JAKARTA, MENARA62.COM – Kontribusi nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi masih rendah. Padahal hampir semua bidang pembangunan membutuhkan sentuhan iptek.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo saat membuka Focus Group Discusion (FGD) ke-2 bertema Pembangunan Ranah Material-Teknological (Tata Sejahtera), yang digelar Aliansi Kebangsaan, Jumat (13/9/2019).
“Tidak ada negara yang bisa makmur berkelanjutan hanya semata-mata mengandalkan kekayaan sumber daya alam, termasuk Indonesia,” kata Pontjo.
Sebab lanjut Pontjo daya sintas kemakmuran suatu bangsa akan jauh lebih terjamin dengan lebih mengandalkan sumberdaya kecerdasan. Dan itu sudah dibuktikan oleh banyak negara maju di dunia.
Selama pemanfaatan iptek dan inovasi rendah, menurutnya, maka sulit bagi Indonesia untuk bisa menuju tingkat kemajuan yang signifikan.
Mengutip pandangan Presiden Soekarno, ciri perekonomian terjajah itu setidaknya ada tiga hal. Pertama negara tersebut dijadikan sumber bahan baku murah oleh Negara industri kapitalis. Kedua negara tersebut dijadikan sebagai pasar untuk menjual produk-produk hasil industry Negara-negara industry kapitalis. Dan ketiga negara tersebut dijadikan tempat memutar kelebihan capital dari negara-negara industry maju.
BACA JUGA:
- Pontjo Sutowo Ingatkan Jangan Habiskan Energi untuk Pemilu
- Lahirkan Kemenangan Semu, Sistem Demokrasi di Indonesia Perlu Ditinjau Ulang
“Ternyata situasi perekonomian Indonesia hari ini belum banyak beranjak dari gambaran seperti itu,” tambah Pontjo.
Fakta lain adalah keluhan Presiden yang disampaikan dalam berbagai pidatonya terkait hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala deindustrialisasi, defisit anggaran perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan menengah dan jebakan ekonomi ekstraktif. Sayangnya nyaris taka da perhatian politik dan kebijakan strategis untuk melakukan transformasi perekonomian serta prioritas pengembangan industry.
Menurut Pontjo, untuk melepaskan diri dari situasi yang tidak menguntungkan tersebut, Indonesia harus mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional dan manufaktur konvensional menuju perekonomian berbasis pengetahuan dan teknologi (knowledge economy). Dan untuk mengubahnya, arah kebijakan pengembangannya bisa belajar dari bangsa lain, walau tentu tidak perlu sama.
“Cukup dengan memberi nilai tambah terhadap kekhasan potensi yang dimiliki kita,” jelasnya.
Pontjo mencontohkan bagaimana peran iptek dalam berbagai lini pembangunan amat diperlukan. Lautan Indonesia yang luas membutuhkan sentuhan pengembangan teknologi dan industry kemaritiman, tanah yang subur membutuhkan bioteknologi dan agroindustry, tanaman pangan yang beragam perlu rekayasa teknologi pangan dan industry pengolahan.
Begitu pula dengan kekayaan mineral, menanti teknologi pertambahan dan teknologi material. Negeri yang indah perlu teknologi dan industry pariwisata, jiwa estetika yang kuat perlu teknologi dan industry kesenian, sumber energy terbarukan membutuhkan pengembangan teknologi dan industry energy alternative. Pun kekayaan keanekaragaman tanaman obat menunggu pengembangan teknologi dan insutri farmasi.
Untuk mengatasi problem tersebut, Pontjo menilai pentingnya penguatan lembaga pendidikan dan lembaga riset untuk menghasilkan riset-riset yang memang banyak dibutuhkan oleh dunia usaha dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, riset di Indonesia terlalu memusat pada lembaga riset negara sehingga kurang ada terobosan untuk membawa aktivitas dan hasil riset ke jantung masyarakat.
Menurut Pontjo, riset harus menjadi bagian organic dari dunia usaha. Pengembangannya bukan ditempuh dengan menambah terus lembaga riset negara tetapi harus mendorong pembudayaan riset-inovasi di dunia usaha dengan berbagai kerangka kebijakan fiscal seperti insentif pajak dan permodalan.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. Yos Johan Utama mengakui hasil riset di Indonesia belum banyak dimanfaatkan oleh dunia industry. Padahal biaya riset yang dikeluarkan baik oleh perguruan tinggi maupun lembaga riset jumlahnya cukup besar, berkisar antara Rp40 triliun hingga Rp45 triliun per tahun.
“Saya mencontohkan Universitas Diponegoro, anggaran riset menghabiskan sekitar Rp132 miliar per tahun. Dengan jumlah perguruan tinggi mencapai 4700, maka bisa dibayangkan betapa besarnya biaya riset yang sudah dikeluarkan, bisa mencapai Rp40 triliun hingga Rp45 triliun pertahun. Lalu mana hasilnya?,” tanya Yos Johan.
Diakui Yos Johan, untuk menjadikan hasil riset masuk dalam tahapan fabrikasi, dimanfaatkan oleh dunia industri bukanlah masalah gampang. Banyak persoalan yang dihadapi, seperti banyaknya riset yang sifatnya pengulangan, obyek riset kurang membumi, dan lainnya.
Belum lagi persoalan yang dihadapi para peneliti di lapangan. Hingga kini para peneliti masih disibukkan dengan pelaporan yang sifatnya administrative seperti penggunaan atau alokasi anggaran penelitian. Masalah tersebut menjadikan peneliti kurang focus pada kegiatan risetnya.
“Memang ada upaya memangkas birokrasi, tetapi implementasinya belum. Kementerian keuangan masih mewajibkan hal-hal yang sifatnya administrative pada para dosen dan peneliti saat menggunakan anggaran penelitian dari Negara,” jelasnya.
Belum lagi kewajiban perguruan tinggi merawat paten yang didapat. Satu hak paten, biaya perawatannya sekitar Rp5 juta. Jika satu perguruan tinggi memiliki paten 200, maka biaya pemeliharaan paten tentu sangat besar dan membebani perguruan tinggi.
Berbagai persoalan tersebut lanjut Yos Johan harus segera diselesaikan. Indonesia harus memiliki garis nyata untuk menjadi pedoman pembangunan yang berbasis pemanfaatkan teknologi dan hasil riset.
“Pendek kata jangan kita terjatuh karena sarung sendiri. Harus ada orang yang berani membuka dan membuat lompatan. Karena waktu strategis kita semakin habis,” tutupnya.
FGD tersebut menghadirkan sejumlah pembicara seperti Tri Mumpuni Wiyatno, pejuang mikrohidro, Dr. Ir. Satryo S Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Didik Darmanto, Prof Firmanzah, Ir Abraham Mose, Nurhayati Subakat, Prof. Akmaloka dan lainnya.