JAKARTA, MENARA62.COM – Rokok tidak hanya berdampak buruk terhadap kesehatan, tetapi juga dapat merusak lingkungan. Sayangnya, publik lebih fokus pada dampak kesehatan dan masih abai terhadap dampak lingkungan yang disebabkan oleh rokok.
“Padahal dampak rokok terhadap lingkungan sangat serius, seperti halnya limbah plastik,” kata Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari pada Media Briefing menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2022 bertema Dampak Lingkungan Akibat Industri Tembakau: Antara Solusi Palsu & Tanggung Jawab yang Seharusnya, pada Kamis (12/5/2022).
Bahaya produk rokok terhadap lingkungan ini lanjut Lisda telah disebutkan dengan jelas pada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 113 UU Kesehatan disebutkan bahwa zat adiktif yang meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Karena itu harus dilakukan pengamanan penggunaannya agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Dalam peraturan lainnya yakni UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, jelas Lisda, rokok merupakan salah satu barang yang dikenai cukai, karena dikategorikan barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
Menurut Lisda, proses perusakan ekosistem lingkungan yang diakibatkan oleh rokok terjadi disemua fase, mulai dari proses pembukaan lahan, pengasapan daun tembakau, penggunaan agrokimia, pemakaian plastik dan bahan kimia hingga pembuangan limbah rokok (puntung rokok). Pada fase awal, produksi rokok telah mengakibatkan 5% penggundulan hutan global (sampai dengan 30% penggundulan hutan di negara penanam tembakau) dan kerusakan 200.000 hektar biomassa kayu setiap tahunnya.
Menyalakan api dari kayu bakar, yang diambil dari hutan tetangga, untuk “mengasapi” daun tembakau, sehingga mengakibatkan erosi tanah dan habisnya sumberdaya kayu. Penebangan pohon, termasuk pohon karet dan pohon asli, yang menyebabkan penggundulan hutan sekaligus pengalihan aliran air setempat, dari perenial (sepanjang tahun secara alami) menjadi musiman, sehingga mengakibatkan kelangkaan air.
Penggunaan agrokimia menyebabkan keracunan dan polusi air, dibuktikan dengan ditemukannya residu agrokimia di badan air yang berdekatan dengan komunitas perkebunan tembakau, yang menyebabkan dampak kerugian amat parah terhadap sistem hidrologi dan endapan di lahan basah, wilayah riparian (daratan yang mengelilingi aliran air), dan tebing-tebing curam.
“Tembakau termasuk salah satu dari 10 tanaman budi daya yang paling banyak membutuhkan pupuk. Dan salah satu dari sekian banyak pestisida yang digunakan adalah Chloropicrin, yang merupakan bahan beracun yang merusak paru-paru dan berhaya untuk ikan serta organisme lain,” jelasnya.
Lalu, pemakaian plastik dan bahan kimia dalam filter rokok sangat berpengaruh buruk terhadap biota laut dan kesehatan air. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa puntung rokok adalah benda yang paling banyak dibuang di seluruh muka bumi. Arsenik, timbal, dan etil fenol merembes dari puntung rokok ke badan air, sehingga merusak biota air dan kualitas air minum.
Pemantik rokok yang biasanya bersifat sekali pakai, juga membutuhkan plastik, logam dan gas butan yang berbahaya bagi lingkungan. Lalu rokok elektrik dan perlengkapannya menggunakan baterai dan bahan lain yang berbahaya dan tidak terbio-degradasi.
Desain rokok anti-padam juga telah menjadi penyebab utama kebakaran tak disengaja, termasuk kebakaran hutan. Sekitar -8-10% kebakaran di US disebabkan oleh rokok.
Fakta lainnya adalah bahwa konsumsi rokok mengakibatkan 4,5 triliun puntung rokok dibuang setiap tahun di seluruh dunia, yang menyumbangkan 766 juta ton sampah beracun setiap tahun. Selain itu terdapat sekitar 2 juta ton limbah padat dari kardus dan kemasan rokok, munculnya materi partikulat dalam ruangan dengan konsentrasi 10 kali lipat dari asap mobil diesel.
