JAKARTA, MENARA62.COM – Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatur tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk ketentuan mengenai poligami. Meskipun peraturan ini bertujuan untuk mencegah praktik nikah siri dan memastikan setiap pernikahan ASN terdaftar secara resmi, kebijakan ini menuai berbagai kritik dari berbagai pihak.
Sekjen Dewan Pimpinan Pust Himpunan Wanita Satuan Karya Ulama Indonesia (DPP HIWASI) Organisasi sayap Partai Golkar Neti Setiawati menyampaikan kritik terhadap Pergub DKI, pertama, Diskriminatif terhadap Perempuan: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai bahwa syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pergub, seperti istri tidak dapat menjalankan kewajibannya atau mengalami cacat fisik, bersifat subyektif dan diskriminatif. Hal ini dianggap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara dan memperkuat konstruksi masyarakat patriarki.
Kedua bertentangan dengan Prinsip Monogami: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa Indonesia menganut asas perkawinan monogami. Kebijakan yang memperbolehkan poligami bagi ASN dianggap tidak sejalan dengan prinsip tersebut dan dapat memicu berbagai masalah sosial.
Dan ketiga, Potensi Penyalahgunaan: Meskipun bertujuan untuk mencegah nikah siri, kebijakan ini dikhawatirkan justru memberikan legitimasi terhadap praktik poligami dan dapat disalahgunakan oleh ASN yang ingin berpoligami tanpa alasan yang kuat. Selain itu, persyaratan seperti mendapatkan persetujuan tertulis dari istri atau istri-istri sebelumnya mungkin sulit diterapkan dan diawasi secara efektif.
Neti memberikan rekomendasi diantaranya Peninjauan Kembali Kebijakan: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebaiknya meninjau kembali Pergub ini dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi perempuan dan ahli hukum, untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan tidak diskriminatif dan sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender.
Penguatan Pengawasan Internal: Daripada mengeluarkan kebijakan yang kontroversial, pemerintah dapat memperkuat pengawasan internal terhadap ASN untuk mencegah praktik nikah siri tanpa harus memberikan ruang bagi praktik poligami yang sah secara administratif.
Pendidikan dan Sosialisasi: Meningkatkan pendidikan dan sosialisasi mengenai kesetaraan gender dan dampak negatif poligami terhadap keluarga dan masyarakat dapat menjadi langkah preventif yang lebih efektif dalam jangka panjang.
Dengan mempertimbangkan kritik dan rekomendasi di atas, diharapkan kebijakan yang dihasilkan dapat lebih adil, tidak diskriminatif, dan sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan gender yang dianut oleh masyarakat modern, Pungkasnya.