30.4 C
Jakarta

Menyikapi Bencana dengan Perspektif Al Quran

Baca Juga:

Oleh : M RIFQI ROSYIDI

Mengawali tahun 2021 ini tema musībah  menjadi topik yang sedang ramai diperbincangkan semua kalangan karena kejadian-kejadian yang dianggap luar biasa tersaji beruntun secara nasional mulai dari longsor di Cimanggung Sumedang (9/1),  jatuhnya pesawat Sriwijaya (9/1), banjir di Kalimantan Selatan (12/1), gempa bumi yang menggoyang Mamuju Sulawesi Barat (14/1), gunung Semeru meletus (16/1), banjir dan tanah longsor di Manado Sulawesi Utara (16/1), banjir di kabupaten Bogor (19/1), bahkan Covid-19 varian baru menghadirkan kecemasan tersendiri di permulaan tahun ini. Semua komunitas merasa bebas berbicara dan masing-masing melihatnya dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda.

Dan tulisan ini juga berupaya untuk menyikapi fenomena yang dikategorikan sebagai bencana nasional ini dengan pendekatan yang lebih bersifat teologis dengan menangkap pesan-pesan yang dibangun melalui narasi-narasi kebencanaan di dalam al-Quran. Berkenaan dengan kejadian-kejadian seperti di atas selain kita menyebutnya sebagai mushībah, kita juga sering menggunakan beberapa istilah lainnya yang ada di dalam al-Quran seperti  fitnah, balā’, dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai adzāb, di mana terma-terma yang kita gunakan dalam peristiwa tertentu sebenarnya mewakili objektifitas perspektif spiritual kita pada saat itu yang pada tataran alam sadar merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap perilakunya yang menyimpang dari ajaran-ajaran ilahiyah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musibah diartikan dengan; (1) kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; (2) malapetaka; bencana, yang dalam mempertegas arti dan penggunaannya, maka kematian, sakit, banjir, tanah longsor menurut KKBI ini masuk dalam kategori musibah. Kata musibah yang kita gunakan untuk menyebut kejadian-kejadian kebencanaan tersebut merupakan kata serapan dari Bahasa Arab mushībah yang di dalam Mu`jam al-Ma`ānī al-Jāmi` diartikan  dengan segala sesuatu yang tidak baik yang menimpa manusia. Dengan struktur kata dan lafadz seperti itu disebutkan sebanyak 10 kali di dalam al-Quran dengan orientasi dan penekanan yang berbeda pada setiap ayatnya, di mana ayat-ayat tersebut secara garis besar berbicara tentang empat sisi yang erta berkaitan dengan musibah. Allah sebagai Dzat yang menetapkan musibah, perilaku manusia yang melatarbelakangi turunnya musibah, tujuan utama diturunkannya musibah, dan sikap yang   dilakukan oleh manusia sebagai bentuk respon terhadap musibah.

Prioritas utama yang harus menjadi perhatian dan harus ditekankan kepada setiap manusia yang beriman adalah menumbuhkembangkan keimanan dan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini merupakan  ketentuan dan kehendak Allah. Dalam fimannya Allah mengatakan bahwa “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah” (Q.S. al-Hadīd [57]: 22); Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. al-Taghābun [64]: 11).

Titik tekan pada sisi ini menjadi sangat penting karena realitas sikap keberagamaan umat Islam dalam merespon musibah ini banyak yang salah sasaran, sehingga sikap spiritual yang seharusnya sangat teologis ini berubah menjadi tradisi-tradisi spiritual yang bersifat mitologis.

Sikap selanjutnya yang harus dikembangkan dari sisi teologi ini adalah keyakinan bahwa musibah yang terjadi secara berkesinambungan ini semua masih dalam batas kekuatan manusia untuk menghadapi semuanya karena Allah tidak akan menurunkan sesuatu musibah  melebihi batas kemampuan manusia. Bukan hanya musibah bahkan semua kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia juga tidak ada satupun yang melebihi batas kemampuan dan kewajaran.

