33 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( bagian ke-17 )

Baca Juga:

Kedatangan Saudara dari Bengkulu

Datang tak diundang, pergi tak disuruh. Pepatah ini rasanya pas dengan kedatangan teman Rohman di pondok dari jauh. Bengkulu. Pulau Sumatra. Awalnya tentu kami tidak saling mengenal. Berawal dari grup WA calon wali santri. Dari salah seorang wali, akhirnya diketahui asal Bengkulu kesulitan untuk mencari dan menginap awal pondok. Kami sekeluarga bisa memahami. Akhirnya melalui pesan chart WA, kami tawarkan untuk jemput di bandara, kemudian menginap di rumah kami. Esoknya baru pergi ke pondok. Yang relatif kami mengetahui rute perjalanannya. Kami satu propinsi dengan lokasi pondok.
Bersyukur tawaran kami diiyakan. Maka dengan ringan kami sekeluarga jemput calon mujahid dari Bengkulu ini di bandara NYIA. Berbekal foto di HP kami clingak-clinguk mencarinya. Sesekali melihat foto di HP untuk mencocokkan. Maklum suasana bandara cukup rame sore itu. Alhamdulillah, tidak lama kami mencarinya. Kami dipertemukan.
“Dari Bengkulu?” kata istri
” Iya, Mbak. Ibunya Rohman,” jawab ibunya Nanda yang asli Bengkulu
Mereka berdua berpelukan. Kami para suami cukup bersalaman. Termasuk dengan anak mereka. Rohman ikut juga sore itu. Nanda, kesan pertama anak pendiam. Soleh. Yang terbersit dalam hatiku, anak sekecil itu, lulus SD/MI sudah mau berpisah dengan kedua orang tuanya dan saudaranya. Belakangan aku tahu adiknya dua. Masih kecil-kecil. Pasti ada yang istimewa dari anak dan keluarga ini.
Nanda dan Rohman aku lihat langsung akrab. Yang lebih akrab, aku lihat ibunya. Mereka sudah seperti lama kenal. Ada saja yang diperbincangkan sepanjang perjalanan kami pulang dari bandara.  Istri memang pintar untuk memancing suasana agar hidup. Sementara aku dan bapaknya Nanda, hanya sekali dua kali saja berbicara. Paling yang aku tanya standar bekerja dimana, putranya berapa, sekolah di mana saja. kenapa tertarik di pondok. Hanya seputaran itu saja. Akhirnya bahan pembicaraan kami habis. Sementara istri dan ibunya Nanda, masih saja materi yang diomongkan ada. Maklum perempuan. Pikirku.
Sambil nyetir mobil, sesekali aku lihat apa yang dilakukan Nanda dan Rohman di jok belakang, lewat kaca spion depan aku lihat mereka juga sesekali saling bertanya. Meski tidak jelas benar apa yang diomongkan.
“Sudah hapal Juzamma ya mas Nanda,” tanyaku agak keras. Dengan harapan Nanda yang menjawab, karena dia duduk di belakang.
Nanda hanya senyum. Yang jawab ibunya, “Iya, tapi kadang masih lupa. Masih diulang-ulang,”
Sebelum sampai rumah kami mampir beli bakso di pinggir jalan. Sambil melepas lelah. Maklum perjalanan jauh. Meski naik pesawat, namun nunggu-nya cukup lama. Ini juga tidak kalah menguras energi. Kami tawarkan untuk makan dengan santai. Jarak ke rumah masih cukup jauh. Aku sudah bilang ke istri, harus siap memuliakan tamu. Jajan harus kami yang bayari. Meski dalam prakteknya kadang rebutan. Terutama ibunya Nanda yang tidak mau kalah. Yang belakangan kami ketahui, bekerja sebagai ASN di Pemda Bengkulu. (bersambung…)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!