturan batas umur perkawinan memberi kepastian hukum dan mencegah perkawinan di bawah umur.

Sebelumnya, Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Alasannya, perkawinan anak dengan kehamilan dini di bawah usia 18 tahun berisiko tinggi. Si ibu masih dalam masa pertumbuhan sehingga terjadi perebutan gizi antara si ibu dengan janin.

Pemohon berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun. Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No.36/2009 tentangKesehatan (sumber internet).

Kita ingin pejabat  consern dengan permasalahan ini. Karena jika tidak maka pemerintah justru akan menuai beban dari sikapnya yang tidak sungguh-sungguh mengurusi warga/masyarakatnya. Disamping masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang optimal dari pejabat pemangku kepentingan. Idealnya kerjasama dengan keluarga dan lingkungan, maka angka PD di satu daerah akan dapat ditekan. Karena PD hanyalah sebuah efek domino dari sebuah kebijakan yang tidak pro terhadap mental generasi mudanya, hingga menimbulkan bom waktu dan wabah yang bernama PD. Sekian .

*Penulis : Guru PPKn di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY. Opini Pribadi

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!