27.8 C
Jakarta

Persatuan Umat Islam Syarat Untuk Persatuan Nasional

Baca Juga:

Sejak awal, persyarikatan Muhammadiyah telah berperan pada penyelessaian masalah keumatan. Langkah ini, telah dinilai banyak pihak. Sejarah membuktikan, peran itu tak lekang oleh waktu.

Pada tahun 1968, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution mengungkapkan pemikirannya pada ceramah di depan peserta Muktamar Muhammadiyah ke 31, yang digelar pada tanggal 21-26 September 1968 di Yogyakarta. Saat itu, AH Nasution menjabat sebagai ketua MPRS.

Berikut, selengkapnya pemikiran yang disampaikan AH Nasution.

Muktamar ini akan menggarap peningkatan ‘Strategi dan Organisasi Perjuangan Muhammadiyah’ untuk kemajuan umat serta negara seluruhnya. Perjuangan umat Islam dan perjuangan Negara Republik Indonesia yang adalah bertujuan satu dan bermasyarakat yang satu, dimana lebih kurang 90 persen adalah penganut agama Islam.

Mengenai hal ini saya telah tegaskan baru-baru ini di depan Musyawarah Alim Ulama Jawa Timur, bahwa sering kedengaran suara-suara kegelisahan, ketidakpuasan dan lain-lain tentang peranan dan tentang hasil-hasil umat sendiri dewasa ini.

Keadaan dan Peranan Umat Islam

Dimasa pra-Gestapu umat Islam terhitung yang paling ditekan, sehingga orang-orang yang taat beribadah dicap seakan-akan ‘berbahaya’ bagi Republik, karena memang berbahaya bagi Nasakom. Dimasa pengkhianatan G 30 S/PKI, umat Islam merupakan pendukung dan partner ABRI yang gigih dalam menumpas pengkhianatan itu. Dan dalam menghilangkan dualisme pimpinan negara serta mencoret pimpinan Orde Lama, umat Islam termasuk yang paling depan, baik dalam masyarakat maupun di DPR dan MPRS. Dan dalam kebangkitan Orde Baru, umat Islam sepenuhnya ikut di depan dengan tekad Orde Baru: 1) Menegakkan kebenaran dan keadilan, 2) Melaksanakan Pancasila/UUD ’45 secara murni dan konsekuen, 3) Memperbaiki hidup rakyat.

Namun belakangan banyak keluhan, seolah-olah merasa “terpojok”, merasa “tersudut”, merasa jadi “kambing hitam” dan lain-lain. Timbul isu pemecah-belah seolah-olah rakyat pecah jadi “Pola Pancasila” dan “Pola Piagam Jakarta”. Timbul isu pemecah-belah, seolah-olah umat Islam “oposisi” terhadap pemerintah. Timbul isu seolah-olah wakil-wakil Islam dalam Sidang Umum V MPRS yang baru lalu hendak “mengamandir” UUD ’45 dengan “memasukkan Piagam Jakarta”. Isu tersebut berbisik-bisik dalam masyarakat dan dalam lingkungan kekuasaan.

Suasana fitnah demikian memang terasa dalam psywar, dan hal itu bisa terjadi karena kurang pengertian atau karena memang psywar. Dan kewajiban umatlah untuk membasmi fitnah, baik dengan penjelasan, maupun dengan amal perbuatan dan terutama dengan mengembalikan persoalan-persoalan tersebut kepada proporsinya.

Dua Tugas Orde Baru

Dalam rangka itu, saya kira perlu pada kesempatan ini saya jelaskan tentang dua tugas kita yang tak terpisahkan sebagai Orde Baru di Indonesia ini: Kesatu, tugas nasional untuk rehabilitasi/stabilisasi dan kemudian pembangunan nasional yang oleh MPRS ditugaskan kepada Kabinet Ampera dan Kabinet Pembangunan. Kedua, tugas umat beragama menegakkan kehidupan beragama, sebagai landasan mental-sosial yang paling teguh dalam Demokrasi Pancasila berdasarkan UUD ’45.

