JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo mengajak semua organisasi perempuan yang ada di Indonesia untuk bersama-sama mengawal lahirnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Keberadaan UU tersebut sangat penting dan strategis sebagai bagian dari upaya melindungi pekerja perempuan.
Data JALA PRT menunjukkan jumlah PRT di Indonesia sekitar 5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 84 persennya adalah kaum perempuan.
“Itu artinya kaum perempuan berkepentingan dengan UU PPRT. Jadi kami mengajak semua pihak baik masyarakat umum maupun organisasi perempuan untuk mengawal lahirnya UU ini,” kata Giwo dalam konferensi pers RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Menjelang Rapat Paripurna DPR RI yang digelar secara virtual Ahad (5/7/2020).
Diakui RUU PPRT sudah dibahas selama 16 tahun. Tetapi hingga kini tak kunjung disahkan menjadi UU PPRT dengan berbagai alasan.
Pada Rapat Baleg DPR RI tanggal 1 Juli 2020 menetapkan Draft RUU Perlindungan PRT diajukan ke Rapat Paripurna DPR RI Akhir Masa Sidang sekarang di pertengahan Juli 2020 untuk ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI. Rapat paripurna DPR RI tersebut harus dikawal betul agar RUU PPRT segera disahkan menjadi UU PPRT.
“RUU PPRT harus dikawal terus, jangan sampai didrop lagi seperti yang sudah-sudah. RUU ini harus jadi prioritas DPR RI,” lanjut Giwo.
Diakui Giwo, Kowani telah mempelajari draft dari RUU PPRT. Intinya, RUU tersebut layak dan tepat untuk segera disahkan menjadi UU. Karena materinya sudah tepat dan tidak ada yang saling bertentangan atau memberatkan pihak lain.
“Kami melihat ada keseimbangan antara hak dan kewajiban baik bagi pekerja maupun pemberi kerja. Misalnya saja soal gaji, dalam RUU tersebut disebutkan bahwa besaran gaji sesuai kesepakatan dua belah pihak, atas azas kekeluargaan, tidak UMR,” lanjut Giwo.
Contoh lainnya adalah ketika pekerja berniat mengundurkan diri, maka rencana tersebut harus disampaikan kepada pemberi kerja setidaknya sebulan sebelum waktunya. Dengan cara seperti ini, pemberi kerja memiliki waktu untuk menyiapkan gaji atau uang lainnya untuk pekerja.
Draft RUU tersebut juga memuat hak-hak pekerja rumah tangga seperti hak menjalankan ibadah, jam kerja-istirahat, cuti, upah, THR, dan jaminan sosial.
Diakui Giwo, selama menunggu RUU PPRT dibahas kembali oleh DPR RI, Kowani telah melakukan roadshow ke sejumlah daerah. Roadshow tersebut intinya meminta dukungan semua pihak agar masalah pekerja rumah tangga ini benar-benar mendapatkan perhatian pemerintah. Sebab pekerja asing yang bekerja di Indonesia saja, mendapatkan perlindungan dan hak-haknya diatur dalam UU.
“Dalam roadshow tersebut kami juga terus mencoba mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerja rumah tangga. Tabu bagi kami menyebutnya sebagai pembantu rumat tangga,” tukas Giwo.
Senada juga dikemukakan Lita Anggraini, Koordinator Nasional JALA PRT. Ia menyampaikan apresiasinya terkait langkah maju DPR RI melalui Baleg DPR RI dan Tim Panja RUU PPRT untuk membawa Draft RUU PPRT ke Rapat Paripurna DPR RI. Dengan nantinya Rapat Paripurna DPR RI menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR RI, maka pintu terbuka untuk jalan pembahasan bersama Pemerintah.
“Setelah Draft RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI berikutnya DPR akan mengirimkan RUU tersebut kepada pemerintah. Pemerintah kemudian mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan Surat Presiden (surpres) kepada DPR untuk memulai pembahasan bersama DPR,” jelas Lita.
Inisiatif DPR dan pembahasan bersama dengan Pemerintah ini lanjut Lita sudah ditunggu dan apabila terjadi hal tersebut, maka tahun 2020 menjadi pengharapan jalan untuk perubahan situasi PRT, untuk mewujudkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Hal ini yang terus dinantikan oleh PRT Indonesia, mengingat bahwa RUU PPRT ini sudah diajukan ke DPR sejak 2004 artinya sudah 16 tahun. RUU PPRT sudah berkali-kali menjadi bagian Prolegnas 4 kali periode DPR & Pemerintahan 2004-2009, 2009-2014, 2014-2020, 2020-2024. Pernah menjadi prioritas prolegnas 2010-2014. Artinya sudah 16 tahun perjalanan RUU PPRT.
Sementara itu, Mike Verawati, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia mengatakan UU Perlindungan PRT merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan situasi kerja warga negara yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. PRT juga bagian dari soko guru perekonomian lokal, nasional dan global. PRT adalah invisible hand yang selama ini membuat aktivitas publik di semua sektor berjalan.
Selama ini, fakta-fakta tentang PRT sangat memprihatinkan. Mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak, jam kerja panjang, beban kerja tidak terbatas, tidak ada kejelasan istirahat, libur mingguan, cuti, tidak ada jaminan sosial, ada larangan atau pembatasan bersosialisasi, berorganisasi. Situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan, PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, pekerja dan warga Negara. PRT terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan.
Komnas Perempuan mencatat dalam kurun 3 tahun terakhir dari Januari 2018 sampai dengan April 2020 tercatat 1458 kasus kekerasan PRT yang bisa dilaporkan dengan berbagai bentuk kekerasan, dari psikis, fisik, ekonomi dan seksual serta pelecehan terhadap status – profesinya. Kasus kekerasan tersebut termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar.
“Jumlah kasus tersebut adalah data yang kami himpun berdasar pengaduan dari pendampingan di lapangan. Sementara PRT yang bekerja di dalam rumah tangga, tidak ada kontrol dan akses melapor dan bantuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini
Di samping itu, dari survei Jaminan Sosial JALA PRT tahun 2019 terhadap 4.296 PRT yang diorganisir di 6 kota: 89% (3823) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan atau menjadi peserta JKN KIS. Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit termasuk dengan cara berhutang, termasuk berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji.
Meskipun ada Program Penerima Bantuan Iuran (KIS) namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Demikian pula untuk PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan KTP wilayah asal juga kesulitan untuk mengakses Jaminan Kesehatan baik dari akses Jaminan ataupun layanan.
Di samping itu 99% (4253) PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Ketenagakerjaan. PRT tidak ada akses untuk mendapatkan social safety net. Sebagaimana contoh kasus dalam masa Pandemi Covid-19 sebagai Pekerja, PRT tidak terdaftar. Sebagai warga miskin, dan urban PRT tidak terdaftar pula. Sementara keberadaan dan peran ekonomi PRT sangat besar, sangat dibutuhkan.
“Dalam masa pandemi, bagi PRT tidak ada pilihan karena PRT tidak tergolong sebagai pekerja yang bisa Work from Home, kecuali PRT harus bekerja dengan berbagai resiko. Apabila tidak bekerja, tidak ada bantuan dari pemerintah, PRT mengalami krisis pangan, papan,” tutupnya.