26.2 C
Jakarta

Nyalakan Semangat Literasi di Hari Buku Nasional

Baca Juga:

SOLO, MENARA62.COM – Di tengah era serba digital, Impian Nopitasari, Dosen Tidak Tetap (DTT) Lembaga Bahasa dan Ilmu Pengetahuan Umum (LBIPU) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), terus menyalakan semangat literasi melalui tulisan dan karya. Tak hanya mengajar di kelas, ia juga produktif menulis dan telah menerbitkan lima buku, yakni Kembang Pasren, Si Jlitheng, Payung Biru Jeta, Simbar Menjangan, dan Hidup di Zaman Konten.

 

Perempuan yang juga dikenal sebagai penulis ini menyampaikan bahwa Hari Buku Nasional menjadi momen penting untuk mengingatkan masyarakat bahwa literasi masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa. “Sebenarnya banyak orang suka membaca, hanya saja akses terhadap buku masih menjadi kendala. Terlebih di daerah-daerah, ongkos distribusi buku itu mahal sekali,” ujarnya, Sabtu (17/5/2025).

 

Menurut Impian, rendahnya angka literasi bukan semata-mata karena minat baca yang rendah. Ia menilai data statistik yang menempatkan Indonesia pada posisi bawah sering kali tidak mencerminkan kondisi lapangan secara utuh.

 

“Kalau pakai ukuran ranking, ya kita pasti kalah. Tapi faktanya, banyak kok yang ingin membaca. Hanya saja buku itu mahal. Orang-orang lebih memilih beli beras daripada buku,” tutur dosen yang memiliki perhatian besar terhadap literasi mahasiswa ini.

 

Sebagai akademisi, Impian melihat tantangan besar dalam menumbuhkan budaya baca di era digital, khususnya di kalangan generasi muda.

 

“Mahasiswa sekarang lebih suka nonton video pendek. Untuk menyuruh mereka baca artikel panjang saja susah, apalagi buku. Ini menjadi tantangan besar, apalagi dengan hadirnya teknologi seperti ChatGPT yang kadang disalahgunakan,” jelasnya.

Ia mengakui bahwa generasi sekarang tumbuh tanpa mengalami masa transisi dari analog ke digital, sehingga paparan informasi instan dan cepat menjadi makanan sehari-hari.

 

“Zaman saya dan generasi X masih sempat merasakan transisi. Tapi generasi Alpha dan Z sekarang, sejak bayi sudah dicekeli HP. Itu membuat kemampuan analisis mereka tidak terasah karena informasi langsung ditelan mentah-mentah,” kata dia.

 

Sebagai bentuk kontribusi kecil, ia kini mulai menginisiasi diskusi rutin bersama beberapa mahasiswa yang tertarik membaca. “Mereka sering main ke rumah, dan saya punya banyak buku. Rencana diskusi pertama akan membedah buku saya dulu, untuk menarik minat awal.”

 

Ia berharap ke depan UMS bisa menjadi kampus yang lebih literatif. “Saya bermimpi UMS punya budaya diskusi rutin. Mahasiswa cinta buku, dan tidak malu untuk membaca. Karena dari membaca, cara berpikir, cara menulis, bahkan cara berbicara mereka akan terbentuk lebih dalam.”

 

Menurutnya, buku bukan hanya alat untuk memperluas pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter. Cara orang berpikir akan sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka baca. Terlebih buku-buku sastra itu bisa melembutkan hati dan mengasah empati.

 

Ia mencontohkan bahwa mahasiswa teknik yang terbiasa dengan logika dan perhitungan, jika juga membaca sastra, maka kemampuannya dalam menyampaikan ide akan lebih kuat dan menarik.

 

“Buku juga membuka wawasan. Kita bisa memahami dunia lain tanpa harus ke sana. Dari sastra Latin, Jepang, India, kita tahu bagaimana sejarah dan budaya mereka. Itu yang membuat pembaca buku sejati biasanya lebih rendah hati karena makin sadar bahwa banyak hal yang belum ia ketahui,” tambahnya.

 

Impian telah melahirkan lima buku yang masing-masing memiliki cerita dan perjuangannya sendiri. Dalam wawancara terbarunya, Impian mengungkapkan bahwa proses menjadi penulis tidak bisa dilepaskan dari budaya membaca yang ia tekuni sejak usia dini.

 

“Saya bisa membaca sejak umur tiga tahun, dan sejak kecil sudah terbiasa membaca buku dari perpustakaan SD tempat ayahku mengajar,” ujarnya.

Impian menekankan bahwa kemampuan menulis bukanlah sesuatu yang muncul secara instan, melainkan hasil dari pembiasaan membaca dalam jangka panjang.

 

Menurutnya, banyak orang ingin menjadi penulis, namun enggan membaca. “Kalau nggak ada yang masuk, ya nggak bisa keluar. Seperti tubuh kita, hanya bisa membuang kalau ada yang dimakan. Sama dengan tulisan,” ucapnya memberi analogi.

 

Impian juga menyatakan bahwa dirinya bukan produk dari kelas-kelas menulis, melainkan murni hasil dari kegemaran membaca dan berlatih menulis sejak kecil. Ia mulai mempublikasikan karya di media nasional saat masih SMA, tepatnya sekitar tahun 2006–2007.

 

Tentang buku-bukunya, Impian menyebut bahwa setiap karyanya memiliki karakter dan nilai emosional yang unik. Buku pertamanya, Kembang Pasren, adalah kumpulan cerpen berbahasa Jawa yang pernah dimuat di berbagai media seperti Solopos, Penyebar Semangat, (Jaya Baya), dan Djaka Lodang. Meskipun ia mengakui masih “cupu” dalam pengemasan, buku ini menjadi tonggak awalnya di dunia penulisan. (ada tambahan Jaya Baya dan revisi nama Djaka Lodang).

 

Namun dari kelima bukunya, Si Jlitheng menjadi yang paling berkesan. Buku dongeng anak berbahasa Jawa ini ia tulis dan kolaborasikan dengan ilustrator ternama Na’imatur Rofiqoh (Nai Rinaket). Terbit pada masa pandemi, buku ini justru mendapat sambutan luas.

 

“Niatnya cuma untuk hore-hore, tapi ternyata meledak di pasaran. Banyak guru dan orang tua yang beli, bahkan sampai dibedah di berbagai forum dan dibaca oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus),” kenangnya.

 

Tak hanya itu, Si Jlitheng sempat mewakili Indonesia dalam pameran ilustrasi internasional di Bratislava, Eropa Timur (Slovakia), dan menjadi buku yang menghubungkan dunia anak-anak dengan budaya lokal Jawa.

 

Impian menutup pernyataannya dengan satu keyakinan kuat: “Saya percaya, orang yang dari kecil sudah suka membaca, jika dilanjutkan dan dilatih, pasti bisa menulis. Tinggal mau memulai atau tidak,” tegasnya.

 

Buku-buku Impian tidak hanya menyuarakan kreativitas, tetapi juga menjadi media pelestarian budaya dan bahasa ibu yang jarang disentuh penulis generasi muda. Kini, meski ia masih aktif di Solo, karya-karyanya telah melanglang buana hingga ke Paris (Leiden) dan Bratislava membuktikan bahwa tulisan yang baik tak mengenal batas geografi. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!