Keduanya tak terpisah, bahkan adalah dua segi dari satu keseluruhan. Yang kesatu, takkan berhasil tanpa yang kedua, dan yang kedua jika berhasil, berakibat perwujudan yang kesatu, sebagai kesejahteraan spirituil dan materiil yang diridhoi oleh Allah Swt. Tentang situasi dibidang sospol (sosial politik) sesudah Sidang Umum V MPRS, terjadilah psywar dalam masyarakat dan pemerintah yang bertujuan memecah barisan Orde Baru, sesuai pola psywar Orde Lama dahulu, dengan mengadu domba antara Islam dan non-Islam. Mereka memfitnah, bahwa fraksi-fraksi Islam dalam Sidang Umum V berusaha “memasukkan” Piagam Jakarta dalam UUD ’45.

Hal itu mungkin diaruskannya dari kegagalan dalam Komisi Garis-garis Besar Haluan Negara dan dalam Komisi Hak-hak Azasi/Penjelasan pelengkap UUD ’45. Satu pihak mempertahankan konsep hasil-hasil karya panitia GBHN serta panitia ad hoc B, sebagaimana telah disetujui oleh Badan Pekerja. Pihak lain menolaknya, dengan pergeseran atau perubahan pendirian dari sementara golongan.

Usaha pimpinan MPRS untuk jalan tengah, yakni mengadakan Panitia Ad Hoc, guna menyusun konsep-konsep baru dengan bahan-bahan utama hasil-hasil yang ada telah gagal, sehingga untuk pertama kali dalam MPRS di masa Orde Baru ini terjadi penutupan Sidang, tanpa konsensus nasional, yang amat disayangkan. Demi kestabilan nasional yang mana justeru diperlukan sebagai landasan bagi pelaksana komisi politik tentang pengangkatan Presiden dengan tugas pokok melakukan pembangunan dan pemilihan umum.

Tak dapat dihindari bahwa, masalah-masalah MPRS yang demikian penting bagi negara dan masyarakat, mengarus ke masyarakat dan amat menguntungkan bagi Orde Lama, bahwa mau tidak mau timbul kerenggangan dalam barisan Orde Baru. Amat disayangkan, bahwa dalam Sidang Umum V yang baru lalu tidak tercapai mufakat tentang Garis-garis Besar sebagai landasan konstitusionil untuk program kabinet.

Pula harus diakui bahwa, disamping hasil-hasilnya yang positif Sidang Umum V tidak berhasil melahirkan ketetapan-ketetapan yang fundamental bagi penegakan rule of law, penegakan tata konstitusi dalam hal penjelasan pelengkap UUD ’45, Hak-hak Azasi dan lain-lainnya, sebagaimana ditugaskan oleh Sidang Umum IV yang lalu. Dengan upaya maksimum untuk mencapai mufakat, secara bulat pimpinan MPRS dalam 24 jam terakhir telah langsung berusaha untuk mencapai konsensus nasional tentang soal-soal yang pokok tersebut.

Usaha pimpinan MPRS tersebut tak berhasil juga, sebagaimana kita semua maklumi. Oleh karena itu, sekarang ini menonjol terus kewajiban untuk membina konsensus nasional demi perwujudkan persatuan nasional. Bagi kita, sebagai umat beragama dan sebagai pendukung Pancasila/UUD ’45 maka konsensus dan persatuan nasional tak bisa lain daripada pengamalan dan kepatuhan kepada tata-konstitusi dan rule of law, kepada rules of the game, khususnya Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan/ Perwakilan, dan bukan karena fitnah, intimidasi dan lain-lain yang negatif terhadap agama dan Pancasila/UUD ’45.

Dalam pidato penutupan Sidang Umum V MPRS, saya telah tegaskan bahwa, akhirnya yang terpenting dan yang menentukan bukanlah hasil-hasil yang kita rumuskan dengan susah payah itu, melainkan kelanjutan pelaksanaannya dalam tahun-tahun depan sampai dengan pemilihan umum yang akan datang.

