27.1 C
Jakarta

Piyo

Baca Juga:

Langit cerah menghias Kota Palu. Kota lembah yang dikelilingi perbukitan ini, seperti biasa diumumkan pramugari menjelang pesawat mendarat, selalu panas, rerata 33 derajat celcius. Piyo merapikan tas pinggang dan ranselnya, berdiri di lorong bersiap melangkah keluar ketika pintu terbuka. Kaca mata hitamnya dibiarkan bertengger di atas kepala, siap diturunkan begitu pancaran matahari menerobos kelopak matanya. Walau akan bermandi terik, hatinya bertaburan bunga. Ini kali pertama lagi ia akan menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, setelah dua puluh tahun dilarang pulang.

“Bapak tak mau kamu belajar setengah-setengah,” pesan Bapaknya berulang kali tiap kali menjenguk dan menyemangati Piyo di perantaun. Keinginan itu Bapak lengkapi dengan janji bahwa Piyo cukup mengirim pesan melalui email atau whatsapp atas setiap apapun yang dibutuhkannya di perantauan. Uang seberapapun banyaknya yang diminta, pasti akan ditransfer Bapak.

Ini juga yang membuat Piyo sumringah, bahwa sebentar lagi ia akan tahu apa yang membuat Bapaknya bisa begitu kaya. Seperti punya pohon duit. Berapapun yang diminta, sepanjang ia dapat mengaitkan kegunaan uang-uang itu untuk kebutuhan sekolah, Bapak langsung mengabulkan. Bayar kos, beli buku, foto copy, les bahasa Inggris, bahkan sekadar nongkrong-nongkrong di warung kopi bersama teman-teman sekolahnya meskipun dengan alasan yang dihubung-hubungkan: mengerjakan tugas sekolah, misalnya.

Dan, memang. Semenjak sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama di Makassar, Piyo yang sudah tinggal berjauhan dengan Bapak tak pernah kesulitan uang. Saban ia masuk ke bilik ATM, di rekeningnya selalu tersedia rupiah yang tak sedikit jumlahnya. Begitu juga ketika ia menyelesaikan tugas-tugas belajar di tingkat SMA, lalu jenjang universitas ternama di Jakarta, tak pernah ada yang tidak bisa ia bayar. Termasuk membayar harga tiket pesawat kelas eksekutif yang nilainya dua kali lipat kelas bisnis untuk mengongkosinya balik ke Palu selepas wisuda kemarin.

Ia akan tanyakan langsung, mengapa bapak bisa demikian kaya raya.

***

Pantai-pantai tampak indah. Dari jalur perbukitan yang kadang menghadap ke laut lepas, Piyo dapat menyaksikan deburan ombak yang seolah berkejar-kejaran. Meskipun tidak seperti di Bali yang ramai dengan turis domestik maupun wisatawan mancanegara, ia yakin alam telah menyediakan begitu banyak sumber penghasilan bagi penduduk di sekitarnya. Sebagai nelayan, misalnya. Seperti keramba-keramba yang ia perhatikan banyak terapung di lautan.

“Kita langsung ke rumah, mas?” tanya driver yang menjemput Piyo. “Tadi bapak pesan, kalau mas Piyo mau makan siang, ada restoran ikan segar favorit Bapak yang bisa kita singgahi di tengah perjalanan.”

Piyo berpikir sejenak. Ia merasai lambungnya yang belum terlalu lapar. Selain ingin segera cepat sampai ke rumah, matanya asyik menikmati panorama sepanjang jalan. Tentang lautan yang membiru, perbukitan, jalan berkelok dengan pepohonan di kiri kanan yang kedua ujungnya saling menyatu membentuk terowongan, tentang sapi-sapi penduduk yang dilepas berkeliaran di tanah-tanah lapang.

Juga tentang pohon kelapa dengan batangnya yang tinggi-tinggi dan hamparan perkebunan sawit yang banyak ditanami masyarakat sekitar.

“Pasti beda dengan di kota ya mas?” kata Sauri memecah lamunan Piyo. “Enak mana, di kota atau di pelosok begini?” Sambungnya.

“Ahahaa.. belum tahu, Pak Sauri. Yang pasti sekarang saya masih terheran-heran. Kenapa orang kita lebih banyak yang merasa senang tinggal di kota. Padahal di sana mereka tinggal di rumah yang berdesak-desakan. Tidak seperti di pelosok seperti ini, masih banyak lahan yang bisa digarap. Kan, keunggulan negara kita memang di sektor agraria.”

“Wah, Mas Piyo ini persis seperti pikiran Bapak,” Sauri menyambar.

“Bapak juga sering cerita soal teman-temannya dulu sesama transmigran. Bapak kadang suka kasihan mengingat nasib teman-temannya itu.”

