28.8 C
Jakarta

Gubes Unkris Prof Gayus: Kasus Sambo Bisa Jadi Pintu Masuk Perbaiki Institusi Polri

Baca Juga:

BEKASI, MENARA62.COM – Program Doktoral Ilmu Hukum Angkatan 11 Universitas Krisnadwipayana (Unkris) gelar seminar nasional Kajian Hukum – Legal Justice bertema ‘Bisakah Ferdy Sambo Bebas?’ pada Selasa (30/8/2022). Seminar yang digelar secara hybrid di pendopo Kampus Unkris dan melalui zoom meeting tersebut menghadirkan narasumber Prof Dr T Gayus Lumbuun, SH, MH, Guru Besar Unkris dan Prof (HC) Dr Otto Hasibuan, SH, MCL, MM, Ketua Umum Peradi.

Seminar nasional yang terbuka untuk umum tersebut menjadi bagian dari upaya Unkris memberikan sumbangan pemikiran dan pandangan terkait kasus Ferdy Sambo dari sisi akademis. Melibatkan ribuan peserta dari berbagai kalangan, seminar nasional dimoderatori langsung oleh Wakil Rektor 3 Unkris Dr Parbuntian Sinaga dan Ketua LPKK Unkris Dr Susetya Herawati.

Dalam paparannya, Prof Gayus Lumbuun mengatakan kasus Sambo ini cukup menarik dikaji para akademisi ilmu hukum. Karena dalam kasus Sambo, tidak hanya persoalan tindak kejahatan pembunuhan terhadap Brigadir J, tetapi bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki institusi Polri.

“Kasus Irjen Pol. Ferdy Sambo (FS), menjadi isu besar di masyarakat yang berimplikasi pada berbagai pihak baik masyarakat maupun institusi Kepolisian RI. Eskalasi suara public yang menuntut hak dan keadilan berhasil mengungkap kasus tersebut hingga pihak kepolisian menetapkan puluhan anggota kepolisian sebagai pelanggar etik, dan beberapa anggota kepolisian ditetapkan sebagai tersangka,” papar Prof Gayus.

Meski sudah mengakui sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J, Prof Gayus menilai Sambo sebenarnya memiliki peluang untuk ‘bebas’ dari hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Peluang ini bisa diperoleh dengan menjadi justice collaborator.

Dalam posisinya sebagai justice collaborator, Sambo harus berani membongkar borok yang ada di institusi yang menaunginya sejelas-jelasnya, setransparan mungkin, dan sejujur-jujurnya. Karena sejak kasus Sambo bergulir, isu seputar ketidakberesan institusi Polri seperti munculnya Geng 303 terus bergulir dan itu berhasil meyakinkan publik bahwa ada yang tidak beres pada institusi Polri.

“Meski dengan pengakuan Sambo sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J, sebenarnya yang  bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan menjadi justice collaborator. Sambo bahkan bisa dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55-56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal mati atau seumur hidup atau penjara 20 tahun,” kata Prof Gayus.

Memang persoalan Sambo menjadi justice collaborator ini tidak akan mengurangi ‘rasa sakit hati’ dan kepedihan keluarga almarhum Brigadir J. Namun jika itu bisa dilakukan maka kebermanfaatan hukum akan sedemikian besar yang bisa dirasakan oleh masyarakat luas.

Bagi Prof Gayus, menggabungkan pemahaman social justice sebagai demokrasi, legal justice sebagai nomokrasi dan keadilan prosedural dan keadilan substantif sebenarnya terbuka ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan unsur kemanfaatan atas pengakuan yang selengkap-lengakpnya, sejujur-jujurnya, seterbuka-terbukanya dari pelaku.

Soal justice collaborator, Prof Gayus mengatakan bahwa hukum nasional telah mengaturnya sebagai norma hukum yang diatur melalui Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang LPSK, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI, KPK dan LPSK tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, Saksi Pelaku yang berkerjasama.

Diakui Prof Gayus, perkembangan proses hukum ditingkat penyelidikan dapat dikatakan menjadi keberhasilan kelompok masyarakat dari berbagai unsur termasuk advokat yang mendapatkan kuasa untuk menangani kasus. Kelompok masyarakat umum dalam konteks pemikiran Prof Gayus, dapat disebut sebagai social justice warrior atau pejuang keadilan sosial bersama para advokat yang bertindak sebagai kuasa hukum korban yang telah dengan tegas dan berani mengungkapkan berbagai informasi termasuk fakta-fakta yuridis yang ditemukan.

Di tempat yang sama Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan mengakui banyak public yang terjebak dalam kasus Sambo ini dan menilai bahwa kasus telah selesai dengan pengakuan Sambo sebagai pelaku pembunuhan. “Begitu hebatnya pemberitaan, sehingga kasus yang sebenarnya baru dimulai, seolah-olah telah sampai pada akhir cerita,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa sejak kasus Sambo mencuat telah ada skenario-skenario yang disusun untuk mempengaruhi hukum. Pada skenario pertama yang awalnya diyakini publik, ternyata gugur setelah ada pengakuan jujur dari Bharada E.

“Namun meski sekarang skenario dua sudah makin menguat, bisa saja muncul skenario ketiga dan seterusnya. Semuanya serba mungkin,” kata Otto.

Karena itu, sebagai kaum akademisi, Otto mengajak para dosen dan mahasiswa untuk mengkritisi persoalan ini dengan baik. “Kita harus tunggu akhir dari persidangan untuk menyimpulkan kasus ini,” tambahnya.

Ia juga sepakat dengan Prof Gayus, bahwa substansi hukum mengenal adanya kebermanfaatan disamping keadilan dan kepastian hukum. Tujuannya agar hukum tak sekadar mengadili yang salah dan menjatuhkan hukuman sesuai aturan yang berlaku, tetapi hukum juga harus mampu memberi manfaat untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi.

“Harus ada kebermanfaatan dari penuntasan kasus hukum terhadap Sambo ini. Kita ingin agar dikemudian hari tidak muncul Sambo-Sambo yang lain,” tandasnya.

Sementara itu, Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono mengatakan seminar nasional dengan topik bahasan Ferdy Sambo ini menjadi bagian dari upaya Unkris untuk memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat luas sebagai bagian dari tugas para akademisi.

“Kampus punya kebebasan akademis untuk memberikan kajian termasuk dalam kasus Sambo ini. Unkris merasa terpanggil memberikan pandangan dari sisi akademis,” kata Rektor.

Ayub memastikan bahwa seminar nasional terkait Sambo ini tidak bermaksud mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung terhadap Sambo maupun pelaku lainnya. Namun semata-mata ingin melihat lebih luas aspek hukum dari kasus tersebut dengan maksud mencegah kasus serupa terjadi berulang.

Seminar nasional dihadiri tidak hanya dosen dan mahasiswa Unkris tetapi juga akademisi dari berbagai kampus lain di Jabodetabek.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!