Saya telah katakan pula, bahwa dalam hal ini pertama-tama kita perlukan mental dan sikap berdemokrasi, berkonstitusi dan bernegara hukum. Saya tekankan bermental dan bersikap tegasnya berjiwa yang sedemikian itu sebab hanya dengan demikian kita dapat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan demi keadilan sosial. Ya, keadilan sosial yang bukan saja salah satu Sila dari Pancasila, tetapi sekaligus pula merupakan tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Usaha Nasional

Tentang usaha nasional kita, Sidang Umum V MPRS menugaskan kepada Kabinet Ampera untuk menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi dengan tugas pokok perbaikan hidup rakyat, yang terdiri atas 4 pasal program sebagai berikut: 1) Memperbaiki peri-kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan, 2) Melaksanakan pemilihan umum, 3) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional, 4) Melanjutkan perjuangan anti-imperialisme kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Adalah tepat sekali rumus strategi dasar Kabinet Ampera yang untuk ini disebutkan, bahwa di bidang politik sasarannya adalah konsolidasi dan pengembangan konsensus nasional; di bidang sosial bersasaran konsolidasi dan pengembangan dari kepercayaan rakyat, dinamisasi masyarakat, semangat gotong-royong, penyempurnaan laku-hidup dan ketertiban strukturil; sedang di bidang ekonomi sasarannya ialah menurunkan inflasi, menaikkan daya beli, konsolidasi dan stabilisasi alat-alat produksi dan distribusi serta menaikkan produktivitas.

Tentang sasaran sosial politiknya, harus kita akui bahwa, belumlah kita puas, dan proses Sidang Umum V yang baru lalu, dimana hanya komisi politik yang berhasil, sedangkan komisi-komisi lain tidak berhasil, telah membawa akibat-akibat politik-psikologis yang menyulitkan antara lain menjelmakan pertentangan soal agama umumnya dan Piagam Jakarta khususnya, yang menekan kembali garis-garis demarkasi dalam tubuh Orde Baru, seperti antara Islam dan non-Islam, antara sipil dan militer, antara program oriented dan ideologi/agama oriented dan lain-lain.

Mengenai sasaran ekonomi harus kita akui, bahwa kita masih jauh daripada tugas yang ditentukan oleh MPRS, yakni: 1) Pengendalian inflasi, 2) Pencukupan kebutuhan pangan, 3) Rehabilitasi prasarana ekonomi, 4) Peningkatan kegiatan eksport, 5) Pencukupan kebutuhan sandang. Juga kita masih jauh daripada sasaran strategi Kabinet Ampera yang berbunyi sebagai berikut: 1) Inflasi menurun, 2) Daya beli naik, 3) Alat-alat produksi dan distribusi terkonsolidasi/stabilisasi, 4) Produktivitas naik.

Sesuai keinginan IMF, sejak Oktober 1966 kita telah melakukan politik ekonomi-keuangan yang terkenal dengan istilah-istilah “Uang Ketat”, “Balanced Budget” dan “Costaccounting”, segala sesuatu untuk mengendalikan inflasi. Rate inflasi memang telah turun dari 650 persen ke 115 persen tahun 1967, dan sekarang lebih kurang 5 persen sebulan. Namun dilain pihak politik yang bertitik berat moneter ini telah banyak berakibat negatif bagi produksi dan lapangan kerja. Disinvestasi dan pengangguran, serta costaccounting bagi inefisiensi menjadi kenyataan. Akhirnya hanya produktivitaslah sumber pokok dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan yang harus dibarengi oleh kemajuan sosial. Disinilah perbaikan kebijaksanaan yang kita perlukan.

Harus Kita Kejar Tahun 1968

Ini semua harus kita kejar dalam tahun 1968 ini, untuk mencapai garis awal bagi pembangunan nanti dalam tahun 1969. Sidang Umum V MPRS menugaskan kepada Presiden dengan Kabinet Pembangunan untuk: 1) Menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat untuk berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan 5 tahun dan pemilihan umum, 2) Menyusun dan melaksanakan rencana pembangunan lima tahun, 3) Melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPRS No: XIII/MPRS/1968, 4) Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30 S/PKI dan setiap perongrongan, penyelewengan serta pengkhianatan terhadap Pancasila/UUD ’45, 5) Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara dari tingkat pusat sampai daerah.

Namun kesuksesan tugas pembangunan memerlukan penegasan tata hukum dan konstitusi. Rakyat kita adalah rakyat yang berperasaan harga dan martabat diri dan yang telah tinggi kesadaran politiknya. Pensuksesan tersebut tidak bisa lepas daripada dinamisasi poleksos (politik ekonomi sosial) secara menyeluruh. Hal ini semua hanya mungkin dengan memelihara partnership kekuatan Orde Baru, baik ABRI maupun parpol/ormas dan kesatuan-kesatuan aksi, khususnya Angkatan ’68.

