33.6 C
Jakarta

Pontjo: Sektor Pertanian Indonesia Harus Dibangun Berbasis Iptek

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, politik maupun sosial. Oleh karena itu, membangun ketahanan pangan nasional harus terus diupayakan utamanya melalui pembangunan sektor pertanian.

Akan tetapi, membangun sektor pangan dengan cara-cara konvensional hanya akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang lamban. Karena itu, pembangunan sektor pangan nasional harus dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Kita memahami bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (resource based economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (knowledge based economy) dimana pengetahuan dan teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan dan kemandirian ekonomi,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada Fokus Group Discussion Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila yang digelar secara virtual, Jumat (16/10/2020).

FGD bertema Gerakan Transformasi menuju Ekonomi Pengetahuan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber seperti Prof Ahmad Erani Yustika, FRI Unibraw, Dr. sc. Ir Aiyen Tjoa, anggota Akademi Ilmuan Muda Indonesia, Robert Muda Hartawan, BPP HIPMI, dan Ir Bambang Priambodo, Deputi Bappenas 2019-2020.

Menurut Pontjo, saat ini kekuatan suatu bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Karenanya, peningkatan kapasitas Iptek adalah kunci sukses meraih daya saing yang sangat menentukan kemandirian ekonomi suatu bangsa.

Model ekonomi berbasis pengetahuan, lanjut Pontjo, juga dapat menstimulasi kreativitas dalam penerapan pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kekayaan dan lingkungan alam dapat didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup suatu bangsa.

Oleh karena itulah, World Bank menaruh perhatian untuk mengukur dan memonitor perkembangan model ekonomi ini dengan menggunakan The Knowledge Economy Index (KEI) melalui empat pilar yang menjadi dasar penilaiannya.

Pontjo mengingatkan bahwa transformasi perekonomian dunia menuju Ekonomi Pengetahuan pasti akan terus berlanjut, sejalan dengan kemajuan teknologi. Masalahnya, apakah bangsa ini akan berdiam diri hanya menjadi penonton dari transformasi tersebut sehingga terus menerus menjadi konsumen teknologi atau kita juga menjadi pemain aktif di dalamya? Tentu pilihannya terpulang dari bangsa ini.

“Seharusnyalah bangsa ini terus berusaha mengejar ketertinggalan teknologi, apalagi kita sudah bertekad menjadi Negara maju pada tahun 2045. Sebab tanpa penguasaan teknologi, mustahil Indonesia akan mampu membangun kemandirian ekonomi dan bersaing di tingkat global,” jelas Pontjo.

Namun hal yang harus tetap dijaga bahwa transformasi ekonomi ini tidak boleh bergerak liar tetapi harus tetap dalam tuntunan nilai-nilai Pancasila demi kemakmuran inklusif dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Diakui Pontjo, negara-negara dengan kekayaan alam yang berlimpah sekalipun sudah menyadari bahwa suatu saat kekayaan alamnya akan habis. Sementara kekayaan intelektual manusia, apabila dikelola dengan baik, akan berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kualitas hidup suatu bangsa.

“Jadi sekarang national power, kedayasaingan, kemakmuran sebuah bangsa, tidak lagi ditentukan oleh “endowment factor” seperti sumber daya alam, iklim, letak geografi, dan lainnya,  akan tetapi sangat ditentukan oleh “advanced factor” yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi,” tukasnya.

Belajar dari Ethopia dan Thailand

Bagaimana transformasi perekonomian pengetahuan itu berperan dalam meningkatkan kemakmuran, menurut Pontjo, Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain terutama pada sektor pertanian dan pangan sebagai sektor unggulan Indonesia. Salah satu negara yang berhasil menerapkan teknologi dalam pertaniannya adalah Ethiopia yang dulu merupakan negara miskin dan sering menanggung kelaparan. Kini, dengan bantuan Israel dan teknologinya telah menjadi surga pertanian. Bahkan, negara ini pada tahun 2017 telah menduduki peringkat ke12 sebagai Negara Adidaya Pertanian dan Ketahanan Pangan menurut Global Food Security Index (GFSI)1 1 The Economist Intelligence Unit & Barilla Center for Food & Nutrition Foundation (BCFN), 2017.

Fokus Group Discussion Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila yang digelar secara virtual, Jumat (16/10/2020).

Selain itu, Thailand juga bisa menjadi contoh keberhasilan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sektor pertanian dan agribisnis. Keberhasilan ini dimungkinkan karena seluruh stake-holders pertanian termasuk pemerintah dan rajanya mempunyai komitmen kuat untuk memajukan pertaniannya.

