26.1 C
Jakarta

Rentan Diskriminasi, Kehadiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Sangat Mendesak

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pekerja rumah tangga merupakan jenis pekerjaan yang bersifat domestik dan private, sehingga nyaris tidak ada kontrol atau pengawasan dari pemerintah. Akibatnya, pekerja rumah tangga rentan dan rawan mengalami tindak pelanggaran hukum.

Itu mengapa, kehadiran Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) kata Ketua Umum Kowani Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo menjadi sangat penting dan mendesak sebagai bagian dari upaya negara melindungi seluruh warga negaranya.

“Bekerja di sektor rumah tangga rawan dan rentan terhadap diskriminasi seperti pelecehan dan perendahan, eksploitasi terhadap profesi dan kekerasan baik secara ekonomi, fisik, psikis dalam bentuk intimidasi maupun dalam bentuk isolasi,” kata Giwo Rubianto pada webinar Pentingnya UU Perlindungan PRT untuk Perempuan Indonesia, Senin (13/7/2020).

Karena itu, Kowani sebagai federasi organisasi yang menaungi 97 organisasi perempuan di Indonesia lanjut Giwo mendesak agar anggota dewan (DPR RI) segera mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT. Desakan tersebut wajar mengingat RUU PPRT ini telah tertunda hingga 16 tahun lamanya. Sementara kasus-kasus pelanggaran hukum terhadap profesi PRT di Indonesia terus berulang kejadiannya.

RUU PPRT yang kini menjadi inisiatif DPR RI akan masuk ke sidang paripurna pada Selasa (14/7/2020). Seluruh organisasi perempuan diakui Giwo siap untuk mengawal lahirnya UU PPRT ini.

Diakui Giwo, orang yang bekerja sebagai PRT selama ini masih dianggap sebagai pengangguran dan tidak memiliki ketrampilan kerja. Padahal tanpa kehadiran PRT dalam sebuah keluarga, maka keluarga tersebut terutama pasangan suami istri yang berkarier di luar rumah, tidak akan bisa beraktivitas di ruang publik.

Webinar Pentingnya UU Perlindungan PRT untuk Perempuan Indonesia, Senin (13/7/2020).

“Fakta tersebut menguatkan kita bahwa PRT berhak mendapatkan hak normatif dan perlindungan sebagaimana pekerja pada umumnya,” jelas Giwo.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menegaskan bahwa diskriminasi terhadap pekerja rumah tangga dalam bentuk apapun harus dihentikan. Bentuk diskriminasi tersebut di antaranya adalah bahwa PRT dianggap pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan dan tidak bernilai ekonomi. Padahal keberadaan PRT sangatlah penting untuk menunjang urusan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari terutama apabila di dalam rumah tangga tersebut terdapat penyandang disabilitas.

Data dari Sakernas pada bulan Agustus 2019 bahwa pekerja perempuan pada informal itu sejumlah 41, 97% sedangkan pekerja laki-laki sejumlah 58, 0%. Meski demikian pekerja informal perempuan lebih banyak ditemukan dalam data pekerja rumah tangga atau pekerja keluarga tersebut. Bentuk kerentanan yang terjadi dari kecenderungan perempuan untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga diantaranya mereka bekerja tanpa proteksi sosial dan juga tidak mendapat dana pensiun, tidak mendapatkan cuti dan tidak mendapatkan asuransi kesehatan, mendapatkan upah yang tidak sesuai standar.

Melihat fakta tersebut, Bintang mengapresiasi semangat organisasi perempuan di bawah federasi Kowani untuk mengawal lahirnya UU PPRT tersebut.

“Mari kita bergerak bersama-sama mengawal bagaimana rancangan undang-undang perlindungan PRT yang sudah masuk dalam prolegnas dapat disahkan menjadi UU PRT,” tandas Bintang.

Terkait urgensi UU PPRT ini Menaker Ida Fauziyah mengatakan bahwa kebutuhan PRT masih cukup besar di tengah masyarakat. Semakin tinggi angka partisipasi tenaga kerja perempuan dalam kegiatan ekonomi, maka semakin besar kebutuhan akan jasa pekerja rumah tangga.

“Di sisi lain, adanya keterbatasan kemampuan pendidikan dan kemiskinan masih ditemukan pada sebagian saudara kita khususnya perempuan, sehingga mereka bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja sebagai pekerja rumah tangga,” kata Ida.

Menurut Menaker, perlindungan terhadap pekerja rumah tangga dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Tujuan dari perlindungan kepada PRT adalah memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja mencegah segala bentuk diskriminasi eksploitasi dan pelecehan sosial serta mengatur hubungan kerja yang harmonis meningkatkan pengetahuan keahlian serta untuk meningkatkan kesejahteraan PRT dari RUU tentang perlindungan PRT.

Menaker Ida Fauziyah

Diakui Ida, saat ini sejumlah platform digital menawarkan jasa terkait pekerjaan domestic. Misalnya ada jasa kuliner, membersihkan rumah, perawatan hewan peliharaan, laundry, belanja antar jemput sampai jasa perawatan taman yang secara konvensional biasanya dilakukan oleh pekerja rumah tangga kita. Berbagai platform tersebut tidak serta merta akan menggantikan posisi pekerja rumah tangga.

RUU tentang perlindungan PRT kata Ida, ada 2 hal krusial yang perlu menjadi perhatian secara khusus yang harus dilaksanakan. Pertama adalah pentingnya perjanjian kerja dengan pemberi kerja. Dengan perjanjian kerja yang jelas maka akan disepakati tentang jam kerja, hak dan kewajiban, tentang libur dan cuti, tentang potensi bahaya kerja yang muncul, jaminan sosial dan sebagainya.

“Setelah ada perjanjian kerja maka kita bisa menegakkan norma kerja merujuk pada perjanjian kerja hal-hal yang merugikan PRT hari itu berakar dari tidak adanya perjanjian kerja,” tegas Ida.

Fakta menunjukkan sebagian besar pekerja rumah tangga kita memang tidak memiliki perjanjian kerja. Ini menjadikan posisi PRT sangat lemah, kesulitan menerapkan norma kerja.

Data menunjukkan jumlah PRT di Indonesia saat ini sekitar 5 juta orang. Dari jumlah tersebut sekitar 84 persen adalah perempuan.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!