Dan, dalam hal ini adalah ikut menentukan pengadaan/pembinaan mufakat nasional oleh Pimpinan Nasional tentang persoalan-persoalan yang penting dan sensitif, yakni: perihal harmoni sipil-militer; perihal antar agama, khususnya mengenai peranan Republik dalam hal penegakan kehidupan beragama, lebih khusus lagi tentang Piagam Jakarta berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/1966 dan pasal 29 UUD ’45; dan perihal otonomi daerah dan perimbangan pusat dan daerah. Masyarakat tidak bisa disuruh untuk membandingkan soal-soal pokok yang dianggapnya maha penting dan yang menggerakkan hati dan pikirannya.

Perihal harmoni sipil-militer, harus diakui bahwa sistim kekaryaan ABRI dalam pelaksanaan UUD ’45 memang punya kelemahan-kelemahan dan ekses-ekses yang dapat meluas, apabila tidak diatur secara kualitatif maupun kuantitatif serta apabila tidak diawasi, lebih-lebih dalam situasi darurat/transisi yang berlangsung lama seperti sekarang ini, di mana terjadi campur-aduk antara hal-hal yang transisi dan hal-hal yang hakiki.

Tentang agama dan negara, yang belakangan ini diisukan kembali, terutama sekitar Piagam Jakarta, baik kiranya saya ulangi uraian saya pada peringatan Piagam Jakarta baru-baru ini, antara lain sebagai berikut: “Demi kestabilan dan persatuan nasional yang dibutuhkan untuk landasan pembangunan nasional, untuk mengkonsepsikan lebih jauh peranan Republik Indonesia dalam menegakkan kehidupan beragama warga-warganya sesuai dengan cita-cita yang termaktub dalam pembukaan UUD ’45 berdasarkan ketentuan-ketentuan UUD itu sendiri serta dengan bertitik tolak dari patokan-patokan konstitusional yang sudah digariskan oleh MPRS yang berupa haluan Republik Indonesia”.

Ini berarti bahwa warganegara Republik Indonesia yang kita tuju ialah manusia-manusia yang menjalankan syariat agamanya masing-masing, yang berarti melakukan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya yang berarti pula bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini adalah logis dan jelas, namun dalam praktik, terutama dalam kehidupan politik, ada saja orang-orang yang fobi, apabila ada orang bertakwa. Bertakwa, sebagaimana juga diwajibkan oleh Saptamarga kepada setiap prajurit kita.

Tentang perjuangan umat, berkali-kali saya ikut menegaskan hukum obyektif perjuangan, bahwa mutlak diperlukan 2 hal : 1) Kesatuan strategi dan program, 2) Wadah persatuan yang melembaga. Minimal wadah permusyawaratan yang melembaga (yang penting 1 atau 2 tahun bersidang untuk menggariskan haluan itu). Yang diperlukan, bukanlah sekedar terlaksananya kongres umat Islam, tetapi adalah melalui musyawarah nasional, secepatnya terciptanya lembaga Majelis Permusyawaratan cq Kongres Umat Islam yang tetap sebagai forum seluruh umat. Dan untuk menghindarkan resiko kegagalan, ada baiknya dilaksanakan dengan 2 tahap, seperti waktu kita mengadakan KIAA, yang dimulai dengan musyawarah sponsor.

Majelis demikian, akan teguh jika disusun dari bawah, misalnya oleh “Panitia-panitia Kongres” di Daswati tingkat II atau minimal ditingkat I, dan oleh semua pucuk pimpinan nasional orpol ormas Islam. Menurut hemat saya, ada 5 pasal usaha yang mutlak sebagai sasaran dan pembagian tugas intern dari badan kongres atau majelis itu, yakni: 1) Pembinaan persatuan umat, 2) Dakwah, 3) Sosial-ekonomi, khususnya pengorganisasian zakat serta wakaf, 4) Pendidikan, 5) Kerjasama internasional dengan satu lembaga Kongres Islam sedunia.

Berhubung masih adanya fobi disementara lingkungan terhadap persatuan umat Islam, maka tepat sekali seruan kepala negara baru-baru ini di Aceh, agar umat Islam bersatu dan bahwa persatuan umat Islam adalah syarat untuk persatuan nasional. Umat Kristen dan Katholik Indonesia telah bersatu, dan tinggal umat Islam Republik Pancasila kita akan betul jadi mulia, jika umat dari agama-agamanya masing-masing bersatu dan saling bekerjasama, sesuai ajaran agama harus menghormati agama lain.

