26.6 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-48)

Baca Juga:

#Kekawatiran: Antara Sayang dan Pendewasaan.

Masa pandemi Covid-19 yang menghantam hampir semua sendi kehidupan dirasakan hingga di pondok pesantren. Termasuk pondok Al-Quran yang ada di atas bukit Pajangan itu. Pihak manajemen menerapkan aturan yang cukup ketat. Untuk mengurangi klaster baru penyebaran Covid-19, yang hingga sekarang masih juga ada yang belum percaya benar adanya virus Covid-19. Akibatnya abai terhadap prokes.

Mendengar Rohman salah satu yang terpapar covid-19, batin ini menjerit. Jauh keluarga, bagaimana dia akan menjaga dirinya. Namun pelan-pelan istri memberikan penjelasan, Insya Allah pihak pondok sudah mempunyai alur penanganan santri yang terpapar Covid-19.
“Gak usah terlalu khawatir,” kata istri.
” Ya, namanya orang tua. Kita kirim tambahan vitamin atau apa-lah?” kataku.
“Nunggu perkembangan dari pondok saja. Karena bisa jadi kita tidak boleh masuk. Karena dikhawatirkan menimbulkan klaster baru. Atau minimal menimbulkan permasalahan baru.”
“Aku akan WA sama pimpinan pondok,” tekadku.
“Gak usah, pak. Tanya Musryif-nya (wali kelasnya) saja dulu. Pimpinan pondok kan urusannya banyak. Kasihan kalau harus ngurusin anak kita saja.”
Tapi hatiku tetap galau. Meski aku mencoba tersenyum. Senyum kecut. Atau malah pahit. Namun perlahan-lahan tingkat kekhawatiran itupun mulai bilang. Paling tidak melemah. Setelah membaca di grup anak-anak atau santri yang menjalani isoman dalam kondisi sehat. Disebut juga santri yang masing pusing si-A,B,C.
Mereka tetap aktifitas biasanya. Yang membedakan hanya mereka tidak atau bisa bergabung dalam kajian yang diadakan pondok secara berjamaah.

Aku lupa bagaimana ceritanya. Namun tidak lama berselang, kami bisa tengok Rohman di dekat ruang isolasi. Aku tatap wajahnya dalam-dalam. Tidak ada aura kesedihan. “Cuma jadi gak bisa maen bola dengan bebas pak. Dibatasi hanya disini saja,” kata Rohman menunjuk halaman lapangan yang tidak begitu jembar diarah bawah.
“Sakit gak, le,”
“Biasa  saja. Pusing dikit.”
“Untuk ngaji?”
“Bisa, kok,”
“Itu tadi bapak ibu bawain vitamin,”
“Oh, kalau vitamin jangan lupa vitamin yang bisa nambah tinggi pak?”
“Lho kenapa?”
“Malu kalau pas main sepak bola, kelihatan paling pendek.”
“Bisa tho pak?”
“Insya Allah,”

Tanpa menyebut merk, aku akan coba carikan vitamin peninggi tubuh itu. Tak sampai 15 menit aku dan istri menengok-nya. Justru perbincangan tidak mengarah ke Covid-19. Kekhawatiran ini karena sayang atau berlebihan ya? pikirku sepanjang pulang di perjalananan. Anaknya merasa biasa saja. Aku yang sebagai ortu-nya yang over mikirnya. Kejadian ini memang bukan belakangan ini. Sudah beberapa bulan lalu. Ketika Covid-19 sedang ganas-ganasnya menerjang siapa saja. Tanpa peduli. Bahkan hingga kini belum juga tidak mau pergi. Meski sudah divaksinasi.
Akhirnya semua aku serahkan kepada-Nya. Konon ustadz Agus Rohmanto dalam kajiannya pernah mengatakan, kalau semua urusan melibatkan Allah, maka akan lancar dan aman. Aku sedang taraf mencobanya…(bersambung)

bagian 47 < bagian 49

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!