25.8 C
Jakarta

Mengatasi Gangguan Jiwa Dengan Curhat

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM– Gangguan jiwa tak selamanya harus gila. Orang yang mengalami depresi, sesungguhnya juga sudah mengalami gangguan jiwa.

Karena itu depresi harus dikelola dengan baik. Jangan biarkan depresi berkepanjangan. Sebab depresi bisa mengganggu pekerjaan, memicu munculnya penyakit ikutan, membuat seseorang terisolasi bahkan bisa memicu penderita untuk mati bunuh diri.

Tetapi bagaimana mengelola depresi? Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, M Subuh menyebutkan bahwa depresi bukan hal yang sulit-sulit amat untuk diatasi.

“Semudah kita bercerita, semudah itu pula kita mengatasi depresi,” jelas Subuh di sela temu media Hari Kesehatan Jiwa Sedunia bertema Depresi: Yuk..Curhat, Kamis (06/04/2017).

Bercerita atau istilah gaulnya Curhat (curahan hati) secara psikologis mampu mengurangi beban yang menekan jiwa seseorang. Dengan cara demikian, maka gangguan jiwa atau depresi bisa berkurang.

Tetapi masalahnya adalah mencari orang yang bisa dijadikan tempat curhat. Karena bagi orang depresi, curhat adalah cara bagaimana masalahnya bisa didengar orang lain, dan tidak membutuhkan nasehat apalagi yang terkesan menyalahkan.

Subuh mengingatkan bahwa kesehatan jiwa memiliki kecenderungan meningkat kasusnya dari tahun ke tahun. WHO menggambarkan pada 1990 penyebab utama beban penyakit masih didominasi kasus-kasus infeksi pernafasan bawah, disusul diare, keadaan yang timbul pada periode perinatal dan depresi mayor unipolar. Data tersebut diperkirakan akan mengalami pergeseran dimana kasus depresi mayor unipolar akan menduduki peringkat kedua sebagai penyebab utama beban penyakit.

Di Indonesia, saat ini diprediksikan prevalensi gangguan jiwa mencapai 6 persen, dimana Sulawesi Tengah yang banyak dilanda konflik menduduki prevalensi tertinggi dengan 11,6 persen dan Lampung hanya 1,2 persen.

“Kasus bunuh diri juga meningkat. Data 2016 tercatat sekitar 8.500 kasus bunuh diri di Indonesia,” lanjut Subuh.

Sayangnya, kesehatan jiwa termasuk depresi belum mendapatkan perhatian banyak dari masyarakat luas. Kesehatan masih dilihat semata dari persoalan fisik, penyakit menular, kematian atau gizi. Kesehatan mental relatif masih  jarang dibicarakan. Padahal kesehatan, sesuai UU Kesehatan No 36 tahun 2009 meliputi sehat fisik, mental, sosial dan spiritual.

Menurut Subuh, gangguan kesehatan jiwa tidak bisa diabaikan. Karena imbas dari gangguan kesehatan jiwa tidak hanya menurunkan produktivitas penderita, membuat penderita terisolir, tetapi juga mempengaruhi keadaan sosial ekonomi penderita. Karena itu, masyarakat dihimbau tidak menyembunyikan para penderita kesehatan jiwa ini.

Penanganan lebih dini kasus gangguan jiwa akan membuat penderita bisa diselamatkan. Sebab jika gangguan jiwa sudah parah, maka seseorang akan mengalami apa yang disebut gila dan itu jauh lebih sulit penanganannya.

Sementara itu dr Jihan Tawilah, Perwakilan WHO Indonesia menyebutkan masalah kesehatan jiwa dan penyalahgunaan zat adiktif adalah salah satu penyumbang terbesar untuk beban regional dan global penyakit. Secara keseluruhan, hampir 14 persen dari beban global penyakit dikaitkan dengan gangguan ini.

Gangguan kesehatan jiwa itu sendiri tidak selamanya gila. Mereka yang mengalami depresi, juga dikategorikan sebagai gangguan kesehatan jiwa yang harus segera diatasi.

WHO’s Global Health Estimates tahun 2015 menunjukkan kasus bunuh diri atau menyakiti diri sendiri adalah penyebab paling umum kedua kematian, setelah kecelakaan di jalan raya untuk kelompok usia 15-29 tahun di wilayah Asia Tenggara.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!