32.2 C
Jakarta

Takwa, Fitrah, dan Perempuan

Baca Juga:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Artinya: Kebajikan sejati itu bukanlah menghadapkan wajah ke Timur dan Barat. Kebajikan sejati adalah siapa saja yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Kitab Suci, Nabi-nabi; dan memberikan (sebagian) harta yang dicintanya kepada sanak-kerabat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang-orang terlantar di jalan (para pengungsi, anak-anak jalanan, musafir terlantar, dsb), orang-orang yang meminta-minta (karena terpaksa), dan untuk pembebasan budak, serta senantiasa mendirikan salat, membayar zakat, dan orang-orang yang senantiasa memenuhi janjinya, jika mereka berjanji, dan orang-orang yang bersabar  dalam kemelaratan, situasi menderita, dan di masa sulit (bencana, perang). Mereka itulah orang-orang yang benar (jujur) dan mereka itulah orang yang bertakwa. (QS. Al Baqarah, 2: 177).

 

Ibadah Pengantar Menuju Takwa

Semua ibadah dalam Islam bertujuan agar pelakunya dapat senantiasa menjadi bertakwa. Salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya bertujuan untuk mengantarkan pelakunya menjadi bertakwa. Hal ini seperti ditegaskan dalam banyak ayat. Salah satunya ayat: “Innas-salata tanha ‘anil-fakhsya’i wal-munkar” (Sungguh salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar…, QS. al-Ankabut: 45).  Juga dalam ayat: “Lan yanalallaha luhumuha wa la dima’uha wa lakin yanaluhut-takwa minkum…” (Daging dan darah (sembelihan kurban) tidak akan sampai kepada Allah, tetapi sikap takwa darimu lah yang akan sampai kepada-Nya…, QS. Al-Hajj: 37). Demikian pula ibadah puasa yang ditegaskan sebagai jalan menuju takwa (la’allakum tattaqun). Dengan demikian semua ibadah khusus (mahdhah) bertujuan membangun pribadi dan tatanan sosial yang mencerminkan nilai-nilai takwa.

Apa saja nilai-nilai takwa yang dimaksud? Banyak ayat Al Quran memberikan kriteria-kriteria pribadi takwa, seperti ayat yang dikutip di atas (QS. al Baqarah: 177), antara lain: Pertama, Komitmen iman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Kitab Suci, Nabi-nabi; Kedua, Komitmen sosial untuk berbagi (memberikan) sebagian harta yang dicintainya kepada sanak-kerabat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang-orang terlantar di jalan (para pengungsi, anak-anak jalanan, musafir terlantar, dsb), orang-orang yang meminta-minta (karena terpaksa), dan untuk pembebasan budak; Ketiga, Komitmen vertikal-horizontal melalui salat dan zakat; Keempat, Komitmen moral untuk jujur dan bertanggung jawab dalam memenuhi sumpah dan janjinya;  Kelima,Komitmen pribadi untuk senantiasa bersabar  dalam kesulitan, kemelaratan, situasi menderita dan serba susah (masa bencana atau perang).

Sedangkan kriteria pribadi takwa dalam ayat lain, ditunjukkan dengan: Pertama, berbagi (sesuatu pemberian atau infak) di saat lapang (mudah) maupun sempit  (sulit); Kedua, senantiasa mengendalikan marah (murka, benci, dendam, gondok, jengkel, dsb.); Ketiga, senantiasa memaafkan (bersifat pemaaf) atas kesalahan orang lain; Kempat, bila bertindak salah (seperti melakukan kejahatan atau kekerasan kepada orang lain) atau menzalimi diri sendiri dengan berbuat dosa , maka bersegera mengingat Allah dengan menyadari kesalahan dan memohon ampunan-Nya atas dosa (baik sengaja maupun tidak, besar-kecil, terang-terangan atau tersembunyi), dengan penuh keyakinan bahwa hanya Allah saja yang dapat mengampuni dosa-dosa, kemudian tidak meneruskan dosa yang pernah dikerjakannya. Mereka inilah manusia-manusia yang berpredikat muttaqin (berlaku takwa) dan muhsinin (berlaku ihsan/berbuat terbaik ) dan mereka inilah yang akan memperoleh ampunan dan surga Allah. (QS. Ali Imran: 133-136).

Sejumlah tanda-tanda takwa di atas berlaku bagi semua umat manusia yang beriman, baik laki-laki dan perempuan. Artinya, Allah tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan dalam hal takwa atau upaya menempuh jalan menuju takwa. Di ayat lain (QS. Al Hujurat: 13) ditegaskan: “Inna akramakum ‘indallahi atqakum” bahwa kemuliaan manusia dalam pandangan Allah adalah dalam hal ketakwaannya, bukan jenis kelamin atau suku-bangsanya.

Selanjutnya, modal kesetaraan kemanusiaan (tanpa membeda-bedakan asal-usul, jenis kelamin, suku-bangsa) yang dilanjutkan dengan nilai ta’aruf (saling mengenal, menghormati, dan menghargai), memaafkan (firman Allah: “wa an ta’fu aqrabu lit-taqwa…”,  sikap memaafkan itu paling dekat kepada takwa, QS. al Baqarah: 237) dan ditambah sikap adil terhadap diri dan orang lain (termasuk adil kepada perempuan) akan mengantarkan manusia, secara individu dan sosial menjadi bertakwa (terpelihara dari segala hal-hal yang negatif seperti tindakan diskriminatif dan ketidakadilan). Allah menegaskan pentingnya sikap adil sebagai jalan takwa: “I’dilu huwa aqrabu lit-taqwa” (Bersikap adillah kamu. Adil itu paling dekat kepada takwa, QS. al Maidah: 8).

