26.7 C
Jakarta

Amandeman UU Perkawinan Bukan Solusi Tepat Minimalisir Pernikahan Usia Anak

Baca Juga:

JAKARTA – Menikah usia anak kini makin banyak kasusnya. Terakhir di Kalimantan Selatan, dimana dua bocah yang masih duduk di SMP hendak melangsungkan pernikahannya.

Meski akhirnya bisa ditunda, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, bukan berarti persoalan menikah diusia anak-anak selesai.

“Negara bisa menundanya, membatalkannya melalui KUA atau catatan sipil pernikahan. Tetapi banyak diantaranya yang kemudian menikah siri dan itu sah secara agama,” kata Yohana, saat menyampaikan keynote speaker pada diskusi publik dengan media bertema Perkawinan Usia Anak, Senin (6/8).

Hadir sebagai narasumber  Cendekiawan Muslim Nasaruddin Umar, Psikolog Anak Novita Tandry dan Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KPP dan PA.

Menurutnya fenomena menikah usia anak ibarat gunung es, yang muncul dipermukaan hanya sedikit, tetapi fakta dilapangan amat banyak.

Yohana mengaku seperti dibenturkan dengan dua Undang-Undang berbeda. Satu sisi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan perempuan berusia 16 tahun untuk menikah. Tetapi disisi lain UU Perlindungan Anak nomor 23 Tahun 2004 menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia kurang atau sama dengan 18 tahun.

“Jadi kalau menikah dengan tolok ukur usia sesuai UU Perkawinan, maka sesungguhnya sama saja itu menikah di usia anak-anak,” katanya.

Terlepas dari dua UU yang berbeda tersebut, Yohana mengingatkan bahwa menikah tidak sekedar mengikat dua insan berbeda jenis kelamin dalam satu janji suci. Menikah juga harus dibarengi dengan kesiapan baik secara psikis,psikologi dan biologi.

Usia anak-anak, terutama pada perempuan, menurut Yohana sesungguhnya belum  mencapai kondisi fisik yang matang.  “Alat reproduksi belum siap, rahim, juga ukuran pinggul belum siap untuk melahirkan sebagai konsekuensi perkawinan yang tentu saja akan memiliki bayi,” katanya.

Karena itu wajar saja ketika persoalan menikah di usia anak-anak belum bisa diselesaikan, maka angka kematian ibu melahirkan juga bayi lahir di Indonesia masih amat tinggi. Karena melahirkan di usia yang belum matang memang memiliki risiko 4,5 kali kehamilan bermasalah, janin lahir dengan masalah serta ancaman stunting pada anak.

Kementerian PP dan PA lanjut Yohana terus mendorong agar setiap perempuan menikah minimal diusia matang yakni 20 tahun. Untuk itu pihaknya menggandeng berbagai pihak termasuk media massa untuk mengkampanyekan pentingnya menikah di usia yang sudah matang.

Sementara itu Mantan Nasarudin Umar mengatakan sesungguhnya persoalan UU No 1 Tahun 1974 sudah banyak digugat untuk direvisi terutama oleh kalangan pegiat perempuan dan anak. Tetapi amandemen pasal-pasal dalam UU tersebut tentu tidak mudah.

“Yang pasti akan terjadi gejolak, para ulama pasti angkat bicara. Karena menikah di usia 16 tahun memang tidak dilarang dalam agama, selama perempuan sudah mengalami menstruasi,” jelasnya.

Karena itu Nasaruddin menilai lebih bijak melakukan intervensi melalui kebijakan dilini lembaga pemerintah. Misalnya dengan meminta setiap KUA memberikan syarat yang lebih ketat pada setiap permohonan perkawinan, si mempelai tidak lagi sekolah, atau yang lainnya.

Kebijakan intervensi melalui KUA ini diakui pernah dilakukan saat dirinya menjabat sebagai Wamenag. Hasilnya, 3/4  kasus perkawinan dini bisa dibatalkan.

Menjadi masalah ketika perkawinan usia anak dilakukan pada kasus ‘kecelakaan’. Si anak hamil sebelum nikah, maka mau tidak mau, orangtua harus menikahkan keduanya untuk menyelamatkan agama dan budaya.

Nasaruddin mengatakan tantangan untuk menekan kasus anak menikah diusia anak ke depan akan semakin berat. Karena pemerintah telah mengambil kebijakan melarang setiap tindakan aborsi. Sementara disisi lain free seks akibat pergaulan bebas makin merajalela.

Menurut Nasaruddin untuk mengeliminir kasus perkawinan usia anak, bisa dilakukan dengan berbagai cara tanpa harus mengamandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Sebab mengamandemen UU Perkawinan dipastikan akan mendapatkan banyak perlawanan.

“Pemerintah bisa membuat surat edaran ke semua KUA terkait syarat perkawinan yang diperketat. Itu satu contoh,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan jika UU Perkawinan diamandemen, bisa jadi UU lainnya juga akan ikut-ikutan digugat untuk diamandemenkan.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!