26.3 C
Jakarta

‘Zona Merah’ PPDB Sekolah Swasta

Baca Juga:

Oleh Ashari *

ZONA merah dalam tulisan ini, kita batasi dengan maksud sebuah kekhawatiran. Jika tidak diantisipasi dan ditindak lanjuti. Karena kondisi riil di lapangan, bagi sekolah swasta kebanyakan, PPDB ( Penerimaan  Peserta Didik Baru) kali ini mengalami surut  peserta. Alasan bisa bervariasi. Salah satunya adalah dampak dari pandemi Covid-19 yang entah kapan berakhir.  Alasan lain adalah penerapan zonasi yang mau tak mau berdampak bagi sekolah sekolah swasta. Plus minus.

Bagi sekolah swasta, PPDB adalah ruh atau nyawa bagi keberlangsungan institusi tersebut. Karena hitungannya bagaimana sekolah akan berlanjut, kalau penerimaan siswanya dibawah standar. Satu kelas minimal 20 plus 1 siswa. Maka di lapangan teman-teman sekolah swasta/berada di bawah yayasan, sudah lebih dulu sigap, pasang kuda-kuda dengan teknis jemput bola dan best practise lainnya.

Harapannya satu, untuk mendapatkan siswa sesuai dengan jumlah rombel (rombongan belajar) yang ditetapkan. Tanpa upaya maksimal ini atau hanya mengandalkan pendaftar lewat on line, menunggu di depan komputer., sekolah swasta akan kedodoran.

Memang ada yang berlebih siswanya. Bahkan indent sampai satu dua tahun kedepan. Tetapi jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari tangan. Artinya kebanyakan masih berjibaku untuk mendapatkan siswanya.

Hajatan PPDB adalah hajatan rutin tahunan yang dilakukan oleh semua sekolah. Baik negeri maupun swasta. Hanya cara dan mekanismenya saja yang berbeda. Juklak dan Juknis PPDB sejatinya sudah ada dari Dinas Pendidikan masing-masing. Kapan mulai penerimaan, berapa rombel (rombongan belajar) yang harus diterima sampai boleh tidaknya sekolah menarik pungutan/sumbangan.

Namun dalam prakteknya ada-ada saja kejadian di lapangan yang berbeda dari ketentuan yang ada. Kalau itu berbau penyimpangan, kemudia ada calon orang tua siswa yang kritis dan ‘berani’, maka akan menjadi temuan, akhirnya menjadi masalah yang berkepanjangan.Tentu semua sekolah tidak ingin berurusan dengan hal-hal seperti itu.

Menghadapi penambahan rombel di beberapa sekolah negeri ini, maka riil dan praktis sekolah swasta harus pasang badan dan pasang kuda-kuda untuk mencari murid baru lebih gigih, tentu dengan cara-cara yang santun dan elegan. Tidak ‘saling membunuh’ atau menjegal.

Masing-masing sekolah swasta jauh hari tentu sudah mengantisipasi permasalahan konvensional ini. Di antaranya yang biasa dilakukan adalah pemasangan spanduk, baliho, rontek, umbul-umbul, menyebar leaflet sampai upaya presentasi ke Sekolah-Sekolah Dasar dan MI untuk menebar dan menjaring simpati. Ini sah-sah saja, kan. Bahkan jika itu dilakukan kurang manjur, langkah terakhir adalah gerakan door to door. Sampai begitu? Kenapa tidak.

Dalam realitasnya di lapangan, sekolah swasta bagi masyarakat kebanyakan masih menjadi pilihan kedua. Memilih sekolah yang pertama adalah negeri. Kedua yang sekarang sedang naik daun adalah pondok pesantren semi sekolah. Alasannya orang tua lebih tenang menyekolahkan anaknya di pondok, dimana pendidikan agama dan pembentukan karakter anak diatas rata-rata. Di samping pengawasan yang relatif ketat, 24 jam. Persepsi dan realita ini tidak bisa disalahkan begitu saja.

Disatu sisi, bagi sekolah swasta akan lebih gigih dalam mencari murid baru. Bahwa kemudian input yang diterima kebanyakan dari kalangan anak dan orang tua yang kurang motivasi belajarnya, disinilah kelebihan para pendidik sekolah swasta. Sudah (kadang) maaf pendapatnnya di bawah UMP, masih harus mengurusi, mendidik dan membina anak-anak yang boleh dikatakan siswa dengan kebutuhan khusus. Bukan  Luar Biasa. Namun kebutuhan untuk diperhatikan lebih, disayang lebih. Butuh energi lebih.

Kesiapan sekolah swasta dalam menghadapi PPDB setiap tahunnya berbeda-beda, namun yang jelas lebih gigih dari sekolah negeri yang dipastikan calon muridnya berlebih dari kebutuhan/kapasitas yang diperlukan. Namun bagi sekolah swasta tidak perlu berkecil hati, karena sesungguhnya pemerintah juga sudah perhatian dalam memberikan sarana prasaran melalui Bosda, Bosdakab hingga Bosnas. Meski dalam prakteknya, belum cukup juga.

Maka karena situasi yang berbeda ini, sudah saatnya, para “pejabat” di lingkungan Sekolah Swasta, saya rasa tidak elok kalau hanya dari balik meja, lewat WA meminta laporan tertulis dari sekolah binaannya : sudah tercapai target siswanya apa belum, berapa prosentase sekarang jumlah pendaftar. Tanpa melihat kondisi yang sejatinya. Pertanyaannya sebaiknya dibalik. Apa yang bisa kita bantu untuk PPDB kali ini, biar jumlah siswa tercukupi? Karena, kenyataannya membangun sekolah swasta, semangat saja tidak cukup. Butuh dana. Ini bisa dicukupi secara kolegial.

Selamat berjuang. Pantang mundur. Sekali layar terkembang, takkan surut kembali. Yakinlah bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil akhir. Sekian

*Penulis : Panitia PPDB Sekolah Swasta di Sleman, Opini Pribadi

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!