Soal Pendidikan

Sesuai dengan acara Muktamar ini, ada satu soal yang besar, yang perlu diperhatikan, yakni Pendidikan. Selama 23 tahun merdeka, belum pernah pendidikan kita nomor satukan, dan pidato kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus yang baru lalu belum mendalami pendidikan ini. Kita perlu secepatnya memulai secara berencana melaksanakan Pasal 31 UUD ’45, yang berbunyi: 1) Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran, 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang. Pendidikan adalah inti dari pembangunan nasional, inti dari Nation Building.

Karena itu, pendidikan harus dapat tempat utama dalam Repelita. Pertama-tama sistim pendidikan kita perlu dirombak dan diperbaharui untuk memenuhi tujuan yang ditentukan dalam Pasal 4 Ketetapan MPRS No. XXVII/1966: 1) Mempertinggi mental moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, 2) Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, 3) Membina/memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat.

Untuk memenuhi kebutuhan akan pola pendidikan yang setepat-tepatnya, perlu dalam eksekutif diciptakan adanya Majelis cq Dewan Pendidikan Nasional sebagai badan policy-making yang mendasar menyeluruh, dimana semua aspeknya ikut serta. Pendidikan harus lebih diswadayakan oleh masyarakat dengan bimbingan serta pengawasan Pemerintah. Terutama dalam hal pembinaannya, dimana tidak cukup dengan badan POM yang melembaga, melainkan perlu ikut sertanya orang-orang tua dalam pembinaan secara kontinyu melalui komisi-komisi yang melembaga.

Sekolah Kejuruan

Aspek lain ialah perlunya memperbanyak sekolah-sekolah teknik oleh pemerintah dan sekolah-sekolah cq kursus-kursus kejuruan oleh dunia usaha: setiap pabrik, setiap perkebunan, setiap bengkel besar, tiap korporasi haruslah mengadakan latihan-latihan kejuruan yang wajar, baik sebagai unit sendiri yang mampu, maupun secara bersama. Dan di desa-desa, perlu kursus-kursus kejuruan, seperti pertukangan, kerajinan, dan lain-lain. Semakin maju ekonomi dengan semakin maju sosial, maka persentasi rakyat yang hidup dari industri serta jasa akan meningkat. Pertumbuhan ini akan menjadi akibat dari suatu pembangunan yang berhasil.

Keadaan sekolah-sekolah kita amat menyedihkan. Gedung-gedung yang serba kurang, peralatan belajar yang serba dibawah minimum, guru-guru yang serba melarat, pendeknya dunia perguruan perlu penggarapan yang tak dapat ditunda-tunda lagi, bahkan perlu sebutlah suatu ‘revolusi’ pembaharuan, yang memerlukan tenaga dan pikiran kita semua. Pendidikan adalah investasi terpenting dalam pembangunan, karena yang terpenting bukanlah membangun “the gun”, tetapi “the man behind the gun”. Rakyat Jepang dan Jerman membuktikan, biarpun negaranya hancur secara materiil, tapi karena manusianya berdaya guna potensiil maka dalam 15 tahun, kedua negeri itu menjadi runner up dalam pembangunan terhadap kedua super power Amerika dan USSR (Uni Soviet).

Otonomi Daerah dan Modernisasi Desa

Sesuai pokok-pokok acara Muktamar ini, saya kira perlu saya tekankan lagi urgensinya pelaksanaan otonomi daerah dan modernisasi/pembangunan desa. MPRS memberi waktu kepada Kabinet dan DPR-GR menyelesaikan soal-soal otonomi sampai 5 Juli 1969. Otonomi yang berarti menghilangkan sifat-sifat dualistis antara pusat dan daerah serta membuat Daswati I, II dan III betul-betul berumah tangga sendiri dengan legislatif, budgeter serta eksekutifnya dalam rangka politik nasional yang integral untuk seluruh Republik, namun dengan kekhususan daerah demi daerah.

