JAKARTA, MENARA62.COM –Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah kematian akibat resistensi antimikroba mencapai 700 ribu orang per tahun. Angka tersebut diperkirakan akan tembus hingga 10 juta per tahun pada 2050.
“Disisi lain, kecepatan munculnya resistensi antimikroba atau AMR jauh lebih cepat dibanding penemuan antibiotic baru yang lebih ampuh,” kata dr Benyamin Sihombing, MPH dari WHO dalam temu media yang digelar Kemenkes, Kamis (18/11/2021).
Tingginya tingkat resistensi antimikroba ini diakui dr Benyamin tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara di kawasan Asia dan negara berkembang lainnya umumnya menghadapi persoalan yang hampir sama.
Terlebih saat ini akses masyarakat terhadap obat jenis antibiotika ini relative lebih mudah dengan adanya pembelian obat melalui online. Meski Badan POM sendiri telah menerbitkan regulasinya tetapi perlu pengawasan lebih ketat di lapangan.
Sebauh penelitian tahun 2021 yang melibatkan 70 negara termasuk di Indonesia dan 3 juta laboratorium di dunia berjudul ‘Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS)’ menemukan fakta yang cukup mengejutkan. Diantara penemuan tersebut bahwa tingkat resistensi yang sangat tinggi terjadi pada patogen yang sangat umum yang biasa menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK) terhadap obat Kotrimoksazol. Obat ini sebenarnya masuk dalam obat lini pertama.
Terjadi tingkat resistansi tinggi dari obat Ciprofloxacin terhadap ISK terjadi dan obat ini resistan terhadap kuman E. Coli dan K. Pneumoniae. Selain itu ditemukan adanya resistansi pada obat-obat golongan betalaktam dan kuinolon dan terjadi tingkat resistansi yang sangat tinggi dari obat Carbapenem terhadap kuman yang bernama Acinetobacter spp dan Carbapenem thd, K. Pneumoniae.
Pada 2020 WHO lanjut dr Benyamin mengidentifikasi 2 antibiotik yang dalam pengembangan klinis untuk menghadapi 8 patogen prioritas, hanya 2 yang ampuh untuk multidrug resistance (MDR) gram negative.
WHO sendiri sudah menetapkan tanggal 18–24 November sebagai ‘Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia’. Istilah antimikroba dipilih untuk merepresentasikan cakupan yang lebih luas, yakni obat-obat antibiotik, antivirus, antiparasit, dan antijamur.
AMR adalah suatu kondisi di mana obat antimikroba tidak berkhasiat lagi ketika diberikan kepada seseorang atau hewan atau tanaman yang mengalami infeksi. “Kondisi ini tentu tidak kita harapkan, sehingga kesadaran mengenai AMR dan risikonya perlu ditingkatkan terus,” lanjutnya.
Beberapa langkah yang dilakukan WHO untuk mencegah peningkatan AMR ini antara lain melaksanakan rencana aksi nasional AMR yang baru-baru ini disahkan, menargetkan perubahan perilaku menuju penggunaan antimikroba dengan bijak di semua sektor dan memperkuat kolaborasi lintas sektor dengan pendekatan one health antar pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan dan sektor swasta.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri telah memiliki beberapa kebijakan terkait pengendalian resistensi antimikroba (AMR). Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 8 Tahun 2015, Permenkes Nomor 27 Tahun 2017, dan Permenkes Nomor 28 Tahun 2021.
Selain itu, Kemenkes juga memiliki program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA) dalam standar nasional akreditasi rumah sakit dan ‘Rencana Aksi Nasional’ pada AMR.
Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Kalsum Komaryani, kebijakan lainnya adalah Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/6460/2021. Aturan ini menetapkan pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) periode 2020–2024. Sejumlah regulasi tersebut diterbitkan agar obat-obat antimikroba digunakan secara bijak dan bertanggung jawab.
Ia mengingatkan bahwa AMR merupakan ancaman global karena bisa menurunkan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien. Di sisi lain, juga dapat meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, angka kesakitan dan kematian akibat infeksi.
“Kemenkes terus berusaha meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistensi antimikroba. Upaya ini dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) serta program ‘Gema Cermat’ (Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat),” paparnya.
Strategi berikutnya yaitu optimalisasi pengawasan dan penerapan sanksi pelanggaran peredaran dan penggunaan antimikroba tidak sesuai standar. Selain itu, juga perlu peningkatan investasi guna penemuan obat, metode diagnostik dan vaksin baru. Kemenkes juga terus-menerus melakukan peningkatan pengetahuan dan bukti ilmiah. Saat ini, ada survei ‘Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System’ (GLASS). “Kebetulan di Indonesia ada 20 rumah sakit yang terpilih melakukan surveilans antimikroba ini,” tutupnya.