JAKARTA, MENARA62.COM – Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengatakan ulama-ulama Betawi memiliki ciri khas berbeda dalam melakukan dakwah kepada umat. Gaya berdakwah tersebut terus bertahan sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga kini.
“Saya melihat ulama Betawi melakukan syiar Islam dengan cara mendatangi umat, door to door, ketok pintu. Berbeda dengan ulama di wilayah lain seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah atau wilayah lain. Ulama mengumpulkan muridnya dalam satu pondok pesantren dengan lahan yang luas untuk belajar bersama,” kata Gubernur Anies saat menyampaikan pidato kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) dalam rangka peresmian Pusat Studi Budaya Betawi, Sabtu (16/11/2019).
Karena itu, di DKI Jakarta tidak ditemukan masjid-masjid besar atau pondok pesantren dengan lahan luas sebelum jaman kemerdekaan. Masjid besar seperti Istiqlal, Attahiriyah atau Assyafiyah muncul justeru setelah kemerdekaan.
Menurut Gubernur Anies, gaya berdakwah ulama Betawi tersebut tidak lepas dari situasi dan kondisi Betawi pada jaman penjajahan. Dimana di tanah Betawi, penjajah hadir dalam jarak yang amat dekat. Di tempat lain, penjajah juga ada tetapi tidak hadir sedekat jarak dengan yang terjadi di Betawi.
“Bentuk kehadirannya kongkrit di depan mata yang ini tidak ditemukan ditempat lain,” lanjut Gubernur Anies.
Dekatnya kehadiran penjajah tersebut menyebabkan masyarakat Betawi tidak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan budaya dan ajaran agamanya secara leluasa. Itu mengapa kemudian para ulama Betawi melakukan dakwah atau syiar Islam secara ketuk pintu, mendatangi murid atau masyarakat. Ulama berkeliling dari kampung ke kampung mendatangi umat dan tradisi tersebut hingga kini masih berjalan dengan baik.
Para ulama Betawi lanjut Gubernur Anies juga sanggup menjaga benteng umat. Terbukti kekuatan kolonial tidak sanggup mengubah perilaku masyarakat Betawi.
“Tetapi tidak ditempat lain, kekuatan colonial banyak yang sanggup mengubah perilaku masyarakat termasuk mengubah budaya local, mengganti nama daerah,” jelas Anies.
Nuansa berbeda dalam hal dakwah yang disampaikan ulama Betawi juga bisa dirasakan pada kalimat Allahu Akbar. Jika di daerah lain, kalimat toyyibah Allahu Akbar berkaitan dengan peringatan hari besar Islam, malam takbiran misalnya. Tetapi tidak dengan di Betawi. Kalimat Allahu Akbar diucapkan sebagai symbol dari perlawanan terhadap penindasan, ketidakadilan dan penjajahan.
“Itu hipotesa saya, bahwa ada nuansa dan suasana berbeda saat menyuarakan kalimat Allahu Akbar oleh masyarakat Betawi. Dan ini perlu dikaji lebih lanjut oleh teman-teman di Pusat Kajian Budaya Betawi,” tukas Gubernur Anies.
Lebih lanjut Gubernur Anies menyampaikan keunikan Betawi tidak hanya ditemukan pada gaya berdakwah ulamanya. Masyarakat Betawi pun dinilainya memiliki keunikan tersendiri. Dimana masyarakat Betawi begitu terbuka menerima masyarakat urban yang masing-masing membawa budaya daerah.
“Budaya Betawi begitu lentur, bisa membaur dengan masyarakat pendatang. Betawi adalah sebuah budaya yang mampu menjadi fasilitator lahirnya rasa keindonesiaan,” tandas Gubernur.
Ia berharap lahirnya Pusat Studi Budaya Betawi di kampus UHAMKA mampu melakukan kajian, penelitian dan pengembangan budaya Betawi lebih lanjut. Budaya Betawi harus berkembang menyesuaikan jaman dan bukan dilestarikan lalu dianggap produk antik yang cocok untuk dijadikan penghuni museum.
Gubernur Anies mencontohkan sejarah berkembangnya batik. Dahulu, batik hanya sebatas digunakan sebagai kain atau jarik. Baju orang jaman dahulu lebih banyak polos atau lurik (garis-garis). Lalu penggunaan batik mulai keluar dari pakem saat orang memanfaatkan kain batik sebagai baju.
Tetapi budaya atau tradisi menggunakan batik yang keluar dari pakem tersebut justeru ramai-ramai diikuti oleh masyarakat. Maka akhirnya kini batik berkembang pesat di seluruh Indonesia.
“Saya ingin budaya Betawi juga mengalami hal seperti itu. Berkembang menyesuaikan jaman lalu dikenal tidak hanya nasional tetapi juga internasional,” tutup Anies.