Oleh: Haidir Fitra Siagian
(Wakil Ketua LP2 PWM Sulsel / Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar)
MAKASSAR, MENARA62.COM – Kisah pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, menjadi cermin kuat tentang makna kepemimpinan yang sejati. Dalam satu peristiwa yang sering dikenang, beliau melelang barang-barang pribadinya demi membiayai operasional sekolah Muhammadiyah. Tindakan ini tidak hanya menggambarkan keikhlasan luar biasa, tetapi juga memperlihatkan bahwa bagi Ahmad Dahlan, dakwah dan pendidikan jauh lebih penting daripada kenyamanan pribadi.
Keteladanan seperti ini mencerminkan prinsip yang kemudian diulang-ulang oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir: bahwa pemimpin Muhammadiyah adalah mereka yang “telah selesai dengan dirinya sendiri.” Ungkapan ini bukan sekadar slogan semata, tetapi menjadi indikator dari kualitas kepemimpinan dalam Muhammadiyah, pemimpin yang tidak lagi sibuk dengan urusan pribadi, tidak tergoda oleh kepentingan sempit, dan memprioritaskan dakwah serta pengabdian umat.
Dalam konteks filsafat komunikasi, pernyataan tersebut sejatinya merupakan ajakan menuju praktik komunikasi yang etis dan autentik. Komunikasi tidak hanya soal menyampaikan pesan, melainkan tentang pembentukan makna bersama, pembangunan relasi antarmanusia, dan penyatuan visi kehidupan (Peters, 1999). Seorang pemimpin, termasuk dalam ranah publik dan keumatan, idealnya menggunakan komunikasi sebagai sarana pengabdian dan fasilitasi kebaikan, bukan untuk dominasi.
Ajaran Islam sendiri memberikan landasan yang kuat bagi model kepemimpinan seperti ini. Surah Al-Baqarah ayat 177 menegaskan bahwa kebajikan sejati tidak semata dalam ritual, tetapi dalam kepedulian terhadap kaum lemah. Kehidupan Rasulullah SAW penuh dengan pengabdian, kesederhanaan, dan keberpihakan terhadap umat, bukan pada kenyamanan pribadi.
Dalam sejarah Muhammadiyah modern, semangat itu terus hidup. Di era 1980–1990-an, H. Andi Iskandar Tompo, mantan Wakil Ketua PWM Sulsel, pernah menjual mobil pribadinya untuk mendanai kegiatan Pemuda Muhammadiyah. Tindakannya menunjukkan bahwa jabatan bukan alat menambah fasilitas, melainkan amanah atau perjuangan seorang kader yang menuntut pengorbanan.
Contoh serupa juga hadir dalam kisah seorang pengurus Muhammadiyah di Pinrang. Menurut keluarganya, ia lebih mengutamakan kepentingan Persyarikatan dibanding urusan keluarga. Ia total bekerja untuk Muhammadiyah, hadir di forum-forum, dan menyumbangkan tenaga serta waktu, tanpa pamrih.
Namun, tidak semua pimpinan berada dalam semangat yang sama. Dalam sebuah kunjungan ke Ranting Muhammadiyah Samata, Sekretaris PDM Gowa, Ustaz H. Syahrir Rajab, menyampaikan keprihatinan tentang seorang pimpinan yang jarang hadir dalam rapat dan kegiatan organisasi. Padahal, ia telah mengikuti berbagai jenjang perkaderan. Ironisnya, ia lebih memilih memancing ikan di tambak setiap akhir pekan ketimbang menghadiri pengajian dan kegiatan organisasi lainnya.
Perilaku seperti ini memperlihatkan bahwa seseorang belum selesai dengan dirinya sendiri. Masih terbelenggu oleh ego pribadi dan belum mampu menempatkan tanggung jawab sosial di atas kesenangan pribadi. Dalam perspektif komunikasi intrapersonal, ini menunjukkan kegagalan berdialog dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pedoman bagi seorang pemimpin dalam dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin.
Kepemimpinan sejati tidak hanya soal administrasi atau pengambilan keputusan, tetapi tentang kehadiran, integritas, dedikasi, dan komitmen. Dalam organisasi modern, nilai ini dikenal sebagai servant leadership—kepemimpinan yang melayani. Pemimpin bukan penguasa, melainkan pelayan nilai, norma dan etika. Falsafah ini senada dengan prinsip Islam dan nilai-nilai Persyarikatan Muhammadiyah.
Banyak kisah lain yang memperkaya makna “selesai dengan diri sendiri”. Seorang ibu Aisyiyah dari Kabupaten Enrekang pernah menempuh perjalanan sejauh 250 kilometer dengan sepeda motor ke Kota Makassar untuk mengurus pendirian amal usaha di bidang kesehatan. Ia datang sendiri, menggunakan dana pribadi, tanpa surat tugas, tanpa fasilitas mewah. Semua ia lakukan karena kesadaran dan tanggung jawabnya terhadap umat.
Kisah ini sejalan dengan nasihat ulama Muhammadiyah dari Yogyakarta, KH. Suprapto Ibnu Juraimi (alm), yang pada tahun 1990-an berkata bahwa dakwah Muhammadiyah tidak boleh dibatalkan hanya karena urusan pengantin. Pernah seorang tokoh menginginkan seluruh pimpinan hadir di pernikahan anaknya, padahal kegiatan dakwah telah dijadwalkan lama. KH. Suprapto menegaskan bahwa amanah dakwah tetap harus diutamakan.
Dua sahabat penulis yang ada dalam foto ini, terkenal sebagai pimpinan yang senantiasa mendampingi perjuangan dakwah Muhammadiyah juga menjadi contoh nyata kepemimpinan yang tulus. Mereka tidak mencari panggung, tidak mengeluh, dan tidak absen dalam kerja organisasi. Mereka hadir dan bekerja dalam diam, namun memberi dampak besar. Inilah wajah pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri: setia, berdaya, dan bersahaja.
Tantangan ke depan adalah bagaimana semangat ini diwariskan kepada generasi muda Muhammadiyah. Dalam Surah Ali Imran ayat 200, Allah SWT memerintahkan umat untuk tetap sabar, bersungguh-sungguh, dan terus terlibat dalam perjuangan kebaikan. Menjadi pemimpin di Muhammadiyah bukan soal kehormatan pribadi, tetapi soal manfaat yang bisa diberikan kepada sesama.
Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani). Maka di tengah zaman yang semakin materialistik dan pencitraan yang kadang lebih diutamakan daripada pengabdian, kehadiran pemimpin yang selesai dengan dirinya sendiri menjadi sangat langka, sekaligus sangat penting. Mereka adalah aset organisasi dan umat.(*).