Ketika ada seseorang yang merasa tidak mampu mananggung beban berat musibah, atau merasa belum siap menjalankan kewajiban agama dengan alasan belum mendapatkan hidayah sebenarnya bukan beratnya musibah atau beratnya kewajiban agama dan bukan karena hidayah yang belum datang tetapi sebenarnya keyakinan, niat dan iktikad yang sudah hilang dari kehidupannya.

Oleh karena itu sebagai upaya memahami tuntunan doa yang berada di akhir surat al-Baqarah  jangan dipahami sebagai permohonan supaya Allah tidak memberikan musibah yang tidak bisa ditanggungnya, tetapi doa ini adalah sebagai satu bentuk permohonan supaya kita diberi kekuatan untuk dapat menyikapi setiap musibah dengan baik, karena sejatinya tidak ada musibah yang diturunkan kecuali masih berada dibawah kendali manusia. Bukan musibahnya yang berat tetapi iman di hatinya yang sangat lemah.

Maka dengan memahami hakikat musibah dari perspektif spiritualitas yang benar, seseorang akan menyikapinya dengan hati yang ikhlas dan mengedepankan prasangka yang baik, selalu mengembangkan sikap optimis dalam hidup ini, tidak mudah menyalahkan orang lain, tetapi lebih berorientasi kepada evaluasi diri mencari faktor internal yang kemungkinan menjadi penyebab musibah-musibah yang datang secara beruntun menimpa kita bangsa Indonesia: Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu) (Q.S. al-Syūrā [42]: 30).

Pesan yang ingin disampaikan melalui narasi ayat tersebut adalah pernyataan bahwa segala bentuk musibah yang terjadi menimpa negeri sebenarnya disebabkan oleh banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap berbagai ketentuan yang dilakukan oleh manusia secara umum yang menurut perspektif agama dikenal dengan terma maksiat, karena dalam beberapa ungkapan nabi terdapat beberapa narasi yang menyatakan bahwa ada beberapa jenis dosa yang diampuni oleh Allah melalui musibah-musibah yang diturunkan kepada manusia itu.

Maka ketika kita mengedepankan prasangka yang baik kepada Allah berkenaan dengan musibah ini, maka kita akan mengetahui bahwa musibah yang menimpa kita dalam bentuk apapun pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari sifat Kasih Sayang Sang Maha Pengampun  yang meringankan beban tanggungan di akhirat dengan menghapus dosa-dosa hamba-Nya melalui musibah yang bersifat duniawi tersebut.

Oleh karena itu berkenaan dengan musibah-musibah yang beruntun ini hendaknya manusia tidak merasa angkuh dengan menyalahkan alam, apalagi sampai menjadikan takdir sebagai kambing hitamnya, sebagaimana yang kita saksikan beberapa tokoh nasional dan oknum pejabat yang berwenang di sektor pelestarian lingkungan menyalahkan curah hutan dan luapan sungai sebagai penyebab banjir dan mengabaikan kegiatan-kegiatan eksploitasi tambang dan hutan karena arogansi kebijakannya sebagai penyebab utama musibah-musibah ini. Sungguh ini adalah sebuah kesombongan manusia yang tidak merasa bersalah ketika banyak perilaku dan kebijakannya yang berpotensi merusak keharmonisan alam, tetapi menuduh proses alam yang merupakan sunnatullāh menjadi pemicunya.

Meskipun dalam beberapa ayatnya al-Quran menarasikan musibah-musibah semacam ini dengan terma al-`adzāb al-adnā (siksa kecil) tetapi pada hakekatnya yang dimaksud bukanlah adzab yang sebenarnya sebagai balasan atas kedustaan dan kedurhakaan terhadap aturan agama sebagaimana yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu, tetapi tujuan dari semua ini sebenarnya hanya mengingatkan manusia bahwa mereka masih diberi kesempatan untuk kembali dalam perspektif pemaknaan yang komprehensif; la`allahum yarji`ūn;  makna pertama kembali kepada dirinya sendiri dalam rangka mengevaluasi segala bentuk perilaku dan kebijakan yang menimbulkan pengaruh negatif bagi kehidupan secara umum, yang dari makna ini diharapkan memunculkan makna kedua yaitu kembali kepada jalan yang benar sesuai dengan tuntunan agama dengan mengembangkan prinsip takwa yang mengedepankan kewaspadaan untuk berhati-hati dalam setiap langkah agar tidak keluar dari jalur semestinya.

