32.5 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-52)

Baca Juga:

# Rasanya Berbagi Bahagia

Masih lanjut bicara soal bahagia. Boleh ya? Karena ternyata bahagia itu sebaiknya dibagi-bagi. Tidak saja untuk diri sendiri. Egois. Orang-orang sekitar bahkan yang jauh pun – sebaiknya mendapatkan “jatah” bahagia juga. Analoginya, ada bahagia untuk suami- istri, anak tidak harus ikut merasakan. Orang tua, atau mertua juga gak harus ikut. Ada kebagiaan bersama seluruh keluarga. Artinya seluruh warga dalam keluarga dekat merasakan aroma keluarga itu. Meski hanya lewat kabar WA. Tapi minimal ikut merasakan. Sesungguhnya itu berlaku juga, ketika kita sedang tidak bahagia. Saat kita sedang nestapa.

Sore itu, lepas ashar jauh. Lebih dekat ke jelang maghrib. Matahari masih bersinar dengan ligat. Tidak ada mendung sedikitpun. Udara cerah. Mega berarak pelan. Angin berhembus normal. Kami menjenguk Rohman. Membawa kangen. Namun sejatinya dalam hati ragu-ragu. Kenapa? Karena secara resmi belum tahu, boleh tidaknya. Karena kondisi masih PPKM Darurat. Dalih kami akhirnya hanya sebentar, seperti layaknya kurir kalau mengantar barang dari wali untuk santri. Pasti juga hanya sebentar dan mereka juga orang luar. Kami motoran bermaksud  mengatarkan pesanan yang dikirim lewat photo singkat di HP beberapa hari lalu.
Lihat daftar pesanan Rohman, beberapa memang mendesak, meski tidak semua.

“Bagaimana jika nanti ketemu Ustadz-nya ?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Ya, bilang kalau sebentar banget. Ngantar barang yang dibutuhkan,” jawab istri.
Memang kalau aku lihat barang yang dipesan selain mie, sabun, sampo juga ada 10 gantungan baju.
Tapi jujur aku tidak bisa tenang. Kurang bahagia dalam hati. Tidak bisa los. Padahal jujur jika ditanya, ingin ketemu Rohman, maka jawabnya, sangat ingin. Namun kalau tidak mendapatkan ijin dari pihak pondok, meski hanya alasan sebentar, tetap saja ada sesuatu yang kurang nyaman di dada. Maksud hati ingin berbagi bahagia, khawatir berimbas buruk kepada Rohman. Kena hukuman atau yang sepadan. Namun perasaan negatif  itu coba aku buang jauh. Meski tetap saja selalu datang. Ini artinya ada sesuatu yang keliru. Menabrak aturan? Karena hati nurani menolak.
Benar juga. Jam 5 sorean kami sampai di pondok. Aku lihat santri-santri sedang giat kerja bakti sore setelah selesai halaqah. Aku tahu dari jadwal kegiatan yang pernah di share di gruop, terkait kegiatan harian santri.  Setelah dipanggilkan, Rohman datang. Tergopoh-gopoh. Kaget. Karena memang tidak ada janji. Memaki kaos putih dibalut sarung bawah lutut, aku lihat Rohman agak kurusan. Tapi sehat. Setelah salim, cium tangan, kami sampaikan pesannya kemarin. Memang tidak semua sesuai pesanan. “Sudah cari tapi tidak ada, le” kataku, terutama yang susu peninggi badan.
“Gak papa, pak, kok kesini e- gak bilang sebelumnya,” kata Rohman, malah kaget kami ke pondok. Karena perkiraannya kami datang saat dia sedang ekstra main bola.
“Sedang apa le?” tanyaku.
“Piket, bersih-bersih pak,” katanya sambil mengusap keringat di dahinya.
“Ya, bapak ibu hanya sebentar le. Ngantar paket trus pulang,”
“Ya,” katanya datar. Aku tatap dalam-dalam wajahnya, saat dia sedang bercakap-cakap dengan ibunya. Memang agak kurusan Rohman. Pikiranku macam-macam. Berlari-lari, entah kemana. Tapi kemudian aku tarik dan aku simpulkan. Orang mencari ilmu itu memang harus bersusah-susah. Gak mungkin mencari ilmu, belajar kok banyak makan-nya. Bukan ilmu-nya yang masuk tapi makanannya yang masuk, nantinya. Mencari ilmu, itu ibarat seseorang menimba air di sumur. Sumur harus didatangi. Dicari. Satu lagi sabar. Butuh waktu lama. Tidak cukup setahun dua tahun.
Ke Rohman sore itu sesungguhnya juga dalam rangka mendulang bahagia. Sebab kalau dipikir capek, ya capek. Lelah. Namun semua lelah itu terbayar lunas, tuntas, setelah ketemu Rohman dalam kondisi sehat.
“Makasih usahamu, le. Sudah bisa hafal 5 juzz  ( 1-5 )+ 2 juzz ( juzz 29+30 ).”kataku setengah memeluknya.
“Tapi masih ada yang salah, pak.” katanya nyengir. Ini salah satu yang sering menggerus rasa kangenku dengannya. Hingga sering tidak tahan. Saat Rohman nyengir. Gigi susunya nampak. Putih. Rapi. Dipadu dengan mukanya yang bening, jadi manis. Beda dengan  gigi aku. Cenderung besar-besar. Hehe.
Rohman coba merinci kesalahannya saat tasmi’.  Ada 10 tempat. Aku hanya mengangguk saja. Pura-pura tahu. Padahal tidak tahu, dimana letak kesalahannya. Untuk ukuran 5 Juzz yang hampir 50 lembar, salah 10 tempat, aku pikir masih wajar. Aku mengangguk ketemu dengan beberapa teman Rohman, seumuran. Rata-rata mereka membalas anggukanku dengan ramah. Tidak lama berselang, kami pamitan. Pulang.

