31.2 C
Jakarta

Menjadi Guru Besar UHAMKA, Prof Nani Soroti Sastra untuk Atasi Kekerasan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Sastra tidak semata produk seni yang bisa menghibur penikmatnya. Sastra sejatinya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai persoalan termasuk kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat.

Konsep itulah yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Hj. Nani Solihati, M.Pd, dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) untuk mengatasi berbagai kasus kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat saat ini melalui Orasi ilmiah berjudul Reposisi Sastra Dalam Pembentukan Karakter Manusia Indonesia. Orasi  yang dibacakan pada Sidang Senat Terbuka UHAMKA tersebut mengantar Prof. Nani Solihati sebagai guru besar ke-16 UHAMKA.

Dalam sambutannya, Rektor UHAMKA Prof. Gunawan Suryoputro mengatakan  menjadi guru besar merupakan pencapaian gelar akademik tertinggi yang menjadi impian semua dosen. Tetapi untuk mencapainya membutuhkan perjuangan yang tidak mudah.

“Prof. Nani saja membutuhkan waktu 24 tahun untuk mencapai gelar akademik tertinggi ini,” kata Rektor, Sabtu (15/12).

Meski tidak mudah, UHAMKA lanjut Rektor tetap mendorong semua dosen untuk berjuang mencapai gelar akademik tertinggi tersebut. Dengan berbagai kemudahan yang diberikan oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, diyakini bahwa akan lebih banyak lagi guru besar lahir dari UHAMKA.

“Dari 583 dosen yang dimiliki UHAMKA, baru ada 16 profesor. Jadi masih sedikit,” tegas Rektor.

Senada dengan Rektor, Perwakilan Majelis Litbang Dikti PP Muhammadiyah Prof Suyanto mengingatkan bahwa jumlah profesor yang dimiliki oleh perguruan tinggi akan menjadi poin penilaian penting dalam akreditasi perguruan tinggi. Karena itu ia mendorong UHAMKA dan PT Muhammadiyah lainnya untuk berpacu memperbanyak jumlah guru besarnya.

Prof Suyanto mengatakan saat ini Indonesia mengalami krisis guru besar. Dari jumlah guru besar yang dibutuhkan sebanyak 40 ribu, Indonesia baru memiliki 15 ribu guru besar.

“Saya mendorong UHAMKA untuk melahirkan lebih banyak lagi guru besar dari berbagai disiplin ilmu,” kata Prof Suyanto.

Diakui menjadi guru besar tidak mudah. Tugasnya tidak sekedar mengajar dan mempublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal internasional. Ke depan, pemerintah melalui Kemenristekdikti juga akan memberlakukan tunjangan kehormatan yang penilaiannya atas dasar berapa banyak karya ilmiah yang terpublikasi pada jurnal internasional dikutip oleh orang lain untuk menjadi dasar karya ilmiah.

“Jadi tidak sekedar mempublikasikan. Akan ada penilaian apakah karyanya dikutip orang lain atau tidak. Jika tidak maka tunjangan kehormatan bisa dicabut,” tambah Prof. Suyatno.

Terkait orasi ilmiahnya, Prof. Nani mengambil beberapa karya sastra untuk dijadikan gambaran bagaimana karakter manusia Indonesia saat ini. Karena itu Prof Nani mengambil sejumlah karya sastra berupa cerita pendek dengan berbagai ragam dan latar belakang cerita.

Dalam kesimpulannya, Prof Nani mengatakan bahwa manusia Indonesia saat ini memang berbeda dengan manusia Indonesia sebelumnya. Jika dahulu banyak mitos dan tradisi yang menjadi alat untuk membentuk karakter. Kini dengan logika berpikir manusia modern, mitos dan tradisi tersebut telah dianggap sesuatu yang pralogis.

Untuk itu Prof Nani menilai perlu usaha lain guna membentuk manusia Indonesia masa kini. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mereposisi sastra.

Karya sastra yang memiliki fungsi edukatif dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan karakter, Peserta didik dapat diolah pikir dan olah rasa melalui pertanyaan stimulus atas teks sastra yang dibacanya.

“Dengan cara itu, pendidikan karakter menjadi lebih diingat dan tertanam di jiwa peserta didik,” tutupnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!