Ungkapan Ali bin Abi Thalib berikut ini menjadi penting untuk dijadikan sebagai suplemen spiritual dalam rangka menjaga imunitas jiwa dan konsistensi berperilaku yang tidak menyimpang: “Kalau kita yakin bahwa Allah bisa memaafkan dosa-dosa manusia di dunia ini melalui turunnya musibah-musibah, maka akan lebih mudah bagi Allah untuk memaafkan manusia di akhirat nanti, dan begitu pula sebaliknya apabila kita meyakini bahwa musibah-musibah tersebut merupakan balasan Allah terhadap pelanggaran dan pembangkangan yang kita lakukan, maka untuk mengadzab kita di akhirat dengan adzab yang lebih dahsyat sangatlah mudah bagi Allah”.

Kalau kemudian musibah-musibah yang terjadi ini kita dekati melalui terma fitnah, maka musibah-musibah tersebut pada prinsipnya merupakan ujian bagi keimanan seseorang, karena terma al-fitnah itu sendiri secara leksikal menurut Ibnu Faris memiliki arti al-balā’, al-ibtilā’, dan al-imtihān yang semua ungkapan tersebut memiliki arti yang sama yaitu ujian. Dengan paradigma ini maka semua manusia pasti akan diuji sesuai dengan kadar yang ditentukan, di mana musibah yang menimpa masing-masing pribadi berbeda kadar kualitas dan kuantitasnya tetapi semuanya bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan keimanan seseorang dan keteguhan hatinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?”. (Q.S. al-`Ankabūt [29]: 2).

Dengan demikian meskipun secara verbal kita menyebut musibah sebagai bencana dan bahkan pada tataran tertentu terucap terma adzab dunia tetapi pada hakikatnya ini merupakan fit and proper test yang harus dijalani oleh semua manusia semasa hidupnya tanpa terkecuali dalam rangka mengetahui tingkatan dan kualitas iman dan amal; liyabluwakum ayyukum ahsanu `amalā. Maka mengembangkan sikap sabar menghadapi musibah-musibah ini menjadi hal yang niscaya karena yang demikian itu menjadi bekal utama bagi seorang mukmin sukses melewati ujian dalam bentuk musibah yang dimaksud sehingga kesuksesan ini berimplikasi kepada meningkatnya grade iman pada level dan maqām para nabi, orang-orang yang jujur (ash-shiddīqīn), asy-syuhadā’ dan orang-orang saleh (ash-shālihīn).

Begitu cara Allah dalam meningkatkan derajat kemuliaan hamba-Nya, maka Dia akan mengujinya dengan beberapa musibah, semakin tinggi tingkat resiko yang timbul dari musibah itu, akan semakin tinggi tingkat kemuliaan yang akan diberikan. Tidak mudah memang mengembangkan sikap sabar seperti yang diharapkan terutama ketika musibah yang dihadapi terkesan sangat berat, tetapi ini akan menjadi mudah ketika kita terbiasa belajar dari sejarah umat para nabi terdahulu yang memang Allah jadikan kisah-kisah tersebut sebagai mau`idzah yang menginspirasi manusia untuk selalu bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik, meskipun pada kenyataannya yang mampu menjadikan setiap peristiwa sebagai sebuah pembelajaran hidup hanyalah orang-orang yang bertaqwa, karena mereka orang-orang yang bertakwa benar-benar bahwa yang menimpa kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah ditimpakan kepada umat-umat terdahulu, apalagi kalau dibandingkan dengan besarnya dosa yang kita perbuat: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Q.S. al-Baqarah [2]:214); Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. (Q.S. Ali Imran [3]: 142).

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!