“Fakta juga membuktikan bahwa 19 hingga 38 persen sampah yang dikumpulkan dari pembersihan laut secara global berasal dari puntung rokok,” lanjut Lisda.
Belum lagi adanya praktik penebangan pohon yang setiap tahunnya diperkirakan tidak kurang dari 9 juta batang pohon untuk memproduksi korek api guna mendukung pembakaran rokok.
Eka Chlara Budiarti, Peneliti Senior Ecoton Indonesia dalam paparannya menyebutkan kandungan zat kimia yang ada dalam rokok mulai dari carbon monoksida, tar, cadmium, ammonia, acetone dan lainnya sangat berbahaya tidak hanya bagi kesehatan manusia tetapi juga kelestarian lingkungan. Data menyebutkan dalam setahun, terdapat 5,6 triliun puntung rokok dibuang di dunia termasuk 7.800 ton bahan kimia yang terkandung pada rokok.
“Satu puntung rokok, bisa meracuni 1000 liter air, dan menghasilkan 100 microfiber per hari,” jelas Chlara.
Adapun dampak lingkungan dari sampah puntung rokok antara lain mengganggu rantai pasok makanan, menyumbat saluran drainase maupun pipa industri, masuk ke dalam siklus hidrologi, menjadi vector penyebar zat toksit rokok dan lingkungan serta menjadi penyebar penyakit.
Menurut Chlara, ada dua jalur masuknya mikrolastik ke dalam tubuh. Pertama melalui saluran pencernaan, dimana mikroplastik yang berasal dari rokok dapat melewati saluran pencernaan yang berawal dari kerongkongan. Kedua, melalui saluran pernafasan dimana mikroplastik yang terbentuk akan masuk ke dalam saluran pernafasan dan mengendap di alveolus paru-paru yang bisa mengiritasi sel paru-paru.
Dampak dari mikroplastik bagi kesehatan antara lain peradangan akut, pemicu kanker, menginfeksi tubuh, menurunkan kualitas dan kuantitas sel sperma, pubertas dini dan menopause dini.
Praktik pro lingkungan dan solusi palsu
Perusahaan rokok transnasional ditengarai sebagai salah satu penghasil polusi terburuk di dunia tetapi, mereka justru memamerkan praktik-praktik pro lingkungan, penghargaan dari komunitas bisnis dan hasil audit rantai pasokan atau bidang-bidang yang dianggap patuh terhadap aturan.Industri rokok menerapkan strategi humas untuk mengalihkan perhatian publik dari dampak sejati kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, mengaburkan solusi yang sebenarnya, menghambat strategi diversifikasi, menenggelamkan suara para pemangku kepentingan, dan mengalihkan kesalahan kepada konsumen serta menghindari tanggung-jawab.
Melalui kedok kegiatan bakti sosialnya (CSR), perusahaan rokok berusaha memberi kesan bahwa mereka bekerja sama dengan komunitas bisnis untuk mendukung upaya tertentu, sehingga mengalihkan perhatian publik dari fakta bahwa produksi tembakau tidak sama dengan bisnis lain – produk tembakau bersifat unik karena sama sekali tidak memberikan manfaat kesehatan atau sosial apapun, membunuh 8 juta orang setiap tahun dan menimbulkan beban ekonomi sebesar 1,4 triliun dolar AS setiap tahun.
Publisitas terhadap kegiatan CSR, selain melanggar larangan sponsor rokok di seluruh dunia, juga menimbulkan kesan palsu bahwa industri rokok dapat dipercaya untuk secara sukarela melaksanakan praktik-praktik taat asas di sepanjang rantai pasokannya,ketika World Health Organization
Program CSR perusahaan rokok dalam bidang lingkungan seperti penanaman pohon, pembersihan pantai,dll, telah terekspos sebagai kedok pengalihan perhatian dari masalah sebenarnya – terus memproduksi produk berbahaya, gagal bertanggung-jawab terhadap produk mereka selama siklus produk, mempertahankan harga rendah rokok, menolak memberikan daya tawar kepada pekerja dan mendorong perluasan ke lahan yang lebih subur dan penggunaan agrokimia beracun.
