JAKARTA, MENARA62.COM – Dengan potensi sektor pertanian yang besar, Indonesia berpeluang untuk “swasembada” pangan. Sayangnya, potensi besar ini belum diberdayakan secara optimal sehingga pembangunan sektor pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya dari tingkat kesejahteraan petani, belum tercapainya menjaga ketahanan pangan, dan kontribusinya pada pendapatan nasional yang masih rendah.
Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dipublikasikan pada Desember 2022, ketahanan pangan Indonesia dengan skor 60,2 berada di posisi 63 dari 113 negara. Ketersediaan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Keadaan ini tentu masih memprihatinkan.
Kondisi tersebut juga tercermin pada hasil Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan kondisi pertanian di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. “Sektor pangan kita dalam 10 tahun terakhir tidak ada perubahan yang siginifikan malah masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan,” ujar Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD tertajuk “Peningkatan Peran Sains dan Teknologi dalam Pembangunan Sektor Pertanian Indonesia’ yang digelar Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, FKPPI, HIPMI, dan Kompas, Jumat (13/9/2024).
Beberapa masalah dan tantangan tersebut adalah sektor pertanian masih didominasi tenaga kerja tua, masih minim menggunakan teknologi, penyusutan lahan pertanian, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, masih minimnya akses petani terhadap permodalan, dan terkait keterpaduan antar sektor atau koordinasi serta sinergi antar sektor.
Menurut Pontjo, konsep swasembada pangan dipandang sebagai salah satu cara efektif dalam mencapai ketahanan pangan suatu negara, sehingga negara tersebut memiliki kontrol yang besar terhadap pasokan pangannya dan tidak tergantung pada pasar internasional. Karena itu banyak negara, untuk memenuhi ketersediaan pangannya dilaksanakan melalui swasembada dengan cara memproduksinya di dalam negeri.
Sains dan Teknologi
Untuk menyelesaikan berbagai masalah dan tantangan sektor pertanian, jelas Pontjo, maka penerapan sains dan teknologi yang paling produktif tetapi ramah lingkungan dalam pembangunan sektor pertanian merupakan suatu keniscayaan. Penerapan sains dan teknologi pertanian modern telah memungkinkan petani untuk meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi beban kerja manual, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.
“Selain itu, teknologi informasi dan komunikasi juga memainkan peran penting dalam menghubungkan petani dengan informasi pasar dan memfasilitasi akses ke platform belanja online, yang berkontribusi pada peningkatan pemasaran dan penjualan produk pertanian,” jelasnya.
Pemerintah diakui Pontjo memang berkomitmen untuk terus mendukung dan mendorong pengembangan sektor pertanian yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi serta ramah lingkungan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia. Namun mekanisasi dan adopsi teknologi masih cukup rendah, dengan 87,59% rumah tangga petani masih memilih untuk menggunakan metode konvensional dalam bertani.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti yang terjadi di Thailand dan Ethiopia, terbukti bahwa pemanfaatan sains dan teknologi dapat mendorong pembangunan sektor pertanian dan peningkatan ketahanan pangan sebuah negara. “Pengembangan dan penerapan teknologi dalam meningkatkan produktivitas komoditas pangan menjadi salah satu alasan mengapa Ethiopia bisa berkembang menjadi negara adidaya di bidang pertanian dan ketahanan pangan,” ujar Pontjo.
Bagaimana ketika negara menghadapi gangguan ketersediaan pangan dalam negeri? Pontjo menilai negara bisa saja melakukan kebijakan impor namun jumlahnya harus dibatasi dengan tetap memperhatikan aspek “kemandirian dan kedaulatan pangan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Oleh karena itu, kata Pontjo, kebijakan impor pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “state capture” atau “state capture corruption”. State capture merupakan tindakan untuk mengkooptasi, mengintervensi, dan mendominasi kebijakan negara melalui suap dan tekanan.
Khususnya terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor, lanjut Pontjo, pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya juga tidak bergantung hanya pada beras dan gandum. Apalagi Indonesia saat ini masih bergantung 100% dengan gandum impor.
Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia masih impor gandum mencapai 10,2 juta ton dengan nilai US$ 2,6 miliar. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah karena besarnya permintaan produk gandum di tanah air. Untuk itu, diversifikasi produk pangan menjadi penting dilakukan dalam rangka membangun ketahanan pangan yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal. “Indonesia sangat kaya dengan varian tanaman,” tegas Pontjo.
Indonesia ‘darurat’ mandiri pangan
Senada dengan Pontjo, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional Andriko Noto Susanto juga memaparkan kondisi ekonomi sektor pertanian di Indonesia yang menghadapi sejumlah masalah. Diantaranya adalah kontribusi sektor pertanian pada pertumbuhan ekonomi 11,61% menurun -3,54% yoy 2, sektor pertanian menyerap 28,64% tenaga kerja, tetapi menjadi lumbung kemiskinan nasional, kemiskin esktrem yang bekerja di sektor pertanian mencapai 55%.
“Tahun 2027 diprediksi suhu naik 3 derajat celicius yang itu bakal berdampak pada krisis air irigasi. Ini berpotensi memperparah situasi pangan dan kemiskinan,” jelas Andriko.
Indonesia sendiri saat ini kata Andriko tengah menghadapi ‘darurat’ mandiri pangan. Indikatornya antara lain pertama terjadinya alih fungsi lahan subur tidak terkendali. Total alih fungsi lahan dari 1979-2023 tercatat 2.204.503 hektar. Akibatnya produktivitas pangan sudah leveling off, terjadi penurunan kualitas (degradasi) lahan, diperparah adanya perubahan iklim yang menyebabkan resiko gagal panen meningkat.
Kedua, luas tanam dan produksi padi menurun tajam. Data Kementerian Pertanian menyebut luas tanam Oktober 2023 sampai Februari 2024 hanya 5,4 juta ton atau menurun 1,9 juta hektar di banding periode yang sama 2015-2019 yang mencapai 7,4 juta hektar. Produksi beras sejak tahun 2019 – 2023 hanya berkisar 30 sampai 31 juta ton jauh lebih rendah dibanding tahun 2018 sebesar 34 juta ton. Kebutuhan nasional pertahun rata-rata 31,2 juta ton, artinya terjadi kekurangan pasokan dari dalam negeri.
Indikator ketiga, SDM petani terus menurun. Tahun 2019 tercatat 33.106.115 KT menjadi 28.419.398 KT (2023). Terjadi pengurangan SDM petani 1.171.679 KT/tahun.
Lalu ke empat, sektor pangan mulai bergantung pada impor. Impor pangan tahun 2013 sebesar USD 10,0 miliar, meningkat USD 8,6 miliar (129 triliun) pada tahun 2022 menjadi USD 18,6 miliar setara 279 triliun. Sekitar 9 dari 13 atau 70% pangan strategis dipenuhi dari impor dengan kecenderungan semakin besar. “Kualitas dan harga pangan impor cenderung lebih baik dan murah, menekan harga di tingkat petani/peternak, dan semangat kemandirian pangan semakin jauh dari harapan,” katanya.
Kelima, jumlah konsumsi pangan meningkat. Laju 0,76 % per tahun (2.133.548 jiwa) menjadi 280,73 juta jiwa tahun 2023.
Indikator keenam adalah diversifikasi pangan berjalan lambat. Dominasi beras dan terigu, preferensi konsumen terhadap pangan lokal masih rendah.
Dan indikator ketujuh adalah tingginya ketimpangan antar wilayah. Sebanyak 354 daerah masuk kategori lambat tumbuh dengan empat persoalan utama yaitu infrastruktur dasar/sarana dan prasarana yang belum memadai, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang kurang memenuhi standard, ketahanan pangan yang rendah serta permasalahan kelembagaan daerah.
Selain Andriko Noto Susanto, FGD tersebut juga menghadirkan narasumber Dr. (H.C) Al Busyra Basnur, SH, LL.M. (Duta Besar RI untuk Ethiopia, Djibouti, dan Uni Afrika), Prof. Dr. Ir. Slamet Budiyanto, M.Sc, IPU (IPB University) dan Ir. Agung Hartanto (Founder Perkumpulan Agripreneur Ganesha).