SOLO,MENARA62.COM – Sistem pembayaran digital nasional QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) kembali menjadi sorotan internasional setelah Amerika Serikat mengkritik kebijakan Bank Indonesia yang mewajibkan seluruh penyedia layanan pembayaran di Indonesia, termasuk perusahaan asing, untuk mengadopsi sistem QRIS. Kritik tersebut disampaikan dalam laporan Special 301 Report oleh USTR (United States Trade Representative), yang menganggap kebijakan ini menghambat akses perusahaan besar seperti Visa dan Mastercard ke pasar Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menilai protes AS tersebut menunjukkan ketakutan terhadap kemajuan Indonesia dalam menguasai ekosistem digital. “Kritik ini tidak hanya soal sistem pembayaran, tetapi lebih pada usaha Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing yang menguasai pasar pembayaran digital dunia,” ungkap Anton.
QRIS yang diluncurkan oleh Bank Indonesia pada 2019 ditujukan untuk menciptakan sistem pembayaran yang terintegrasi antar berbagai penyedia layanan digital di Indonesia. Sistem ini dirancang agar transaksi menjadi lebih efisien, transparan, dan inklusif, terutama bagi masyarakat umum serta pelaku UMKM. QRIS ini juga membawa banyak manfaat, khususnya bagi sektor ekonomi mikro dan kecil yang sebelumnya mengalami kesulitan dalam mengakses sistem pembayaran digital yang lebih luas.
Pakar Ekonomi UMS menilai bahwa protes Amerika Serikat terhadap QRIS mencerminkan kekhawatiran terhadap potensi Indonesia dalam mendominasi ekosistem pembayaran digital di kawasan Asia Tenggara. Meski pihak AS menyebut kebijakan Bank Indonesia sebagai penghambat kompetisi dan berpotensi merugikan perusahaan asing, ia mengungkapkan bahwa langkah tersebut justru merupakan strategi penting untuk memperkuat fondasi ekonomi digital nasional.
“Kritik ini mencerminkan kekhawatiran negara-negara besar terhadap kebangkitan negara-negara berkembang yang mulai memiliki sistem pembayaran yang dapat mengurangi ketergantungan pada infrastruktur internasional, ini bukan proteksionisme, melainkan upaya untuk meningkatkan inklusi keuangan dan memberikan lebih banyak kesempatan kepada pelaku ekonomi lokal untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital,” ujarnya.
Kritik AS yang menyebutkan ketidakadilan terhadap perusahaan asing seperti Visa dan Mastercard mencerminkan ketegangan antara globalisasi ekonomi dan upaya negara-negara berkembang untuk memperkuat kedaulatan ekonomi mereka. Ia melihat ini sebagai tanda bahwa Indonesia sedang mengambil langkah berani dalam mengatur ekosistem pembayaran digital di dalam negeri.
“Selama ini, banyak negara berkembang yang terjebak dalam ketergantungan terhadap sistem pembayaran internasional yang tidak selalu berpihak pada kepentingan ekonomi domestik. QRIS memberikan ruang bagi Indonesia untuk merancang sistem yang lebih sesuai dengan kebutuhan nasional, tanpa harus tergantung pada perusahaan asing,” jelas Guru Besar UMS itu.
Salah satu poin yang sangat ditekankan adalah pentingnya kemandirian dalam mengelola data transaksi digital. “Dengan adanya QRIS, Indonesia mulai memiliki kontrol yang lebih besar terhadap data transaksi dan arus uang yang terjadi di dalam negeri. Ini adalah langkah penting untuk menjaga keamanan data dan mengurangi risiko kebocoran data ke pihak luar yang tidak terkontrol,” tambahnya.
Menurut Anton, sistem pembayaran digital berbasis QRIS tidak hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga membuka akses yang lebih luas bagi pelaku UMKM. Ia menilai bahwa banyak pelaku usaha kecil merasa terbantu karena biaya transaksi melalui QRIS jauh lebih rendah dibandingkan sistem pembayaran internasional.
Melihat potensi tersebut, Anton menekankan pentingnya peran negara dalam memperkuat ekosistem ekonomi digital. Ia menyoroti bahwa pemerintah perlu merumuskan regulasi yang tidak hanya memperluas pemanfaatan QRIS, tetapi juga mendorong lahirnya inovasi-inovasi baru dalam sektor keuangan digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Bagi Anton, protes AS terhadap QRIS seharusnya tidak menjadi alasan untuk mundur. Sebaliknya, hal ini harus menjadi dorongan bagi Indonesia untuk lebih memperkuat kebijakan ekonomi digital yang berfokus pada kepentingan nasional. “Kita harus terus maju dengan kebijakan yang mendukung kedaulatan ekonomi digital, agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pemain aktif dalam ekonomi digital global,” tutupnya. (*)