31.3 C
Jakarta

UMY Gelar ITFSS 2020 Secara Virtual, Bahas Pertanian Iklim Tropis

Baca Juga:

YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Program Studi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta kembali mengadakan International Tropical Farming Summer School (ITFSS), Jumat (31/8/2020. Kegiatan ITFSS ke lima tahun 2020 tersebut mengambil tema ‘Approaching Technology Based on Local Wisdom in Support Agriculture Sustainability in Tropical Area’.
Sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ITFSS kali ini diselenggarakan melalui jaringan virtual karena dunia saat ini sedang tertimpa pandemi virus Covid-19. Meski demikian, tak mengurangi antusiasme peserta ITFSS 2020 yang berjumlah 50 mahasiswa dari berbagai negara diantaranya Indonesia, Spanyol, Sri Lanka, Jepang, Myanmar, Ghana, dan India.
“Tujuan diadakannya Summer School ini adalah untuk mengundang pelajar dari seluruh dunia, jadi mereka bisa bersama-sama mempelajari dan mendapatkan pengalaman tentang bagaimana bertani di iklim tropis Indonesia,” ujar Dr. Ir. Indira Prabasari, M.P. Dekan Prodi Agroteknologi UMY yang sekaligus membuka acara ITFSS online pada Kamis (27/8/2020).

Rektor UMY Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P. yang menjadi pembicara dalam acara ITFSS online pada hari kedua, Jum’at (28/8), mengatakan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat permasalahan sektor pertanian khususnya petani yang tinggal di area tanah berpasir. Hal ini bisa menjadi pengetahuan bagi peserta tentang bagaimana menanggulangi masalah pertanian ketika berada di area tanah yang berpasir.

“Umumnya lahan pertanian di pantai selatan Yogyakarta didominasi oleh pecahan tanah berpasir. Dalam iklim kering, bahan organik tanah terurai dengan cepat. Hal tersebut dapat menyebabkan daratan pantai kekurangan bahan organik dan humus untuk membentuk gumpalan tanah,” katanya.

Menurutnya jika dilihat dari sifat fisiknya, tanah dengan kandungan bahan organik yang rendah memiliki kapasitas yang rendah dalam menahan air, kandungan nitrogen, dan pemupukan menjadi tidak efisien. Karena unsur hara yang berasal dari daerah perakaran menjadi hilang disebabkan oleh gravitasi air.

Berbagai sumber bahan organik telah dimanfaatkan untuk meningkatkan daya tampung air pada lahan berpasir. Jenis bahan organik, pupuk kandang, kompos, dan bahan lainnya berasal dari sisa tanaman yang akan diaplikasikan, tercampur sempurna dengan tanah. Dan ini menjadi teknologi yang bagus untuk diterapkan para petani.

“Penyiraman dilakukan setiap hari untuk menjaga kelembaban tanah selama waktu inkubasi selama satu minggu. Pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk cair khususnya Nitrogen, Fosfor, dan kalium dua kali sehari. Teknologi lokal memberi para petani cara sederhana untuk mengurangi penghilangan unsur hara dari zona perakaran,” imbuh Gunawan.

Berbeda dengan permasalahan yang ada di Jepang, Prof. Satoru Sato dari Yamagata University mengungkapkan bahwa penerapan unik justru terjadi di sebagian besar daerahnya dalam meningkatkan produktivitas sektor pertanian.

“Di Jepang, kami melakukan observasi, dan banyak dilakukan oleh penduduk kami tentang penggunaan bebek di lahan persawahan. Bebek tersebut dapat memakan gulma, rumput, dan serangga yang melekat di tanaman seperti padi dan sebagainya. Terbukti dengan adanya bebek tersebut telah meningkatkan kesuburan tanah.”

Kemudian Satoru Sato juga memberi tahu bahwa ia sudah melakukan uji coba dengan penerapan siput untuk tanaman padi, yang hasilnya daun padi menjadi lebih hijau karena siput dapat mempengaruhi algae dan bahan organik secara positif.

“Hal ini mungkin bisa juga diterapkan di Indonesia,” tutupnya. (Hbb)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!