Saat ini, Thailand kata Pontjo, telah mengembangkan pertanian 4.0. yang berfokus pada penerapan teknologi tinggi terhadap komoditas-komoditas utama dan komoditas-komoditas yang mempunyai nilai terpadu seperti beberapa jenis sayuran dan buah-buahan. Visi Thailand yang telah ditetapkan yaitu: “Thailand kitchen of the world!”, bukan hanya sekedar jargon melainkan sudah menjadi gerakan masyarakat Thailand. Bahkan untuk menjangkau pasar internasional, setiap petani yang akan mengekspor produknya harus menjalankan dua standar, yaitu GAP (good agricultural practices) dan GMP (good manufacturing practices).

Diakui Pontjo meski sama-sama mengalami kemajuan bidang pertanian, dua negara tersebut memiliki perbedaan yang cukup mendasar . Kalau di Ethiopia, seluruh kegiatan pertanian merupakan investasi dan teknologi Israel. Yang terjadi kemudian adalah bukan pembangunan Ethiopia melainkan pembangunan di Ethiopia. Karenanya, kemajuan pertanian tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat setempat. Sedangkan di Thailand, pembangunan pertanian sepenuhnya dilaksanakan oleh dan untuk rakyatnya. Sehingga yang terjadi benar-benar adalah pembangunan Thailand bukan sekedar pembangunan di Thailand.

“Tinggal bangsa ini memilih model yang mana, pembangunan di Indonesia atau pembangunan Indonesia. Paradox pembangunan ini perlu saya tekankan, karena kita memang sedang mengundang investasi asing secara besar-besaran,” jelas Pontjo.

Dalam mengejar ketertinggalan teknologi untuk membangun gerakan transformasi Ekonomi Pengetahuan, menurut Pontjo, ada beberapa titik lemah Indonesia yang harus menjadi perhatian kita bersama. Pertama terkait dengan sumber daya manusia (SDM) yang masih menajdi titik lemah Indonesia. Padahal, sumber daya manusia merupakan elemen kunci bagi keberhasilan transformasi Ekonomi Pengetahuan. Dengan kualitas SDM yang baik yang memiliki kapabilitas ilmu pengetahun dan teknologi yang tinggi maka creating value dan produktivitas perekonomian suatu bangsa akan terus meningkat.

Pada dasarnya, fondasi dari transformasi Ekonomi Pengetahuan adalah knowledge-based society, yaitu masyarakat yang berpengetahuan dan berpendidikan.

Kelemahan kedua adalah sistem inovasi nasional kita. Melalui sistem ini, sebagaimana yang berlaku di banyak Negara, dapat diintegrasikan dan disinergikan berbagai potensi dan sumber daya untuk meningkatkan kapabilitas pengetahuan dan teknologi negara yang bersangkutan. Penguatan sistem inovasi nasional sangat diperlukan demi menguatnya kelembagaan iptek, sumberdaya iptek, dan jaringan iptek.

“Mudah-mudahan dengan keluarnya Undang Undang No. 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, kebutuhan akan penguatan sistem inovasi nasional ini dapat terpenuhi,” harap Pontjo.

Lalu yang ketiga adalah perlunya rekayasa sosial (social engineering) untuk mengubah sikap masyarakat yang berperilaku sesuai dengan pembangunan ekonomi pengetahuan sehingga terjadi perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan (planned social change).

Sementara itu Ketua Forum Rektor Indonesia Prof Dr Satria dalam sambutan pengantarnya menjelaskan untuk mewujudkan  knowledge based economy, Indonesia harus melakukan lompatan-lompatan inovasi untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara Asean lainnya. Meski saat ini kita hidup pada masa pandemi Covid-19 yang berakibat pada krisis ekonomi.

“Lompatan inovasi termasuk dalam bidang pangan merupakan keniscayaan di tengah krisis,” jelas Prof Arif.

Senada juga dikemukakan Ketua AIPI Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro. Menurutnya, selama puluhan tahun, kita terlena dengan kekayaan sumber daya alam. Akibatnya pembangunan yang dilakukan juga lebih banyak mengandalkan sumber daya alam (resource based economy).

“Padahal ekonomi yang bersandar pada kekayaan alam hanya akan memberikan nilai tambah sedikit bagi kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Karena itu, persaingan masa depan, dimana negara-negara mengembangkan kemampuan teknologi, maka mau tidak mau Indonesia juga harus mulai memasuki knowledge based economy. Tujuannya agar kita terlepas dari jebatan middle income atau jebakan pendapatan menengah.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!