Sidang Umum V MPRS menggariskan dalam rangka Otonomi Daerah itu, tertib pemerintahan yang merupakan syarat-syarat mutlak bagi suksesnya pembangunan nasional, maupun regional dan lokal. Republik terbagi atas daerah-daerah tingkat I, II dan III. Tetapi yang terpenting ialah desa, dimana rakyat seluruhnya aktif ikut dalam policy-making serta eksekusinya. Masyarakat desa haruslah dipelihara sebagai masyarakat kekeluargaan, gotong-royong sesuai karakter Indonesia. Karena itu, lembaga permusyaratan/perwakilan desa hendaknya janganlah liberal dan individualistis, sekedar sebagai perwakilan semua individu yang dewasa, tetapi hendaknya didasarkan terutama atas unit-unit keluarga, yang berhimpun dalam RT dan RK, dalam kelurahan-kelurahan dan seterusnya menuju pada desa modern, yakni modernisasi pelaksanaan otonomi desa yang demokratis sesuai pola kekeluargaan cq gotong-royong yang telah ada menurut kenyataan asal-usul istiadat setempat. Jadi bukanlah modernisasi dalam arti maksud sementara orang, untuk mengkopi sistim parlementer ala Barat, yang mana akan bertentangan dengan pasal 18 UUD ’45 yang menjamin hak asal-usul, dan yang mana perlu untuk memelihara kepribadian kita.

Modernisasi pedesaan ini, akan merupakan sendi-sendi bagi negara dan masyarakat Indonesia, dimana kaum intelektual perlu dan bisa sepenuhnya bekerja dan dimana dikembangkan pertanian, kerajinan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan keamanan rakyat secara swadaya serta dimana penghasilan rakyat masih dapat dilipatgandakan, jika semangat serta kecerdasan/ketrampilan terus diperbaharui. Dalam pada itu, struktur pemerintah Daerah Tingkat I dan II hendaknya disederhanakan sebagai eselon-eselon support untuk pusat dan pedesaan dan untuk kebutuhan span of control.

Semua lembaga pemerintahan Republik menurut UUD ’45 haruslah bersendikan permusyawaratan/kekeluargaan. Oleh karena itu harus dijauhi sifat perseorangan oleh pejabat-pejabat negara. Repelita yang dibuat oleh pemerintah menitik beratkan pada pembangunan di pedesaan. Menurut hemat saya modernisasi tak bisa lain daripada: 1) Pemberian otonomi yang sungguh-sungguh kepada rakyat desa, 2) Demokratisasi pemerintahan desa, sehingga rakyat desa mempunyai policy via perwakilannya, rapat-rapat desa yang dilaksanakan eksekutif hasil pilihannya, dan dengan diawasinya, 3) Segala modernisasi haruslah pendayagunaan atas dasar kepribadian dan kelembagaan desa yang asli, dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong, yang harus diefisiensikan dan diorganisasikan, 4) Kemudian hendaknya Kecamatan-kecamatan dijadikan sebagai Daswati III, yang merupakan gabungan dari desa-desa yang telah di modernisasi tadi.

Menurut hemat saya, otonomi adalah senafas dengan pembangunan dan otonomi adalah senafas dengan demokratisasi pula. Otonomi dan demokratisasi adalah masalah induk modernisasi dan pembangunan desa.

Pembinaan Kesatuan Nasional

Suatu masalah yang terus menungu penggarapan nasional ialah pembinaan ‘Kesatuan Bangsa’, terutama terhadap turunan asingnya dan terhadap akibat-akibat warisan G 30 S/PKI. Sidang Umum IV MPRS dengan tegas menentukan sebagai berikut: Merealisasikan dengan konsekuen larangan-larangan perangkapan kewarganegaraan dan mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warga negara keturunan asing, dengan menghapuskan segala hambatan-hambatan yang mengakibatkan yang tidak harmonis dengan warganegara asli. Melaksanakan tindak lanjut (follow up) terhadap peristiwa gerakan kontra revolusi G 30 S/PKI.

Adalah konsekuensi Proklamasi 17 Agustus 1945, bahwa kita harus merumuskan suatu strategi ekonomi yang menjamin tercapainya berangsur-angsur dan dalam waktu sesingkat-singkatnya, Pasal 27 dan 33 UUD ’45, yang berarti tegaknya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan terlaksananya demokrasi ekonomi. Dalam hubungan ini Ketetapan MPRS No. XXIII/1966 menetapkan, bahwa kita menyelenggarakan ekonomi kita dengan kekuatan sendiri serta tekad membebaskan diri dari ketergantungan asing.

