25.2 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-54)

Baca Juga:

#Boleh Saja Merencanakan.

Sejatinya dulu, tidak atau belum ada pemikiran memasukkan Rohman ke pondok. Alasannya satu, aku tidak tahu banyak tentang dunia pondok pesantren. Aku sendiri sekolah di plat merah. Dari TK hingga lulus kuliah. Mengaji sekenanya. Sebisanya. Akibatnya hingga dewasa, miskin pengetahuan agama. Menyesal sebenarnya. Tetapi tidak bisa menyalahkan orang tua atau siapa-siapa.

Membaca Al-quran kalau Rohman di rumah, sering dikoreksi. Panjang pendeknya, kholqolahnya, pengucapannya. Tetapi aku tak kunjung putus asa. Keinginannya hanya satu: sedikit bisa. SMA baru bisa membaca kita suci, sungguh terlambat untuk ukuran anak sekarang. Maka ketika kelas 4 MI , Rohman libur semesteran, minta liburan di pondok yang ada program singkatnya. Aku carikan segera. Lupa juga, kenapa dapat pondok di atas bukit ini. Padahal pondok sekitar juga ada. Itulah kebenaran Al Quran yang menerangkan manusia boleh berencana, Allah yang menentukan. Salah satunya adalah apa yang akan terjadi besok pagi saja kita ini tidak tahu. (QS.Luqman :31, ayat 34 ).

Anganku tiba-tiba tertarik kuat kebelakang. Saat-saat aku seusia Rohman dia nyantri, kelas 4 MI. Aku sedang apa waktu itu. Memori otakku coba bolak-balik mengingat kejadian tempo dulu yang masih lekat dalam drive pikiran. Tidak semua ingat. Meski sudah coba aku peras untuk mengingatnya lebih dalam. Namun toh, hanya beberapa file saja yang aku temukan. Itupun tidak utuh.
Apa aku belum mengaji waktu itu? Belum ada TPA, iya. Model ngaji Iqra juga belum begitu lama. Model Iqra ditemukan oleh Ust.H.As’ad Humam Kotagede Yogyakarta. Gemanya hingga meng-Indonesia. Aku kecil, belum ada Iqra, adanya ngaji dengan model “turutan”. Karena tidak intens, maka jelas hasilnya tidak maksimal. File yang menyebutkan aku belajar ngaji serius usia SD hingga SMP aku buka lagi : tidak ada. Buram. Bahkan cenderung gelap. Aku masih belum bisa membaca Al-Quran. Hafalan juzzama, hanya satu dua saja.

Tiba-tiba aku mencoba menyalahkan lingkungan yang tidak mendukungnya. Hal ini diperkuat dengan bukti otentik : teman-teman sebaya hampir tidak ada yang pinter mengaji. Kalau hafalan, masih ada, tapi kalau sudah sampai pada tajwid, membaca yang benar. Sekali lagi tidak ada. Jika ingat itu, aku sedikit bernafas lega. Aku tidak sendiri. Hore. Tapi apa dengan demikian aku lepas dari kesalahan dengan menunjuk kuat lingkungan sebagai biang keladi? Aku tidak tahu.

Seusia Rohman kelas 4-5 MI, yang muncul dalam memori justru kenakalan-kenakalan kecil, yang kalau ingat sekarang, 40 tahun kemudian, menjadi berlinang air mata. Karena mengapa sikap itu aku lakukan kepada orang tua, terlebih ibu. Apa kenakalan yang menurutku kecil  tadi? Pertama – aku lupa penyebabnya, entah minta apa, sehingga aku bisa semarah itu, melempar pisau tajam, ditangkis ibu hingga mengenai pergelangan tangan kirinya. Bekas luka itu hingga kini masih ada. Meski sudah sembuh dari sakitnya. Namun kalau ingat cerita itu, marahku kepada diri sendiri tak habis-habisnya. Tak jarang aku merutuk diri dengan mengatakan anak durhaka. Namun lagi-lagi, hati sebelah menampik dikatakan anak durhaka dengan memberi alibi : kan waktu itu masih kecil, belum dewasa. Luka itu, kini kalau aku bertandang ke rumah ibu sering aku elus. Sembari mohon “ampun”. Atas kenakalan yang tidak terkendali. Kalau sudah begitu, ibu terus mengusap rambutku dan mengatakan : Tidak apa-apa.

Kedua : Belum ada atau tepatnya belum punya sepeda motor. Sehingga kalau mau tengok kakek nenek yang rumahnya lumayan jauh, 12-an Km dari rumah. Ibu naik sepeda “onta” dan aku hanya bisa diboncengkan-nya. Sudah begitu, kadang bahkan sering di tengah jalan aku ngambek. Alasannya aku juga lupa, kenapa aku bisa se-ngambek dan semarah itu, sehingga jari-jari sepeda onta ibu yang sudah berat mengayuhnya, aku beri kayu di tengahnya dengan posisi melintang. Sehingga praktis sepeda itu tidak bisa jalan. Berhenti. Aku coba ingat lagi-aku gali lagi memori ingatanku apa penyebabnya. Minta mainan? Minta uang? Tanpa sadar aku menggelengkan kepala, yang berarti tidak semuanya. Tapi apa? Masih gelap hingga sekarang. Ketika hal ini aku ceritakan ke ibu, beliau hanya tersenyum dan cukup mengatakan : maklum masih kecil. Tidak ada sakit hati, apalagi dendam di hatinya. Padahal akibat aku menaruh kayu/bambu melintang itu, ibu dan aku sendiri menjadi berjalan dengan menuntun sepeda onta itu lebih lama. Rugi sendiri. Memori otak manusia, terbatas juga.

Ketiga. Semoga ini yang terakhir. Ternyata seusia Rohman, kelas 4-5 MI. Umur 10-11 tahunan, aku doyan bermain. Main kelereng, main kartu gambar wayang. Dan kalau sudah berkumpul dengan teman-teman sebaya, benar-benar tidak ingat waktu. Paling pulang kalau terasa lapar, haus. Sudah itu, balik lagi ke arena permainan. Kadang pagi hingga sore. Yang aku ingat, kalau sudah sampai pada puncak kejengkelannya ibu memanggilku dengan nada yang khas. Sampai teman-temanku hafal dengan nada dan iramanya. Kalau sudah begitu aku baru pulang. Bahkan pernah aku dijewer. Itu karena aku sudah sampai keterlaluan, dipanggil berkali-kali aku gak menyahutnya. Apalagi pulang. Waktu itu main kelereng dan aku dalam posisi kalah. Sementara aku ingin menang. Maka aku gak mau pulang. Ibu jengkel. Marah.
Itulah tiga file yang aku temukan dalam drive kepala, saat-saat yang mustinya belajar dan mengaji. Orang pintar mengatakan sedang dalam posisi “gold age” – usia emas untuk belajar. Namun aku sia-siakan. Beruntung kenakalan itu tidak berlanjut saat aku beranjak remaja : SMP dan SMA. Lebih banyak prihatin dan kerja keras-nya. 6 tahun itu praktis aku jarang ketemu ibuku. karena aku berpindah-pindah tempat tinggal. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!