***
Di jalan aku ingat beberapa kejadian dulu yang membuatku terasa bahagia. Meski secara materi aku kehilangan. Pertama. Saat aku belikan sepeda baru ibu. Hanya sepeda? Ya hanya sepeda ontel. Jauh sebelum menikah. Aku sempat nabung dikit-dikit. Aku tidak tahu untuk apa. Meski aku kost, tapi sering nengok ibu. Minimal seminggu sekali. Aku lihat sepeda ibu sudah tua dan sering rusak. Padahal untuk bekerja laju cukup jauh. Maka setelah merasa tabungan cukup, aku ajak ibu ke toko sepeda. Saya suruh memilih. Ibu girang, akupun senang.
“Bener ini, le. Sepeda untuk aku,” kata ibu waktu itu. Aku masih ingat.
“ Iya. Ibu pilih saja,” kataku.
“Yang ini ya le. Aku senang,”
“Iya gak apa-apa,”
Sepeda baru seharga 800 ribu waktu itu, terbeli. Ibu lebih ringan dalam mengayuh sepeda. Kalau belakangan ini, paling aku bantu kebutuhan listrik, gas, air (PAM) untuk rumah tangga. Harapannya misal, ibu ke sawah, itu tidak semata-mata mencari hasil untuk membayar listrik, membeli gas atau bayar yang lainnya. Aku tidak sendiri. Karena adik-adikku juga mulai ikut-ikutan. Padahal aku tidak menyuruhnya.
“Di jalan, diam saja. Ngapa e mas?” colek istri. Dari boncengan belakang.

“Gak apa, kok. Konsentrasi di jalan. Kalau ngomong malah tidak jelas,” jawabku setengah berteriak. Karena kalau dengan volume standar jelas tidak terdengar. Tenggelam dengan desing kendaraan yang lewat. Kanan-kiri. Tetapi yang lebih tepat sejatinya aku sedang merenda jalinan bahagia masa lalu dengan cara memberi. Meski tidak seberapa.
Satu lagi yang membuat aku bahagia, kalau disuruh ke pasar sambil boncengkan ibu, jual hasil panen sawah. Sebaliknya yang membuat aku sedih, nestapa bahkan kadang bisa menguras air mata, kalau lihat ibu menjual beras untuk kepentingan lainnya. Misal sekedar kondongan, yang menurutku tidak begitu penting. Harus rela menjual beras. Makanan pokok keseharian, padahal persediaan terbatas. Pernah aku memergoki-nya, saat ibu jual beras di pasar diam-diam. Karena mungkin kondisi sudah tidak ada pilihan lain. Itu alternatif yang terakhir. Mengapa diam-diam? Ya karena aku pernah ke ibu kalau bisa jangan sampai jual beras. Misal butuh uang, bilang ke aku atau yang lain. Itu sudah lama, sebelum aku menikah.

Maka waktu itu, sebagian gaji aku, aku serahkan ke ibu. Tujuannya hanya satu: agar ibu tidak lagi menjual beras. Kalau ingat tu, emosi-ku pasang surut. Lain saat aku senyum, namun jika ingat sisi buram, tak kuasa aku menahan tangis. Konklusinya : bahagia justru kadang saat kita bisa memberi. Bukan menerima. (bersambung)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!