Sudah barang tentu bahwa tenaga dan modal asing yang sudah domestik itu, perlu dimanfaatkan menurut sektor-sektor dan jangka-jangka waktu yang bertahap berdasarkan strategi ekonomi nasional, yang mana memerlukan pengaturan legislatif dan programming serta pelaksanaan dari eksekutif. Hanya dengan strategi dan cara kerja yang sistimatis demikian itulah dapat “dinasionalkan” dan “dirakyatkan” perekonomian Indonesia. Ini bukanlah rasialisme, melainkan merupakan konsekuensi logis dari prinsip-prinsip abad kemerdekaan ini, yang antara lain juga tergantung dalam prinsip-prinsip A.A (Asia Afrika) di Bandung, sebaliknya adalah justeru rasialisme, kalau dibiarkan/dipertahankan dominasi suatu golongan asing atas ekonomi bangsa kita.

Sehubungan dengan ini perlu kebijaksanaan politik serta ekonomi yang memindahkan garis demarkasi ekonomi dari “garis keturunan” pada “garis warganegara Indonesia”, sehingga nanti disatu pihak tidak lagi garis pemisah antara asli dan bukan asli, sedang dilain pihak tegas pemisahan antara usaha warganegara dan usaha asing. Kecuali itu, perlu pula sesuai jiwa PP. 10 di dalam kota-kota direorganisasi dan dibangun kembali wilayah-wilayah pasar, pertokoan dan bisnis pada umunya, sehingga secara fisik pula terjamin efektivitas dari policy tersebut.

Sidang Umum ke-IV dalam ketetapan No. XXII/1966 telah menugaskan Pemerintah dan DPR untuk meningkatkan PP. 10 menjadi Undang-undang hal mana sampai kini belum terlaksana. Pokoknya ialah agar warganegara asing dibatasi bidang usahanya, sedang warga negara Indonesia turunan asing betul-betul diintegrasikan sebagai warganegara Indonesia.

Penyelesaian Sisa-sisa G 30 S/PKI

Begitu pula penyelesaian terhadap sisa-sisa G 30 S/PKI, terutama puluhan ribu tahanan, dan soal penampungan untuk direhabilitasi serta integrasi mental dan sosial kembali dari keluarga-keluarganya yang berjuta-juta, memerlukan suatu usaha nasional, dimana sebagaimana pada pemakaman para Pahlawan Revolusi saya pernah nyatakan; Tidak Boleh Ada Soal Dendam.

Jika digarap dengan sistimatis dalam kerjasama dengan pemerintah dan masyarakat, pasti dapat dicapai rehabilitasi dan integrasi mental dan sosial itu, sebagaimana kita telah dapat berhasil pula menyelesaikan bekas-bekas DI (Darul Islam) di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan Tenggara.

Masalah Internasional

Terakhir saya minta perhatian atas memburuknya terus situasi internasional baik politis dan strategis, maupun ekonomis dan moneter. Masalah RRT, sengketa Vietnam dan Kashmir tetap tanpa perspektif. Pembangkangan Israel di Timur Tengah terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB tetap mengkhawatirkan situasi, bahkan makin menodai kepada tempat-tempat suci Islam. Terakhir invasi Pakta Warsawa terhadap Chekoslovakia membuat sarang persengketaan baru di benua Eropa.

Di bidang ekonomi dan moneter, terus merajalela usaha-usaha pembatasan terhadap perdagangan internasional dan perkembangan moneter internasional tetap berkecenderungan yang labil. Dalam suasana itu kita perlukan kegiatan internasional yang lebih gigih, maka lebih nyatalah kebenaran prinsip-prinsip Bandung yang telah kita pelopori itu, yang mana adalah suatu perincian yang wajar dari prinsip internasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD ’45 dan bagi kita umat Islam, firman Tuhan serta Sunnah Rasul telah memberikan pegangan pokok untuk pergaulan internasional.

Dari itu moralita dalam politik, baik dalam bidang nasional maupun internasional, adalah satu-satunya jawaban terhadap tantangan masa kini, yakni moralita yang berbuat sebagai ibadah kepada Allah Swt. Jika tidak, akan menurunlah politik sebagaimana ajaran Barat, bahwa politik itu adalah kotor. Karena didorong oleh hawa nafsu dan bukan oleh ke-Takwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber: dokumentasi MPI PPM/Adim Paknala

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!