27.3 C
Jakarta

Pecandu Game Bisa Alami Gangguan Jiwa

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Hati-hati, pecandu game berpotensi mengalami gangguan jiwa. Daya rusaknya bahkan melebihi psikotropika dan zat adiktif lainnya.

“Pecandu game setelah diteliti otaknya kalau dia terpapar sejak balita kerusakannya sama dengan pecandu Napza. Kalau prefrontal cortex belum berfungsi tapi sudah diberi kesenangan game, akibatnya dia merasa adiksi yang menyenangkan yang kemudian memicu anak-anak tidak mau belajar. Ini lebih berbahaya dripada psikotropika dan zat adiktif,” ucap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan Dr. Fidiansjah, Sp.Kj dalam siaran persnya, Jumat (4/10/2019).

Gejala kecanduan game kata dr Fidi paling mudah bisa ditemukan oleh keluarga sendiri. Dapat dilihat dari kebiasaan seperti lebih memilih main game daripada belajar, atau bermain game dalam waktu yang lama.

Upaya Kemenkes dalam menanggulangi masalah tersebut antara lain melakukan sosialisasi penggunaan teknologi dengan cerdas. Artinya dengan pendekatan edukasi pada orangtua, dan pelajar mengenai penggunaan teknologi sesuai fungsinya, dan menjelaskan bahwa penggunaan teknologi dengan tidak bijak merupakan ancaman dan tantangan.

“Di keluarga harus memukau hal sederhana, misal ada waktu keluarga tanpa hp, misal saat beribadah dan makan,” ujar dr. Fidi.

Lebih lanjut dr Fidi mengatakan Kemenkes terus berupaya mengurangi angka orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang ditelantarkan. Setiap ODGJ harus perhatikan, diberi obat, dan tidak ditelantarkan. Targetnya harus diobati dan diberikan pelayanan.

Menurutnya, tanda-tanda ODGJ cukup sulit dilihat, berbeda dengan penyakit fisik, seperti sakit mata, atau telinga. Sebaliknya penyakit jiwa sulit dilihat, karena bersifat abstrak.

Meski demikian ada tiga komponen penting untuk mengetahui apakah seseorang termasuk ODGJ atau bukan. Ketiga komponen tersebut adalah pikiran dan isinya, perasaan, perilaku.
Kini yang justeru menjadi masalah di masyarakat adalah adanya stigma negatif dari ODGJ.

“Stigma masyarakat tentang gangguan jiwa masih tinggi. Misalnya ketika mereka (ODGJ) beribat ke rumah sakit jiwa dibandingkan dengan RS Umum (RSU) akan beda. Ketika ODGJ berobat ke RSU tak ada stigma negatif, tapi kalau ke RS Jiwa malah muncul stigma negatif,” kata dr. Fidi.

Pencegahan harus juga dilakukan bagi orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). ODMK, kata Fidi, merupakan orang yang mengalami masalah pada kejiwaannya, belum ODGJ.

“Jadi orang pada situasi yang berpotensi gangguan kejiwaan disebut ODMK. Misalnya karena bencana, atau KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Namun yang pasti ODMK sudah pada tataran tiga komponen tadi (pikiran, perasaan, dan perilaku), ucap dr. Fidi.

Untuk mengatasi kasus PDMK, kata Fidi bisa dilakukan dengan terapi curhat.
Terkait upaya mengurangi jumlah ODGJ telantar, Kemenkes telah menekankan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Ada 12 indikator yang salah satunya adalah setiap ODGJ berat mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.

“Setiap Pemda harus menyiapkan pelayanan ODGJ dan memberikan pelayanan sesuai standar,” ucap dr. Fidi.

Tak hanya SPM, di level Puskesmas, pelayanan ODGJ telah masuk ke dalam indikator Progran Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PISPK), antara lain gangguan jiwa berat tidak ditelantarkan.

“Setiap wilayah kerja Puskesmas jika terdapat ODGJ harus diobati dan tak boleh ditelantarkan,” kata dr. Fidi.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!