Topik yang satu ini rupanya menyedot perhatian Piyo. Ia memperbaiki posisi duduknya. Matanya sesekali diarahkan ke Sauri yang tengah memegang kemudi.

Sambil terus menyetir, Sauri menceritakan kembali apa yang pernah dituturkan Bapak saat-saat pertama menginjakkan kaki di Sulawesi. Transportasi dari Jawa belum semudah sekarang. Awal tahun 1980an, kebanyakan melalui laut. Jalur darat yang ada pun tidak semulus sekarang, dan waktu tempuhnya pun bisa memakan waktu seharian penuh.

“Mungkin, karena hidup yang keras itu, para transmigran teman-teman bapak itu banyak yang tidak tahan, lalu memilih balik ke kampung halaman di Jawa.”

“Bapak?”

“Ya, Bapak mas Piyo tetap bertahan.”

“Bapak sudah merasa bersyukur mengikuti program transmigrasi. Dengan bekal tanah seluas 2 hektar, ia nurut himbauan pemerintah. Disuruh nanam palawija, ya manut. Meskipun waktu itu hasilnya hanya cukup untuk lauk makan sehari-hari. Situasi itu berlangsung sampai sekitar tahun 1987. Sangat berat memang.”

Piyo akrab dengan tahun yang disebut Sauri. Sekitar tahun-tahun itulah ia lahir. Piyo kemudian menghitung dan mengaitkannya dengan periode pertama kali ia ditempatkan di perantauan. Persis. Di usia sekolah dasar, Bapak mengikhlaskan diri hidup berjauhan dengan dirinya, demi sebuah pendidikan.

“Jadi, Bapakku petani?”

“Lha iya, mas,” jawab Sauri. “Seperti transmigran-transmigran lain, keahlian Bapak kan memang bertani.”

Pertanyaan Piyo makin mengental. Ia ingin melihat dan bertanya langsung pada bapaknya. Petani seperti apakah bapaknya ini? Tanaman macam apa yang bisa menghasilkan keuntungan besar sehingga kesejahteraan keluarga, termasuk kebutuhan akan biaya pendidikan yang tidak sedikit bisa terpenuhi?

“Hari-hari gelap itu pelan-pelan berubah, mas,” lanjut Sauri.

“Memang benar, ya siapa yang bekerja keras, pasti akan menikmati kemudian hari. Siapa yang menanam bakal memetik hasilnya,” masih kata Sauri yang tetap bersemangat. “Apalagi, kalau yang ditanam adalah tanaman yang sangat mudah dirawat, ndak ngerepotin, dan hasilnya dibutuhkan oleh masyarakat. Bukan cuma masyarakat di Indonesia lho, tapi juga masyarakat di seluruh dunia.”

Roda mobil terus bergulir. Dari kota Palu, mereka sudah berkendara selama tiga jam. Sudah dua kabupaten mereka lewati, mulai dari Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah, hingga Kabupaten Pasangkayu di Sulawesi Barat yang merupakan provinsi termuda, dimekarkan dan dilepaskan dari Provinsi Sulawesi Selatan. Jika mereka terus melaju di atas jalur itu, mobil akan membawa mereka sampai di Makassar. Jalur yang mereka lintasi itu memang jalur trans Palu Makassar, jalur yang makin padat seiring pertumbuhan industri dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Hamparan-hamparan perkebunan kelapa sawit semakin banyak terlihat. Piyo kembali memperbaiki duduknya. Kaca mata hitamnya dilipat dan dimasukkan saku. Di sebuah kelokan, Sauri keluar jalan aspal, masuk ke kawasan perkampungan. Mobil yang dikemudikan Sauri memasuki jalan berbatu kecil. Lima belas menit kemudian, dua kali belok kanan, lalu belok kiri, Sauri menghentikan laju mobilnya tepat di depan sebuah bangunan bertingkat tiga.

“Kita sudah sampai, mas,” ujar Sauri yang langsung membuka pintu dan turun menuju pekarangan rumah.

“Pak,.. Bapak, ini Si Piyo sudah sampai rumah,” teriak Sauri sambil masuk ke dalam rumah tanpa menoleh ke Piyo yang masih di mobil terheran-heran dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Rumah besar, empat unit truk, dua unit mobil sedan dan satu unit motor trail tersusun rapi di depan rumah.

Bapak yang dipanggil-panggil Sauri tak kunjung keluar. Tak lama kemudian Sauri menghampiri Piyo lagi. “Bapak masih di kebun, katanya hari ini ada panen sawit yang masih harus dikirim ke pabrik milik perusahaan. Mas Piyo disuruh langsung masuk rumah saja.”

Piyo melangkahkah kaki ke dalam rumah. Dan ia merasa tak perlu lagi bertanya mengapa bapak bisa sedemikian kaya raya sekarang. (*)

Mochamad Husni, Jakarta, 28 Maret 2020

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!