26.2 C
Jakarta

Matinya Hollywood, Realita Atau Fatamorgana?

Baca Juga:

Matinya Hollywood, fatamorgana atau realita? Pertanyaan itu dikemukakan Janet Wasko dari University of Oregon’s School of Journalism and Communication dalam makalahnya “The Death of Hollywood” yang menjadi bagian dari buku “The Handbook of Political Economy of Communications”.

Menurutnya, ada beberapa hal yang disinyalir bisa menjadi pemicu matinya Hollywood sebagai industri perfilman terbesar di dunia. Yakni, adanya perubahan finansial, perubahan sistem produksi, perubahan marketing, perubahan sistem distribusi, perubahan pasar global, serta ancaman pembajakan.

Hingga kini, pembajakan masih menjadi masalah utama, yang tidak hanya belum hilang, tetapi menjadi lebih mendesak. Bagi para pengamat, itu adalah jantung dari skenario “The Death of Hollywood”. Hollywood memiliki “obsesi yang tidak masuk akal dengan pembajakan,” yang dituduhkan kepada ketakutan industri terhadap teknologi baru (Edelman 2007).

Setali tiga uang dengan kondisi Hollywood yang terancam dengan masalah pembajakan, hal serupa juga menjadi masalah usang yang tak kunjung usai di Indonesia. Dengan sistem penegakan hukum yang sangat lemah, hampir semua hasil produksi kreatif di Indonesia mengalami pembajakan. Riset Asosiasi Video Streaming Indonesia (Avisi) menyebutkan, sebanyak 70 persen warganet di Indonesia memilih menonton film nasional secara ilegal. Imbasnya, pendapatan industri film nasional hanya mampu mencetak Rp 28 triliun per tahun.

Penelitian serupa yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyebutkan, total kerugian produser film akibat pembajakan mencapai Rp1,4 triliun per tahun. Angka itu sama dengan 30 persen dari jumlah kerugian nasional yang diprediksi menyentuh Rp 5 triliun.

Kalau pembajakan menjadi masalah klasik yang sama-sama masih terus dihadapi industri perfilman Hollywood dan Indonesia, lain halnya dengan perubahan yang terjadi di pasar global. Dominasi film Hollywood di pasar global ternyata mendapat pertentangan di banyak negara, seperti di Eropa dan India, para produser film berusaha mengalahkan dominasi tersebut dengan memproduksi film-film yang lebih bisa diterima oleh penduduk setempat.

Indonesia dengan segala problematika industri perfilmannya juga berusaha untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri melalui film-film yang diproduksi. Pemegang rekor box office film nasional sampai saat ini masih dipegang oleh film “KKN di Desa Penari” yang berhasil menarik penonton di atas 10 juta, dan film tersebut tercatat berhasil tayang melalui upaya mandiri di bioskop di beberapa kota di Amerika. Sayangnya, fenomena tersebut dengan latah diikuti produsen film lainnya yang berbondong-bondong ikut memproduksi film bergenre honor, namun dengan kualitas yang rendah.

Problem teranyar yang harus dihadapi Hollywood di pasar global adalah gencarnya seruan untuk melakukan boikot terhadap semua produk yang terafiliasi dengan zionis Israel. Hal ini menyebabkan beberapa film Hollywood gagal di pasar global. Terbaru adalah film “Snow White” produksi Walt Disney Pictures yang dianggap sebagai film dengan penjualan tergagal sepanjang sejarah dan film “Captain America: Brave New World” yang ditarik karena memunculkan tokoh yang menjadi representasi Israel.

Kesimpulan yang ditulis dalam buku itu menyebutkan, meski Hollywood mengalami perubahan yang signifikan, masih terlalu dini untuk merayakan kematiannya. Namun, buku itu ditulis sebelum muncul gerakan kampanye massif di seluruh dunia untuk melakukan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan zionis Israel, bisa jadi kini ceritanya akan berbeda. Akankah kematian Hollywood menjadi realita? Kita tunggu saja!

Penulis: Marfuah Panji Astuti, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Jakarta

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!