Praktik lingkungan hijau dengan cara mendaur ulang sampah rokok baik kemasan maupun puntung rokok disebutkan Rahyang Nusantara, Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik sebagai solusi palsu yang ditawarkan oleh indutri rokok.
“Mereka ingin mengesankan bahwa sampah rokok masih bisa dimanfaatkan dan tidak selamanya berbahaya,” papar Rahyang.
Ia mengingatkan bahwa rokok dapat menghasilkan sampah plastik, sampah elektronik dan sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Karena itu solusi-solusi mendaur ulang sampah rokok yang didukung industri rokok menurutnya adalah solusi semu. “Daur ulang sampah rokok hanya menunda menjadi sampah dan mengumpulkan mikroplastik,” jelasnya.
Baginya, solusi yang paling tepat adalah mencegah sejak awal angka konsumsi rokok baik konvensional maupun elektronik, dengan cara pelarangan dan penegakan hukum. Selain itu, dibutuhkan manajemen sampah rokok elektrik yang khusus dan kompleks untuk menghindari dampak lingkungan yang semakin parah dari sampah tersebut untuk sampah rokok yang ada saat ini.
“Industri rokok harus bertanggung jawab atas sampah produk rokok elektriknya, ratusan ribu pon limbah rokok elektrik dapat menjadi ancaman serius bagi ekosistem dan memerlukan solusi jangka panjang untuk menanganinya. Industri tembakau perlu memberikan edukasi serta memfasilitasi pembuangan produk mereka yang aman bagi lingkungan (Extended Producer Responsibility),” tambahnya.
Ia mengingatkan agar masyarakat harus semakin aware terhadap solusi palsu yang ditawarkan industri tembakau terutama greenwashing yang menjual citra bahwa mereka “pro lingkungan”. Padahal nyatanya “aksi hijau” yang mereka lakukan tidak mengatasi masalah lingkungan yang disebabkan oleh industri tembakau itu sendiri. Dampak toksisitas lingkungan dan bahaya yang ditimbulkan oleh membuang limbah rokok elektrik ke tempat pembuangan sampah dan mendorong vapers untuk berhenti adalah cara terbaik untuk melindungi lingkungan dari limbah dan sampah produk tembakau.
Pada kesempatan yang sama, Andy Bahari, Co-Leader World Clean-up Day Indonesia mengakui bahwa sampai saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap puntung rokok sebagai sampah organic. Padahal selain mengandung zat kimia berbahaya, puntung rokok juga mengandung partikel plastik yang sangat berbahaya bagi kesehatan. “Kegiatan pemilahan sampah harus lebih didorong lagi, dimulai dari skala rumah tangga,” tegasnya.
Lisda Sundari menegaskan bahwa rokok memberikan beban ganda bagi sektor kesehatan nasional (triple burden). Penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh rokok telah menghabiskan biaya pengobatan berkisar antara Rp 17,9 triliun – Rp 27,7 triliun setahun.
Lalu rokok juga menimbulkan biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif karena penyakit yang disebabkan merokok menyebabkan tidak produktif. Survei Balitbangkes tahun 2017, diestimasi konsekuensinya sebesar Rp 374 triliun di tahun 2015
“Dan beban selanjutnya adalah bahwa pengeluaran keluarga miskin nomor dua ternyata untuk belanja rokok (12,2%) setelah padi-padian (20,2%). Ini adalah hasil survei BPS 2020. Fakta ini mengancam tumbuh kembang dan keberlanjutan pendidikan anak keluarga misksin,” tutup Lisda.
Karena itu Lentera Anak mendesak pemerintah Indonesia segera meratifikasi perjanjian FCTC sebagai instrumen hukum internasional untuk mengatasi global epidemi tembakau.