Takwa, Fitrah, dan Perempuan

Kondisi takwa di atas selaras dengan kondisi fitrah. Fitrah adalah khilqah (kejadian manusia sejak ia tercipta di dalam perut ibunya). (Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, jil. 7, h. 125). Kehidupan yang fitrah adalah kehidupan yang sesuai dengan sunnatullah atau hukum-hukum alam (natural) yang Allah ciptakan. Fitrah adalah kewajaran dan kepatutan hidup. Fitrah bagi manusia adalah hidup secara manusiawi, wajar berdasarkan akal pikiran yang sehat dan hati yang damai. Fitrah kehidupan adalah baik adanya, saling mengasihi, menyayangi, menghormati, damai, tolong-menolong, dan seterusnya. Sebaliknya  hal-hal negatif adalah tindakan yang keluar dari kefitrahan. Perlakukan kasar dan tindakan kekerasan terhadap manusia, baik laki-laki maupun perempuan merupakan contoh hal-hal yang berlawanan dengan fitrah. Begitupula ketidakjujuran, pengkhianatan, korupsi, perusakan lingkungan, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya adalah keluar dari fitrah kemanusiaan yang jujur, setia, dan membangun.

Allah swt. menegaskan bahwa manusia haruslah mengikuti fitrah kejadiannya, yakni kebaikan, keselarasan, dan keseimbangan:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ  [الروم/30]

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama (nilai-nilai yang Allah wahyukan) secara lurus. (Ikutilah) fitrah Allah yang ditetapkan kepada manusia di atas fitrah tersebut. Tidak ada perubahan atas ciptaan Allah. Itulah Agama yang lurus. Namun banyak manusia yang tidak mengetahui. (QS. al Rum: 30).

Nabi Muhammad saw. juga menegaskan bahwa semua manusia lahir dalam keadaan fitrah (Kullu mauludin yuladu ‘alal-fitrah, HR. Bukhari dan Muslim dengan redaksi kullu insanin taliduhu ummuhu ‘alal-fitrah). Fitrah kemanusiaan yakni manusia mengikuti hukum-hukum Tuhan terhadap manusia, makhluk terbaik yang dikaruniai akal pikiran. Menjadi fitrah adalah menjalani hidup di atas nilai-nilai kewajaran dan kepatutan sebagai manusia. Fitrah manusia memakan makanan sebatas kewajarannya sebagai manusia, tidur sebatas kebutuhannya, bekerja sebatas kemampuannya, dan sebagainya. Pelanggaran terhadap norma moral dan hukum atau penyimpangan atas kewajaran dan kepatutan adalah tindakan yang tidak fitri atau tidak fitrah. Dengan demikian kerakusan dan keserakahan adalah tidak fitrah. Kebencian, dendam kesumat, kekerasan, ketidakadilan, penindasan, dan penjajahan adalah keluar dari fitrah yang telah Allah tetapkan. Karena pada dasarnya, manusia diciptakan baik. Maka kebaikan dan keadilan adalah manusiawi karena sesuai fitrah, sementara ketidakbaikan dan ketidakadilan adalah tidak manusiawi, karena bertentangan dengan fitrah. Demikian seterusnya.

Dalam hari raya Idul fitri,  kondisi fitrah tersebut sangat ditegaskan yang sebelumnya didahului dengan ibadah Puasa Ramadhan sebulan penuh adalah momentum bagi manusia untuk menapaktilasi jalan fitrah yang telah digariskan oleh Allah. Jalan fitrah itulah yang jika dilalui dengan istikamah dan konsekuen akan mengantarkan para pejalannya menuju kehidupan terbaik (Hayatan thoyyibah) , damai, dan sentosa yang dalam bahasa Alquran dinyatakan dalam doa yang universal sebagai kehidupan yang fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah (bahagia di dunia dan akhirat).

Idul fitri sebagai hari kemenangan manusia beriman dalam menundukkan gejolak nafsu ammarah dan lawwamah (nafsu jahat) sehingga nafsu itu menjadi marhamah (dirahmati Allah) dan mutmainnah (tenang dan damai). Salah satu bukti terdidiknya nafsu menjadi nafsu marhamah dan mutmainnah adalah mengamalkan atau mentradisikan nilai-nilai takwa yang tersebut di bagian awal tulisan ini. Takwa kemudian mewarnai kehidupan di level pribadi, keluarga, lingkungan, dan masyarakat yang akhirnya terbentuklah masyarakat yang khairu ummah, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, keadilan dan mencegah terjadinya tindakan yang mungkar, ketidakadilan. Jika demikian, maka terbangunlah selalu negeri-negeri yang baik, indah, tenteram, ramah, dan senantiasa dalam ampunan ilahi. Ini yang disebut “baldatun thayyibatun wa robbun ghafur.” (QS. Saba’:  15).

Nilai takwa tersebut juga seharusnya dan sepatutnya tercermin dalam kehidupan relasi antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana Nabi Muhammad saw. dalam banyak hadis menegaskan dukungan atas keterlibatan perempuan dalam hiruk-pikuk kehidupaan bermasyarakat dan memberikan pembelaan yang luar biasa terhadap kehidupan perempuan. Wallahu a’lam.

Nur Achmad, MA. (Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Dewan Mudir MBS Ki Bagus Hadikusumo di Jampang Bogor, Anggota LDK PP Muhammadiyah)

 

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!