Pengamat Media Sosial Rulli Nasrullah menyampaikan keprihatinannya bahwa teramat banyak perilaku tidak terpuji seperti perundungan siber (cyberbullying) di media sosial.
“Cyberbullying itu merupakan salah satu fenomena hitam di media sosial. Kenapa? Karena media sosial seolah-olah memberikan tempat kepada siapapun untuk melakukan tindakan kurang terpuji tersebut secara bebas,” kata dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini kepada Menara62.com, Selasa (05/05/2020).
Apalagi, tambahnya, perundungan siber itu dilakukan hanya demi konten dan menaikkan jumlah follower di media sosial. Dicontohkan olehnya bahwa kasus terkini yakni Youtuber asal Bandung yang membagi-bagikan sembako palsu menjadi bukti bahwa konten seolah-olah menjadi dewa dengan melupakan perasaan korban.
Youtuber Sampah
“Jelas bahwa konten sampah itu adalah teror sosial melalui teknologi,” tambahnya. Kemudian, dengan mengutip riset yang dilakukan oleh Kowalski tahun 2008, disebutkan bahwa teknologi internet termasuk kehadiran media sosial menjadi tempat yang subur bag aksi teror sosial tersebut.
Bagi lulusan program doktoral dari UGM ini, perundungan siber bisa dikatakan tidak sekadar memprihatinkan, namun membahayakan. Sebab, perundungan digital merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mempermalukan, mengintimidasi, menyebar keburukan dan kebencian di media siber. Baik itu dilakukan khusus kepada korban atau melalui unggahan konten yang diketahui oleh publik.
Berbeda dengan dunia offline dimana perundungan terjadi karena adanya kontak fisik maupu interaksi antara pelaku dan korban. Di media sosial interaksi terjadi hanya sekadar teks. Artinya, pelaku perundungan bisa bebas meluapkan hal-hal yang menurutnya benar dan dipublikasikan di media sosial.
“Sekali lagi, perundungan siber ini semakin diperparah ketika tindakan tersebut dijadikan alasan untuk konten,” katanya, “apapun alasan dari si pembuat konten, tetap saja konten yang dipublikasikan di saluran media sosial apabila menyakiti dan menimbulkan korban tetap merupakan tindakan yang tidak terpuji.”
Apalagi menjadi semakin mengkhawatirkan ketika pelaku perundungan masih mencari keuntungan dari tindakan tidak terpuji itu.
“Lihatlah Youtuber yang terkenal dengan ‘Youtuber Sampah’ itu, sudah tahu salah dan dihujat, eh, masih mengunggah konten bahwa ia akan menyerahkan diri ke polisi jika follower-nya mencapai 30K (30 ribu. red),” jelas Rulli, “jelas ini penyakit hitamnya media sosial.”
Rulli juga sangat heran bahwa banyak unggahan di media sosial yang tidak memikirkan dampak dan perasaan orang lain. Contoh lain adalah ketika beberapa artis menirukan pakaian artis lain dan diunggah di media sosial dengan alasan lucu-lucuan.
“Apapun alasannya, baik itu untuk lucu-lucuan, untuk mengingatkan, untuk hiburan, apalagi menyangkut anak-anak, tetap saja ini adalah perundungan siber,” tegasnya.
Cuitan Twitter Soal Putri AHY
Saat ditanya tentang adanya cuitan di Twitter yang menyoal tugas sekolah Almira Yudhoyono termasuk dalam perundungan?
“Kalau soal Putri AHY, Almira, saya pikir dalam konteks ini secara akademisi harus dilihat dahulu bahwa definisi perundungan itu adalah tindakan penghinaan, kekerasan psikis, atau intimidasi yang dilakukan kepada orang lain atau kelompok lain,” katanya diplomatis.
Dari sisi teks, lanjut penulis buku Media Sosial ini, pada dasarnya merupakan hal yang wajar dan biasa seseorang mengungkapkan opini dan pendapatnya. Apalagi semua komponen sedang belajar untuk melakukan demokrasi digital yang sehat dan dewasa.
Namun, “saat sebuah teks yang tidak lengkap diunggah di media sosial dan unggahan itu menyertakan foto yang jelas ada anak di bawah umur, hal tersebut sangat mengkhawatirkan. Karena jelas-jelas konten yang diunggah mengarah pada visual seseorang dan dalam konteks ini adalah seorang anak.”
Jika pun dikatakan tidak sebagai perundungan, lanjut dosen Magister Ilmu Komunikasi di berbagai perguruan tinggi ini, bisa jadi konten dengan visual foto tersebut akan memicu netizen atau para follower untuk melalukan perundungan. Di media sosial informasi atau teks seringkali terputus dan tidak lengkap menjelaskannya.
Ini yang mengkhawatirkan dan seringnya tindakan tidak terpuji di media sosial karena ada kekurangan teks sebagai penjelas dalam sebuah peristiwa, atau dalam konteks ini aktivitas dalam foto.
“Silahkan berdebat soal konten yang dicuitkan, namun alangkah lebih bijak agar tidak menyinggung atau membawa anak-anak dalam perdebatan itu,” tegasnya.
Kondisi ini menurut Rulli mesti menjadi perhatian semua pihak. Bahwa dengan alasan apapun seorang anak tidak boleh menjadi bahan “komoditas” di media sosial maupun di internet. Tak mengherankan apabila Youtube pada tahun lalu mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan regulasi monetisasi konten yang ada unsur anaknya. Ini sebagai upaya untuk tidak menjadikan anak sebagai “barang dagangan” maupun pekerja digital.
Secara garis besar, perilaku perundungan siber itu bisa berupa menyebarkan rumor, melakukan discredit pada pihak tertentu, melakukan penghinaan, melakukan tindakan rasis, melakukan kejahatan seperti hacking akun, hingga melalukan impersonate alias seolah-olah menjadi orang lain.
“Ketika ada teks atau visual yang mengarah kepada siapapun atau komunitas dan kelompok apapun tentu menjadi tindakan yang tidak terpuji. Apalagi, jika objek yang menjadi perundungan siber adalah visual seorang anak. Dihimbau untuk melindungi anak dari bahaya perundungan digital media sosial,” tutupnya.