26.7 C
Jakarta

Takziyah untuk Kiai Hasyim Muzadi: Tak Mau Jadi Penunggu Gardu

Baca Juga:

Oleh Azrul Tanjung
Sekjend Fokal IMM
Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah

Untuk ukuran aktivis Muhammadiyah, hubungan saya dengan almarhum KH Hasyim Muzadi cukup dekat. Saya sering berkomunikasi, baik secara langsung maupun sekadar lewat pesan singkat (SMS).

Dari banyak kesempatan berbincang dengan beliau, saya bisa menyimpulkan bahwa KH Hasyim Muzadi adalah sosok ulama yang hangat. Bisa bergaul secara baik dengan semua kalangan, tanpa ada sekat status sosial atau batas suku, ras, dan agama. Beliau mewakili sosok tokoh Muslim yang moderat dan toleran, dengan pikiran-pikiran yang dalam.

Kiai Hasyim masuk kategori pemimpin agama sekaligus pemimpin bangsa. Selain sebagai ulama, ia dikenal “nasionalis dan pluralis”. Integritasnya sebagai kiai pernah diuji pada saat menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden yang juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputeri pada Pemilu 2004.

Ijtihad politik menerima lamaran PDIP menjadi bukti bahwa Kiai Hasyim merupakan sosok pemimpin agama yang moderat. Di samping, Kiai Hasyim juga mempunyai visi politik yang jelas dalam memperjuangkan demokrasi.

Kabarnya, yang melamar Kiai Hasyim waktu itu bukan hanya Megawati, tapi juga ada calon presiden yang dari kalangan militer. Mengapa tidak menerima yang dari kalangan militer, padahal menjadi kombinasi yang bagus, pasangan militer dan sipil. Alasan Kiai Hasyim cukup unik: “Saya tidak mau menjadi penunggu gardu.”

Istilah “penunggu gardu” menurut saya sangat menarik. Ada banyak interpretasi terhadap istilah ini. Walau pun terdengar lucu, tapi secara politik memiliki makna yang dalam.

“Gardu” adalah tempat para penjaga malam bertugas. Para penjaga malam penunggu gardu hanya mau bergerak kalau ada tiga hal: pertama, kalau diperintah pimpinan (ketua RT misalnya); kedua, kalau sudah waktunya keliling; dan ketiga, kalau ada maling.

Saya paham kenapa Kiai Hasyim tidak mau menjadi penjaga gardu. Karena beliau ulama yang bebas. Berjiwa pemimpin bukan pengekor yang hanya mau bergerak kalau diperintah.

Menyatukan Nasionalis dan Agamawan

Kesempatan berjumpa dengan Kiai Hasyim terus saya optimalkan dengan banyak berbincang tentang hal-hal yang sederhana tapi tajam. Saya tahu beliau banyak diharapkan kiprahnya oleh rakyat Indonesia untuk membawa kedamaian di era reformasi yang carut-marut seperti sekarang.

Untuk itu, Kiai Hasyim tidak canggung untuk terlibat langsung dalam gerakan politik, baik sebagai aktivis partai, sebagai pendukung kandidat presiden, hingga maju sendiri sebagai kandidat wakil presiden. Semua bisa beliau lakoni dengan satu alasan: ”Saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dengan agamawan.”

Walaupun memang, tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah Kiai Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum nahdliyin, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, langkah politik Kiai Hasyim telah menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama.

Namun di atas segalanya, hanya Kiai Hasyim yang tahu persis, makna di balik langkah-langkah politik yang ditempuhnya.

KH Hasyim Muzadi

Menjaga Umat tidak Terkotak-kotak

Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah dipimpin Kiai Hasyim merupakan ormas terbesar dengan jumlah anggota mencapai 35 juta orang. Warga NU, menurut Kiai Hasyim tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran dan nama baik NU, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan.

Kiai Hasyim juga ingin menjaga agar Umat Islam, terutama kaum nahdliyin, tidak terkotak-kotak dalam politik aliran. Namun, bila ada warga NU yang ingin aktif di politik, sama sekali tidak ada halangan. “Tetapi, tidak boleh membawa bendera NU secara kelembagaan dalam kiprah politiknya. Paling tidak, hal itu berlaku untuk masa sekarang.” Namun, menurutnya, sepanjang mereka membawa visi nasional Indonesia secara utuh, akan disambut baik.

Pada saat menjadi Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi dalam menjalankan organisasinya memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol). Karena menurut beliau, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU.

Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata Kiai Hasyim, menjadi pertimbangan utama dari pengurus besar untuk mengubah bentuk organisasi itu.

Waktu menjadi partai, kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legislatif. Usaha untuk memajukan pendidikan dan intelektual umat jadi terabaikan.

Menjelang Pemilu 2004, banyak kalangan mendorong agar NU berubah menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin), tetapi sikap NU tidak goyah.

Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Kiai Hasyim, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Padahal NU dituntut untuk terus memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.

Mengenai pemimpin bangsa, menurut Kiai Hasyim, NU itu tidak berpikir bagaimana mengajukan calon dari NU. Tapi, yang dipikirkan, adakah calon dari mana pun yang mampu melakukan recovery, penyembuhan terhadap Indonesia. Hal itu menurutnya harus lebih dulu dipikirkan dari pada ramai-ramai membuat NU terjun langsung di dunia politik.

Munculnya konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. Bila menyangkut konflik antaragama, ia mengatakan, NU telah melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin masalah itu selesai hanya dengan peran satu kelompok saja. Harus melibatkan keduanya.

Kiai Hasyim dikenal sebagai sosok yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Kiai Hasyim cukup “nasionalis”. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Kiai Hasyim ikhlas melakukannya.

Itulah sebab, mengapa ketika berkunjung ke Amerika Serikat, Kiai Hasyim benar-benar ingin memperjuangkan kepentingan yang lebih besar. Salah satunya ia tunjukkan dalam bentuk memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional.

Mengenai kelompok-kelompok garis keras di Indonesia –betapa pun jumlah dan kekuatannya tidak besar– Kiai Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya tidak boleh sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Jika itu dilakukan, bukan hanya kontraproduktif, tapi bisa memunculkan radikalisme betulan.

Sekali AS bertindak, seperti dilakukannya di Afghanistan atau negara-negara Timur Tengah, dengan intervensi langsung, hasilnya bisa runyam. Kata Kiai Hasyim, Indonesia tidak bisa dipukul rata dengan Timur Tengah atau negara-negara lain.

Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya dilakukan melalui pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Kiai Hasyim.

Demikian beberapa catatan penting saya selama bergaul dengan KH. Hasyim Muzadi. Tidak terlalu dalam tapi cukup mengesankan.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!